Langsung ke konten utama

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme.
ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini.
selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...buah karya.... . mungkinkah tradisi pengajaran di sekolah kita yang membuat hal tersebut terjadi. tapi entah, ternyata tak hanya dari lomba baca puisi saja saya mendapati hal itu. dari pembacaan puisi ketika agustusan pun saya juga menyaksikan hal itu. lalu apa dilarang. tidak, pembacaan puisi adalah semacam pembebasan emosi deklamator terhadap teks. namun bukankah cara tersebut membelenggu?
salah baca diksi. juga saya temui dalam penjurian yang saya lakukan. lalu apakah hal itu dapat mengurangi nilai peserta? ah, lupakanlah. dalam anggapan saya hal itu bisalah dikatakan sebagai sebuah improvisasi lebih atas teks. asal improvisasi itu tidak keterlaluan sampai mengubah makna teks. semisal kata bunga diganti kembang. bukankah hal itu adalah pemikiran lain dari deklamator terhadap teks. sungguh, lupakan saja aturan baku untuk membaca puisi. akan tetapi dilemanya bila dalam konteks lomba. aturan dari juri harus diketahui terlebih dahulu.
lalu harus bagaimanakah? saya sendiri juga bukan deklamator puisi yang baik. saya juga tak biasa membaca puisi dengan berteriak. puisi yang saya baca kebanyakan puisi kamar. mungkin hal itu juga yang memengaruhi saya. ya, bebas sajalah dalam membaca puisi. asal kita mempunyai vokal, ekspresi, improvisasi yang baik atas naskah. dengan demikian ada semacam penyatuan antara pembaca dan puisi. tentunya deklamator harus mengetahui puisi yang cocok dengan dirinya. percayalah, faktor itu ada dan cukup berpengaruh.
selamat membaca puisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI