Oleh : R Giryadi
Bapakku telah pergi
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian
tapi ekor-ekor yang ditinggalkan
membelit tubuhku…
Puisi karya sahabatku yang aku temukan di antara sisa duka setelah kepergian Bapak, seperti belati yang menyayati kulit. Kata demi katanya seperti merajam hati, menelusup ke lorong gelap sejarah keluarga kami.
Kata-kata itu seperti membetot seluruh organ tubuh Bapak yang membeku. Tubuh Bapakku yang terbaring di atas ambin, tiba-tiba seperti bangkai tikus yang kemarin digilas mobil.
Bahkan kata-kata itu dengan sangat kejam telah membongkar sejarah kehidupan keluarga kami. Ya, keluarga kami telah dijadikan lahan untuk ejekan. Bahkan lebih kejam, tubuh Bapak yang telah mebusuk dipembaringan abadi masih dicukil-cukilnya hingga ia tak sempat wawancara dengan para malaekat.
Puisi itu memang tidak sempat dibacakan di depan mayat Bapak. Tetapi puisi itu terselip dalam tumpukan buku-buku. Entah mengapa saat jasad Bapak dibungkus kain kafan, aku teringat puisi itu. Tidak tahu mengapa puisi itu seperti menyembul sendiri di antara rak buku.
Saat itu tubuhku seperti terguncang-guncang, saat kata demi kata seperti mencuat dari mulutku. Kata-kata itu seperti jendela besar, yang tembus pandang dengan masa lalu Bapak. Jendela itu seperti labirin yang menyimpan rahasia masa lalu. Dalam labirin itu, sahabatku memunguti tapak-tapak hitam Bapak. Kemudian ia mencatatnya dalam kepala hydrosevalus-nya, sebagai kata-kata yang indah.
“Indah?”
Ini sudah keterlaluan. Sahabatku yang kupercaya bisa menyimpan rahasia, telah meramalkan kematian Bapak dengan sangat keji. Ia seperti kelelawar atau burung hantu yang sekali mengepakan sayapnya, mampu merubah malam menjadi begitu menakutkan.
Aku yakin puisi ini disiapkan bukan untuk meghormati kepergian Bapak. Tetapi dengan keyakinan penuh, puisi ini diciptakan untuk menghitamkan sejarah kami.
Bacalah pada bait berikut puisi ini :
…
menciptakan jarak, yang ujungnya
masih dipegangnya
batasnya tak teraba
maka jadilah itu hantu
Puisi ini mungkin sudah dilupakan orang. Atau orang-orang tidak tahu menahu tentang puisi ini. Tetapi orang lebih banyak tahu, di sudut rumah kami yang gelap sering muncul siluet orang merokok sambil berdehem-dehem.
“Apa itu suara Bapakmu?”
Orang-orang bergunjing. Bapaku yang meninggal karena serangan jantung itu, telah menjelma menjadi bayangan hitam dengan ekor yang menjuntai dan melilit-lilit tubuhnya. Orang-orang berbisik, sembari matanya menatap tajam pantatku, seolah-olah di pantatku ada ekor. Ekor yang teramat panjang dan melilit-lilit tubuhku.
“Jadi kamu punya ekor!”
Orang-orang menggambar diriku di tembok-tembok kampung dengan arang. “Monyet yang dikutuk jadi hantu!” tulis mereka.
Membaca itu semua, buku tipis yang berisi puisi sahabatku ini seperti ingin membakarnya. Tetapi saya teringat pesan luhur : membakar buku, membakar pikiran orang lain. ‘Itu tiran!’
Tetapi, kata-kata ini lebih tiran. Aku menduga, sahabatku sedang merencanakan kudeta besar-besaran terhadap tahta keluargaku.
“Otak penyair bukan otak udang, kan?,” keluhku pada Shoim, salah satu sahabatku di makam leluhurnya. Ia sedang mengorek-orek pekuburan. Ia sibuk mencari pisang yang nyangkut di perut yang tidak berhak.
“Ia diamanatkan lahir di bumi sebagai malaekat,” kata Shoim, yang kemudian senyumnya merekah karena telah menemukan sebiji pisang di perut mayat.
“Ia makan pisang yang bukan haknya,” kata Shoim sambil menunjukan mumi pisang.
Melihat pisang yang sudah seperti mumi itu, tiba-tiba aku teringat perut Bapak yang membuncit. Aku melihat diperut Bapak tertanam beribu-ribu tundun pisang yang bukan haknya. Aku menggali kuburan Bapak. Di kain kafannya yang telah rapuh ada tulisan mirip rajah. Tulisan itu tak lain dan tak bukan, bait puisi sahabatku itu :
…
bapakku telah pergi, memang
tapi hantunya itu demikian kuat
demikian mendesak
sampai bagian dalam tubuhku
bergetar, berpusar, seperti
tubir, seperti gerigir
“Apa kamu tidak memahami kata-kata ini. Bahkan ia menciptakan puisi ini jauh sebelum Bapakku mati!”
Sahabatku yang guru ini tampak lebih dewasa menerima kemarahanku. Ia tersenyum. Tetapi saya kira senyuman itu ejekan buatku. Meski tidak terucap, tetapi telingaku mendengar dengus hatinya : “Kamu bodoh!”
Aku memang bodoh. Tetapi puisi ini telah mengusik pikiranku yang bodoh ini. Apalagi barisan kata-kata itu seperti telah menelanjangi orang yang sangat aku hormati. Apakah kamu tau, saking menghormati, aku tak berani meneteskan air mata di depan mayat Bapakku. Beliau pernah mewejangku tentang makna menghormati. Beliau kisahkan tentang tewasnya seorang penjahat di depan anaknya yang kelaparan.
“Ia tidak menangis. Semakin menangis perutnya semakin melilit-lilit. Ia malah mengasah pedang, dan menyelipkan di sisi pinggangnya. Hidup harus diperjuangkan,” kata Bapak.
Kata-kata Bapak itu persis seperti yang dikatakan dalam bait berikutnya :
si sayap-sayap tembikar
yang selalu melipatiku
seperti ladang-ladang itu
tanah harapan, dimana
aku telah menyerahkan kesetiaan
bangkit dan runtuh dan bangkit
Ku kira ini benar. Selama beradab-abad keluarga kami telah membangun ladang ladang. Menghijaukan tanah-tanah gersang. Menanami jagung, padi, dan palawija. Menata batu-batu menjadi benteng dan candi-candi. Membangunkan mereka yang tertidur. Menidurkan mereka yang kelelahan. ‘Gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.’ Begitulah kami menyebut keberhasilan mengolah sawah dan ladang.
Bapakpun sangat menyukai nyaian, Kolam Susu. Yang satu baitnya menyebutkan, ‘orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat dan kayu jadi tanaman…’. Kami selalu menyanyikan saat akan menaman padi atau palawija. Tetapi setelah lagu itu diangap tidak progresif revolusioner, tiba-tiba kami seperti kehilangan doa. Bahkan kami seperti kehilangan sawah ladang tempat kami hidup. Kami seperti hidup dalam gelembung. Hampa. Rentan. Dimata-matai. Kemudian lenyap! Dan di dalam puisi sahabatku itu terselip sejarah kami.
demikianlah asal mula
aku membikin sebuah lahan di gelembung
demikian seterusnya aku mengada.
“Kamu membela!” sergahku dan segera meninggalkan Shoim karena aku melihat dari matanya tumbuh pisau.
Lama aku merenungkan kecurigaan pada puisi sahabatku ini. Sementara hantu Bapak dan ekornya semakin melilitku. Ibu hanya sembunyi di balik bayangan hitam Bapak. Matanya bekaca-kaca. Mulutnya komat-kami seperti merapal doa. Entah doa apa?
Dan entah mengapa, setelah kepergian Bapak, sahabatku yang tinggal di kota penuh jelaga hitam dan angin laut itu, seperti ditelan gelombang. Aku sempat bertanya pada sahabatku yang lain yang tinggal di atas gunung garam.
“Apakah ia seorang pengkhianat?” tanyaku.
“Tidak!” serunya.
“Kalau begitu mengapa ia sembunyi setelah membunuh Bapakku dengan keji?”
“Membunuh?”
“Aku menyebutnya seperti itu…” jawabku ragu.
“Bacalah dengan lebih baik,” kata laki-laki hitam legam, sembari mengayuh sampan, dan menghilang di balik gunung garam yang menjulang di antara dua lautan luas.
***
1000 hari kepergian Bapak telah berlalu. Seiring dengan berlalunya hari-hari mengingat Bapak, kabar berita mengenai sabatku, yang telah menciptakan puisi untuk Bapak, semakin tak kudengar. Tetapi, aku sempat membaca puisi-puisinya yang penting di koran-koran.
Dari sekian puluh puisi, hanya ‘Bapakku Telah Pergi’, yang terus mengusik nuraniku. Dan entah mengapa, puisi itu seperti diciptakan untukku. Atau lebih tepatnya mengutuki nasibku.
Belum sempat aku memikirkan bagaimana menuntaskan dendamku, tak dinyana-nyana, sahabatku datang sambil menenteng tas karung terigu berwarna kuning gading.
Belum sempat aku menyambutnya, ia sudah nyerocos tidak karu-karuan. Ucapannya seperti keluar dari telinga, mata, mulut, dan dubur. Tidak ada henti. Kepala hydrosifalus-nya seperti menumpahkan semilyar kata-kata dan membuatku terbungkam.
“Sory, aku tak sempat melawat,” kata sahabatku saat napasnya hampir habis.
Aku masih tertegun dibuatnya.
“Aku hanya ingin menyampaikan ini,” kata sahabatku, sembari menyerahkan buku ‘Ciuman Bibirku yang Kelabu.’2 “Ini pelunasan hutangku,” lanjutnya.
Aku menatap matanya yang bergerak kesana-kemari seperti kelereng. Aku seperti dihipnotis oleh sinar matanya yang seperti mercury. Aku menerima buku bersampul coklat bergambar bibir merah merekah.
“Sampai jumpa lagi ya!”
Aku seperti terpaku di tanah. Aku pandangi kepergian sahabatku yang bertubuh seperti mentimun bungkil itu. Ia berjalan mekeh-mekeh. Aku seperti melihat ekor di pantatnya. Ya, ekor itu sempat menyumbul, ketika ia kencing di semak-semak depan rumahku.
Aku segera membuka bukunya. Dan tiba-tiba hantu Bapak menyeruak dari lembar-lembar buku itu. Menuding-nudingku dengan sorot matanya seperti kilat.
Aku berlari. Berlari sampai di bibir kuburan Bapak yang tak terawat. Di nisan yang berlumut aku menangis: dan inilah doaku yang pertama, setelah Bapakku pergi.
dan bukan atas hantu:3
“Hantu Bapak”
bapakku telah pergi, memang
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian…
Sidoarjo, 2006-2010
Keterangan :
- Pinjam judul puisi Mardi Luhung. Puisi ini pernah dimuat dalam buku tipis bertajuk: ‘Bapakku Telah pergi’ Puisi Penyair Pilihan Bengkel Muda Surabaya 1995.
- Antologi puisi Mardi Luhung 2007 yang juga memuat puisi ‘Bapakku Telah Pergi.’
- Bait terakhir puisi ‘Bapakku Telah Pergi’ karya Mardi Luhung berkala, Gresik 1995. Ditulis Mardi Luhung, tepat satu tahun meninggalnya bapak penulis cerpen ini.
Biodata :
Rakhmat Giryadi, lahir di Blitar, 10 April 1969. Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya 1994. Selain bergiat di teater ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas (Jawa Timur), Jawa Pos, Radar Surabaya, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Suara Indonesia, Bende, Aksara, Majalah Budaya Gong, Majalah Budaya Kidung, dll.
Kumpulan cerpennya : Mimpi Jakarta (2006) Dongeng Negeri Lumut (2011)
Kumpulan naskah dramanya : Orde Mimpi (2009), Dewa Mabuk (2010)
Komentar