Langsung ke konten utama

Lebih Kuat dari Mati


Cerpen Om Mardi Luhung

I

Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Dengan kata lain, ada orang yang sakit, bahkan yang parah sekalipun, tetapi tak mati-mati. Dan sebaliknya, ada yang kelihatannya sehat, segar dan lincah, tetapi tiba-tiba kleplek-kleplek mati. Mati tanpa pesan. Tanpa amanat. Apalagi tanpa tanda-tanda awal yang dapat dibaca oleh yang ada di sekitarnya. Tanda-tanda awal yang bergerak seperti kelebat burung gagak di malam hari. Kelebat bagi siapa saja yang akan dijemput oleh mati.

Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari sono-nya. Tak ada yang bisa menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih percaya jika urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati, aku tetap saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja. Jadi bisa benar bisa tidak.”

”Bisa benar bisa tidak?”

”Ya, begitulah!”

Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur hampir 70 tahun ini. Diri yang tetap bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27 tahun, telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Tapi nyatanya? Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih sanggup untuk menikmati apa saja yang enak-enak. Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning, martabak. Atau menonton siaran sepak bola dini hari.

Diri yang dianggap oleh orang-orang yang ada di sekitar sebagai orang yang lebih kuat dari mati. Orang yang mungkin punya nyawa rangkap. Dan orang yang dianggap tenggorokannya buntu. Dan karena buntu itu, maka nyawanya cuma memantul-mantul di rongga dadanya. Tak bisa keluar. Atau dikeluarkan. Ha-ha-ha, anggapan yang agak aneh. Anggapan yang kerap membuat aku tersenyum simpul. Ya, barangkali aku memang lebih kuat dari mati. Dan barangkali pula itu yang membuat aku ingin menulis cerita ini.

II

Seperti yang aku katakan, ketika umurku 27 tahun, aku telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Katanya, aku mengidap penyakit ganas. Penyakit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Bahkan, kata si dokter lagi, mulai hari itu juga apa yang menjadi keinginan dan hasratku harus dituruti. Tentu saja, keluargaku menjadi sedih. Adik perempuanku menangis. Ibuku juga menangis. Dan ayahku, ya, ayahku, meski tak kelihatan menangis, tapi matanya tampak merah. Seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang dijaga oleh karang yang kokoh. Tapi aku yakin, pasti sesekali, tanpa sepengetahuanku diambrolkannya juga.

”Istirahatlah, Nak,” begitu kata ayahku.

”Jangan terlalu berpikir yang macam-macam,” sambung ibuku.

Dan sergah adik perempuanku: ”Iya, Mas, harus istirahat. Jika sudah sembuh bisa jalan-jalan sama Mbak Ninuk lagi.”

Ninuk? Akh, Ninuk. Pacarku yang tersayang. Pacarku yang akan aku nikahi 2 tahun lagi. Pacarku yang cantik, manis dan berambut keriting. Pacarku yang telah aku cium sebanyak 4 kali. Sekali di beranda rumahku. Dua kali di alun-alun kota. Dan sekali lagi di rumahnya. Sewaktu rumahnya kosong. Ditinggal oleh keluarganya kondangan di kelurahan. Dan karena ciuman sebanyak 4 kali inilah, aku pun berbisik padanya:

”Kau harus kontrol, Nuk?”

”Kontrol?”

”Iya. Siapa tahu kau ketularan penyakitku?”

Dan deg, Ninuk pun menutup mulutnya. Wajahnya memerah. Ada ketakutan dan kegelisahan di wajah itu. Ketakutan dan kegelisahan yang tak diduga. Yang muncul ketika semuanya telah terjadi. Ya, memang, ketika kita sudah di depan pacar, kita sudah tak lagi berpikir: ”Apakah pacar kita punya penyakit dalam atau tidak. Menular atau tidak. Yang penting ciuman dan ciuman. Mumpung ada kesempatan. Kesempatan yang kelak akan mencelakakan atau tidak? Siapa yang peduli? Jiahh….”

Dan dua bulan kemudian (setelah kontrol dan ternyata tak tertular), Ninuk pun memutuskan untuk pergi dari sisiku. Sebagai pacar yang berpenyakit. Yang hidupnya sudah divonis cuma 3 bulan, tentu saja aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan meski semangatku sedikit ambruk, tapi aku tetap bertahan. Dan tetap merasa jika kepergian Ninuk adalah hal yang baik. Sebab, apa yang bisa diharapkan dari seorang pacar yang punya kondisi seperti diriku ini. Paling-paling cuma akan merumitkan masa depannya saja.

III

Waktu berlalu. Tiga bulan dari waktu yang divonis si dokter tinggal seminggu lagi. Rasanya rumahku jadi ramai. Tetangga dan keluarga jauhku berdatangan. Menjenguk diriku. Ada yang menghibur. Ada yang basa-basi. Dan ada pula yang malah mengajari aku untuk bersabar. Sambil membocorkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kubur. Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa kitabmu? Yang kesemuanya selalu diakhiri dengan tangisan. Tangisan yang juga kerap membuat aku turut terharu. Dan berpikir: ”Apakah benar aku akan mati? Dan apakah semua orang yang datang ini cuma ingin mengantar diriku mati?” Aku tak bisa menjawabnya. Aku cuma merasa jika memang mati ya matilah! Mati ya matilah!

Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati. Dan meski 3 bulan telah lewat. Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun. Dan sekian puluh tahun (meski kerap kumat dan drop), aku tetap tak mati-mati. Tetap hidup. Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan pernikahan Ninuk dengan lelaki yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun setelah Ninuk memutuskan untuk pergi dari sisiku. Juga aku pun sempat melihat bagaimana kotaku dibangun. Lalu terterjang macet. Dibangun lagi. Terterjang lagi. Dibangun lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Seperti tak ada hentinya. Tak ada lelahnya. Seperti sebuah persilangan yang tak tahu mana ujungnya. Yang hasilnya tetap saja ruwet. Dan macet melulu.

Macet yang makin lama makin mengancam. Macet yang seperti hidup. Bisa berpikir. Dan bisa menentukan sikap. Jika dibuka yang sebelah sini, akan memacetkan sebelah sana. Dan jika sebelah sana yang dibuka, wah, wah, akan ngeloyor ke sebelah yang lain lagi. Yang lain lagi. Dan yang lain lagi. Dan itu membuat siapa saja saling tuding. Saling melemparkan kesalahan. Juga tanggung jawab yang tak diketahui bagaimana mesti menjawabnya. Cuma ada gontok-gontokan. Yang disertai dengan sekian ribu alasan. Dan juga sekian ribu teori. Teori yang sepertinya tulus dan ikhlas. Tapi nyatanya malah seperti permainan cilukba.

Dan yang lebih tak masuk akal, tepat 3 bulan dari vonis hidupku itu, ternyata si dokterlah yang justru mati duluan. Kabarnya, dia terjungkal di kamar mandi. Gegar otak dan tak tertolong. Dan setelah itu giliran tetangga dan keluarga jauhku (yang pernah menjengukku) yang bersusulan mati. Emak Icih yang menyusul pertama. Emak Icih mati karena kaget ketika ada suporter di kotaku ngamuk. Ngamuk gara-gara tim sepak bola kesayangan mereka kalah telak. Seluruh pot di jalanan diguling. Warung-warung disatroni. Bahkan beberapa lampu-lampu jalan yang ada dipecahi. Dan kota pun seperti dalam siaga berat.

Lalu Kang Pardi mati karena jatuh dari atap sewaktu hujan deras. Bayu tertabrak sepeda motor. Wely terpeleset di trotoar sekolahannya. Terus Joko, Mbak Sol, dan Takin yang mati tanpa sakit. Dan yang lebih menggegerkan adalah matinya Mas Karyo. Mas Karyo mati karena tabung gas di warung kopinya meledak. Banyak yang menjadi korban. Termasuk juga Suaib dan Wak Ipin yang sedang asyik main catur di warung itu. Yang setelah kejadian itu, sebagian tangan dan dada mereka berdua terbakar berat. Terbakar dengan kulit gosong. Mengeriput dan kasar. Kasar dengan bentuk-bentuk yang begitu menggiriskan. Seperti bentuk-bentuk yang kerap aku temui saat penyakitku sedang kumat atau drop. Ada yang lonjong. Ada yang bundar. Ada yang segi tak beraturan. Juga lurus lancip menukik.

Ya, ya, satu per satu hampir semuanya bersusulan mati. Juga ayah dan ibuku pun mati. Dan keduanya mati hampir berbarengan. Dan itu persis ketika aku berumur 40 tahun. Tepat ketika adikku perempuan telah menikah hampir 7 tahun dengan seorang pemilik peternakan marmut. Seorang yang biasa aku panggil dengan nama: Adik War. Dan ketika ayah dan ibuku ini mati, aku benar-benar merasa kehilangan. Dunia yang aku pijak pun seakan longsor. Dan itu cukup lama aku tanggung. Aku tanggung!

IV

”Pak De, mau ke mana?”

”Ikut?”

”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.”

Nah, itulah percakapanku dengan Sasi, putri tunggal adik perempuanku, di suatu pagi. Memang, sejak ayah dan ibuku itu mati, aku tinggal bersama keluarga adikku. Dan semua keperluanku ditanggung oleh mereka. Keperluan seseorang yang telah berumur hampir 70 tahun dan tidak menikah ini. Seseorang yang pernah divonis cuma bisa hidup 3 bulan di umur ke-27 tahunnya. Dan seseorang yang ternyata tetap tak mati-mati. Dan tetap saja bisa mandi, makan, jalan kaki, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh.

Dan setiap orang yang melihatku kini, setiap orang, dari anak-anak para tetangga dan kerabat jauhku yang lebih dulu mati dibandingkan aku itu, selalu memanggilku: ”salah satu pak tua yang tersisa”, Pak tua yang punya nyawa rangkap. Pak tua yang punya tenggorokan buntu (sehingga nyawanya tak bisa keluar atau dikeluarkan). Pak tua yang setiap pagi berkeliling kampung. Pak tua yang baru semingguan ini mendapat kabar. Jika Ninuk, bekas pacarnya dulu, juga telah mati. Tanpa sebab-sebab yang jelas. Akh!

”Baiklah. Paling sebelum jam 9, Pak De sudah pulang….”

V

Nah, itulah cerita yang aku tulis. Cerita (seperti yang aku katakan), berhubungan dengan kepercayaanku. Jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Melainkan berdiri sendiri-sendiri. Dan punya urusan sendiri-sendiri. Mati ya urusan mati sendiri. Sakit (separah apa pun) juga begitu. Dan setelah kepercayaanku ini terbukti, apakah lantas aku senang? Ternyata tidak. Malahan, aku merasa waswas. Sebab, bagaimana tidak waswas. Jika ternyata nanti aku benar-benar akan jadi lebih kuat dari mati. Dan umurku makin lebih panjang. Mungkin menginjak 80, 90, atau 100 tahun lebih. Tentu aku akan lebih banyak menyaksikan: ”Bagaimana orang-orang yang aku kenal, baik yang lama ataupun yang baru, selalu mati satu demi satu. Dan bagaimana pula kotaku, yang jatuh bangun melawan macet, selalu kalah. Dan kalah!”

Hmmm, siapa yang lebih kuat dari mati….

(Gresik, 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI