Langsung ke konten utama

Cerpen Koran : Antara Industrialisasi dan Eksplorasi

(Tanggapan atas tulisan Eko Darmoko)


Oleh : Dody Kristianto*


Setidaknya ada yang menggelitik saya ketika membaca esai Eko Darmoko, Pembunuh Cerpenis Adalah Koran (28 Juni dan 5 Juli 2009). Pertama, Eko menafsirkan perkataan Budi Darma bahwa kebanyakan cerpenis sekarang sudah “mati”. Kedua, (celakanya) Eko memvonis ruang cerpen koran sebagai biang kerok kematian cerpenis. Dan inilah yang melandasi pikiran Eko dari awal sampai akhir.

Kala seorang cerpenis dengan sadar akan mengirimkan karyanya ke koran, sesungguhnya ia sudah berhadapan dengan musuh yang luar biasa. Dan mau tidak mau, sang musuh adalah koran itu sendiri. Mengapa? Seperti ditulis oleh Eko bahwa Koran menuntut jumlah kata atau karakter sebagai prasyarat pemuatan di koran. Melebihi atau kurang dari prasyarat yang diajukan oleh koran, biasanya cerpen akan dieliminasi oleh sang redaktur.

Belum lagi selera estetika (seperti dituduhkan oleh Eko) dari redaktur yang turut menentukan muat atau tidaknya sebuah cerpen. Bisa jadi selera itu juga ikut dipengaruhi oleh suatu hal “di belakang” koran, seperti pemasukan iklan serta sikap dewan redaksi terhadap wacana yang sedang berkembang. Artinya muat tidaknya cerpen di sebuah koran ternyata juga didasarkan pada pesan sponsor. Lalu salahkah jika cerpen koran menjadi bagian dari industrialisasi?

Lebih luas lagi harus disadari bahwa keberadaan rubrik sastra (baca : cerpen) di koran masih sebatas sebagai “pemanis” belaka. Kehadiran kolom cerpen di sebuah koran hanya berfungsi sebagai “medium penyegar” setelah pembaca lelah bertualang melahap berita. Bahkan, kolom cerpen acapkali diacuhkan sebab mayoritas pembaca membeli dan membaca Koran untuk mendapatkan informasi (baca : berita). Dan dapat dimengerti apabila sebuah media melakukan rasionalisasi halaman, maka rubrik sastra adalah rubrik yang masuk daftar untuk dikorbankan.

Itulah sebab mengapa pada pengantar kumpulan cerpen terbaik Kompas 1993, Pelajaran Mengarang, Nirwan Dewanto menulis bila keterbatasan halaman dan “kedahsyatan” berita yang terkadang melebihi fiksi bias menjadi tantangan bagi cerpen koran. Maka cerpen koran menuntut cerpenis untuk melakukan eksplorasi sebagai penyikapan terhadap keterbatasan serta hal ihwal kedahsyatan berita. Eksplorasi itulah yang menjadikan cerpen koran memiliki ciri tersendiri.

Sebagai contoh adalah cerpen Seno Gumira Ajidarma, Telinga. Untuk menyikapi keterbatasan ruang, Seno membuat ceritanya sebagai cerita berbingkai. Tokoh Aku diposisikan hanya sebagai pencerita. Cerita utamanya sendiri berkisah mengenai surat menyurat antara dua orang kekasih. Pada akhirnya cerita kembali pada tokoh Aku sebagai pencerita.

Atau cerpen Diam karya Moes Loindong. Cerpen yang dimasukkan oleh Shoim Anwar dalam kumpulan Soeharto dalam Cerpen Indonesia tersebut sangat pendek dan lebih mirip dengan monolog. Apalagi pada kitaran waktu pemuatan cerpen tersebut dilatarbelakangi oleh peristiwa 27 Juli 1996 tentang penyerangan kantor DPP PDI. Karena sifat koran yang aktual, maka cerpen yang didasarkan pada peristiwa paling up date besar kemungkinan akan termuat.

Dengan demikian, eksplorasi terhadap cerpen masih akan berlanjut di halaman koran. Apalagi kesepakatan mengenai panjang pendeknya sebuah cerpen tidak pernah ada. Tak adanya kesepakatan tentang panjang pendeknya sebuah cerpen bisa jadi mendasari koran untuk membatasi karakter cerpen. Apalagi ditambah dengan keterbatasan ruang. Jadi mengapa cerpen koran harus dipermasalahkan?


*) anggota Komunitas Rabo Sore (KRS) serta salah satu penggagas Masyarakat Sastra Tanpa Kompromi (Mas Tomi)


NB : ini adalah esai yang saya tulis sebagai tanggapan atas tulisan Eko Darmoko tentang cerpen koran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI