Langsung ke konten utama

Refleksi Sastra 2010



oleh Beni Setia

INTI kontroversi dan polemik sastra
Jawa Timur selama 2010 ini hanya
berkisar di pertanyaan: siapa penyair
Jawa Timur? Pertanyaan dan
sekaligus ancangan kurasi yang dilakukan
pihak berkepentingan ketika
menggarisbawahi kehadiran penyair
Jawa Timur dalam teks, acara baca
puisi, serta buku antoloji. Satu prosedur
kurasi yang lemah karena hanya
merujuk siapa penyair yang aktif
menulis serta karyanya terpublikasikan
di media massa cetak saat ini.

Yang memantik gugatan dari pihakpihak
yang merasa telah bersikesusastraan
sejak lama dan terbukti dengan
karya yang dipublikasikan jauh di
dekade sebelumnya, dan oleh komunitas
yang aktif menampung dan memfasilitasi
karya penyair yang sedang in
mood berkreasi serta terbukti lewat
publikasi karya secara intern komunitas
atau di pembacaan lintas komunitas.
Gugatan yang menohok, sebab
mempertanyakan kurasi yang kuratornya
malas mencari tahu siapa yang
telah berkarya, serta siapa yang sedang
in mood berkarya tapi tak tampil
dalam media massa mainstream koran,
majalah, atau blog bergengsi.

Seakan tugas si kurator itu mengamati
sampai blingsatan ke sana ke
mari menekuni kegiatan komunitas,
atau tekun membuka file lama di perpustakaan
nasional. Padahal si kurator
itu bukan orang yang full melakukan
kurasi, karena punya tugas yang
lebih inti, PNS atau menulis kreatif.
Jadi, tak heran bila ada yang menganjurkan
supaya Pemprov Jatim atau
DKJT itu membayar orang buat
melakukan penelitian tentang komunitas
sastra dan melaporkannya sebagai
buku. Tapi apa Pemda dan DKJT
itu lumbung emas dengan dana berlimpah?
Tapi apa komunitas sastra itu
sesuatu yang vital hingga harus ditangani
secara crash program mengalahkan
program sensus kemiskinan dan
subsidi jamkeskin?

Bila intinya Pemda cq Disbudpar
Jawa Timur dan DKJT tidak punya
data tentang komunitas sastra daerah,
tak punya bank data tentang karya
sastra dan sastrawan di daerah, maka
jalan keluarnya bukan membayar orang
agar keluyuran. Tak perlu repot
dan kebakaran jenggot seperti itu, cukuplah
dengan konsistensi menerapkan
UU tentang barang cetakan. Aspek
yang mengharuskan setiap pihak yang
membuat publikasi terbitan berujud
buku atau selebaran harus melaporkan
keberadaan produknya itu cq pengiriman
ke perpustakaan dan badan
arsip nasional. Sesuatu yang wajib
hukumnya dan karenanya bersanksi
hukum.

Alhasil, Badan Perpustakaan dan
Kearsipan Provinsi Jatim, Disbudpar,
serta DKJT sebetulnya punya hak
memiliki informasi itu bila komunitas
sastra daerah mau mengerti dan
patuh. Tapi apa komunitas sastra
daerah mau peduli? Sekaligus, apa institusi
resmi dan semi-otonom di level
provinsi Jawa Timur telah aktif mengantisipasi
aplikasi UU itu dengan
mempunyai ruang arsip dan pustakawan
yang teliti memilah dan
menyusun data? Dengan kata lain, inti
kontroversi sastra Jawa Timur di
2010—pemicu pertanyaan ”siapa penyair
Jawa Timur” itu—adalah fakta
dan fenomena manajemen data ala
Melayu. Tidak ada inventarisasi dan
pengawetan data tentang kreasi sastra
dan sastrawan di daerah. Dan celakanya,
hal itu tak hanya diindap institusi
pemda, tapi juga PT yang punya
basis kajian keilmuan sastra. Tak
bisa kita mencari data sastra dan sastrawan
daerah ke perpustakaan fakultas
dan universitas, terlebih DKJT
yang semi-otonom dan orangnya tak
kerja full.

DKJT mungkin punya litbang, tapi
DKJT tak punya bank data yang permanen
serta dikelola sebagai aset
terutama sehingga di khazanah arsip
itu bercokol pustakawan yang digaji
tetap, atau peneliti yang digaji
tetap dan bekerja seumur hidup.
Karena dari file itu, DKJT tahu siapa
yang sudah tak berkreasi dengan
karya unggulan, siapa yang medioker,
siapa yang masih aktif berkreasi,
dan siapa yang berpotensi untuk difasilitasi
agar muncul karya unggulan
dari Jawa Timur. Tak ada
pemikiran tentang pentingnya data,
terlebih ide bagaimana informasi
data itu dikembangkan buat memaksimalkan
biro sastra DKJT.

Khazanah data DKJT lebih miskin
dari DKS yang telah berdiri lebih dulu.
Sehingga semua informasi data terpaksa
diambil individu ketua dan para
anggota komite sastra dari khazanah
pribadi, sehingga jadi personal dan terbatas.
Tapi apa itu salah DKJT atau
salah filosofis Melayu yang abai akan
manajemen data? Salah satunya,
keengganan komunitas sastra untuk
mengirimkan buku dan buletin komunitas
daerah ke DKJT. Jadi, tak normal
bila ada orang yang kebacut memaki
DKJT sambil tak mau mengisi
bank data DKJT agar tercapai kondisi
ideal informasi akurat mendasar.
Atau: agenda mendesak kita itu menata
bank data seni dan seniman daerah
di litbang DKJT.(*)

*Pengarang tinggal di Caruban

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI