Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2011

DUNIA SASTRA PARA CERPENIS sedang memperbincangkan karya "PLAGIAT"

Surat Pembaca [untuk Redaktur Desk Non Berita KOMPAS] oleh Bamby Cahyadi pada 30 Januari 2011 jam 9:06 Jakarta, 30 Januari 2011 Kepada Yth. Redaktur Surat Pembaca KOMPAS u.p. Redaktur Desk Non Berita Kompas Salam Sejahtera, Saya sangat kecewa dengan cerpen yang dimuat di Kompas, 30 Januari 2011. Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon, yang ditulis oleh Saudara Dadang Ari Murtono, adalah cerpen PLAGIAT dari cerpen berjudul RASHOMON karya Akutagawa Ryunosuke. Cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke (cerpenis terbaik Jepang) ini, terhimpun dalam kumpulan cerita yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), pada Januari 2008 berjudul Rashomon. Saya tak perlu menyebutkan di mana letak Saudara Dadang memplagiat cerpen Rashomon, seharusnya Saudara Redaktur Desk Non Berita (Sastra/Cerpen), sangat tahu bahwa cerpen Saudara Dadang (Perempuan Tua dalam Rashomon), isinya sama dengan cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke, hanya paragraf dalam cerpen itu yang dipindah-pindah

Perempuan Tua dalam Rashomon

Cerpen Dadang Ari Murtono Perempuan itu berjongkok di antara mayat-mayat yang hampir membusuk dalam menara Rashomon. Perempuan yang tua, berbaju kecoklatan, bertubuh pendek dan kurus, berambut putih dan mirip seekor monyet. Dengan oncor dari potongan kayu cemara di tangan kanannya, perempuan itu memandangi wajah sesosok mayat. Mayat seorang perempuan dengan rambut panjang. Bagaimana bisa ada tumpukan mayat dalam menara Rashomon, baiknya kuceritakan dulu. Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjah

Perempuan Tua dalam Kepala

Cerpen Avianti Armand Di dalam kepalaku hidup seorang perempuan tua pemarah yang gemar menghentak-hentakkan kaki dan berteriak-teriak. Begitu tuanya, dia menyerupai seonggok pohon kering-keriput, bungkuk, dan bengkok di sana-sini dengan sudut-sudut yang janggal. Suaranya seperti derit roda kekurangan minyak. Jika dia berteriak, aku terpaksa menutup telinga. Dia menghuni sebuah rumah reyot dari batu tanpa jendela. Hanya ada satu pintu besi berkarat yang selalu berbunyi saat membuka dan menutup. Seluruh dinding rumah itu ditumbuhi lumut gelap yang lebat. Ulat-ulat gemuk berwarna hitam hidup dan beranak-pinak di dalamnya. Sesekali kulihat perempuan itu mencungkili ulat-ulat tadi dari dinding, memasukkan mereka ke dalam panci, dan membawanya ke dalam rumah. Aku tak tahu apa yang dilakukannya dengan ulat-ulat tadi. Tapi tak lama sesudahnya, asap akan membubung dari cerobong. Ulat-ulat tadi mungkin telah jadi sup atau ramuan pembuat gila. Aku percaya dia adalah seorang penyihir. Sejak tin

Bapakku Telah Pergi 1

Oleh : R Giryadi Bapakku telah pergi menemui pembakaran ruang suci tempat selesaian tapi ekor-ekor yang ditinggalkan membelit tubuhku… Puisi karya sahabatku yang aku temukan di antara sisa duka setelah kepergian Bapak, seperti belati yang menyayati kulit. Kata demi katanya seperti merajam hati, menelusup ke lorong gelap sejarah keluarga kami. Kata-kata itu seperti membetot seluruh organ tubuh Bapak yang membeku. Tubuh Bapakku yang terbaring di atas ambin, tiba-tiba seperti bangkai tikus yang kemarin digilas mobil. Bahkan kata-kata itu dengan sangat kejam telah membongkar sejarah kehidupan keluarga kami. Ya, keluarga kami telah dijadikan lahan untuk ejekan. Bahkan lebih kejam, tubuh Bapak yang telah mebusuk dipembaringan abadi masih dicukil-cukilnya hingga ia tak sempat wawancara dengan para malaekat. Puisi itu memang tidak sempat dibacakan di depan mayat Bapak. Tetapi puisi itu terselip dalam tumpukan buku-buku. Entah mengapa saat jasad Bapak dibungkus kain kafan, aku te

Menggugat Ketakhadiran Negara @ Kompas Cetak, Minggu, 16 Januari 2011

Putu Fajar Arcana Ketika pemerintah meletakkan dirinya sebagai penguasa absolut, maka kritik selalu subversif. Bahkan sebuah museum perjuangan bangsa dihancurkan hanya karena orang-orang ”kembali” memuja para pahlawan negara. Ke manakah negara saat rakyat membutuhkannya? Apakah sedang reses? Pertanyaan tentang kehadiran negara untuk memberikan perlindungan terhadap rakyat menjadi simpul yang menggerakkan sebelas adegan dalam drama monoplay ”Negaraku Sedang Demam”, Kamis (13/1) di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Drama yang dipentaskan atas kerja sama Dapoer Seni Jogja dan Komunitas Budaya Guntur 49 Jakarta ini dimainkan oleh lima aktor yang masing-masing melakukan monolog. Monolog- monolog para pemain itu oleh penulis naskah Indra Tranggono disatukan dalam alur dan tema cerita. Tokoh bernama Warga (Joko Kamto) menjadi tokoh yang memainkan peran penting di dalam membangun keutuhan garapan ini. Lakon yang disutradarai Isti Nugroho ini sejak masih berupa naskah sudah memperlihatkan kecend

Puisi-puisi Yusuf Ariel Hakim

SEHABIS DOA sehabis doa aku bingung hendak kemana,seperti buang hajat aku pun buka wc pribadiku. aih...kudapati tahi-tahi yang berubah pelangi tak lagi kuning keemasan.tapi aku hanya ingin lampu berwarna hijau yang sgera membawaku laju dari pemberhentian. sehabis doa tiba-tiba kepalaku berdering ring tone sms,ku buka selular kepalaku dan aku pun terkejut, tuhan pun kehabisan kata-kata.tidak.tidak.tidak.bukankah kemarin sore alamat tuhan telah ku add di facebook ku. sehabis doa aku pun bingung hendak kemana.dan polisi pun nyemprit menilang!ku buka helmku dan polisi itu tersenyum sambil lirih berkata,"tuhan sedang menunggu anda di ruang tunggu?" aku pun teringat tahi-tahi. SECARIK LUSUH PENGAKUAN sejeda puisi ingin menyapamu,disenja yang tak lagi memutih beralas sederhana meniti jalan yang berduri sengaja mencari hembusan angin mendayu pagi yang kian limis embun bercakap malaekat putih menuju cahayaMu selamat datang badan ringkih menuju altar pembasuhan dosa yang terus kian mem

Kak Ros

Cerpen Gus Tf Sakai Begitu keluar dari kamar dan tak sengaja menatap ke taman itu, aku terpaku: Kak Ros, perempuan hampir separo baya itu, sedang membungkuk menyorongkan wajahnya ke rimbun tapak dara. Tentu bukan sesuatu yang aneh kalau cuma menyorongkan wajah, tetapi ini, seperti kemarin kata Ben, bibir perempuan itu bergerak-gerak samar. Jadi, apakah benar, Kak Ros sedang bicara dengan daun-daun? Dan tampaknya, bukan hanya bicara. Tangan Kak Ros bergerak lembut, menyentuh, mengusap daun-daun. Tangan yang lain, dengan tak kalah hati-hati, menyemprotkan air dari botol sprayer sedemikian rupa, hingga tampak seperti seorang ibu yang memandikan dan mengeramas rambut anaknya. Tempo-tempo, semprot dan usapan itu terhenti, lalu jarinya tampak seperti mengutip dan memindahkan sesuatu dari tangkai atau punggung daun, juga sangat lembut dan hati-hati. Kembali aku ingat kata Ben. Apakah perempuan itu tengah memindahkan semut, atau serangga kecil lain, agar tak terpelanting oleh semprotan air?