Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2011

Puisi-puisi Tengku Amir Hamzah

Insyaf Segala kupinta tiada kauberi Segala kutanya tiada kau sahuti Butalah aku terdiri sendiri Penuntun tiada memimpin jari Maju mundur tiada berdaya Sempit bumi dunia maya Runtuh ripuk astana cuaca Kureka gembira di lapangan dad Buta tuli bisu kelu Tertahan aku dimuka dewala Tertegun aku di jalan buntu Tertebas putus sutera sempana Besar benar salah arahku Hampir tertahan tumpah berkahmu Hampir tertutup pintu restu Gapura rahasia jalan bertemu Insyaf diriku dera durhaka Gugur tersungkur merenang mata: Samar terdengar suwara suwarni Sapur melipur merindu temu PADAMU JUA Habis kikis Segala cintaku hilang terbang Pulang kembali aku padamu Seperti dahulu Kaulah kendi kemerlap Pelita jendela dimalam gelap Melambai pulang perlahan Sabar, setia, selalu Satu kasihku Aku manusia Rindu rasa Rindu rupa Dimana engkau Rupa tiada Suara sayup Hanya kata merangkai hati Engkau cemburu Engkau ganas Mangsa aku dalam cakarmu Bertukar tangkap dengan lep

Puisi Amir Hamzah Bukan Sastra Sufi

Jakarta - Meskipun selama ini puisi-puisi sastrawan Pujangga Baru, Amir Hamzah , sering dimasukkan sebagai karya sufistik, pengamat sastra Arief Bagus Prasetyo cenderung menolaknya. "Amir Hamzah bahkan dimasukkan dalam antologi sastra sufi yang disusun oleh Abdul Hadi W.M.. Tapi, menurut saya, Amir Hamzah menjadi satu-satunya pengarang yang bukan sufi dalam antologi itu," kata Arif dalam diskusi "Mendaras Amir Hamzah" di Freedom Institute, Jakarta , Kamis (24/6) malam. Acara yang dipandu Nirwan Dewanto itu juga menghadirkan Sapardi Djoko Damono sebagai pembicara. Buku Sastra Sufi: Sebuah Atologi karya Abdul Hadi itu memuat karya-karya penyair mistikus dan filsuf Islam terkemuka, seperti Jalaludin Rumi, Al-Hallaj, Rabiah Al-Adawiyah, Hamzah Fansuri, Yasadipura I, Yasadipura II dan Raja Ali Haji . Arif juga mengutip pandangan Goenawan Mohamad yang menekankan keresahan Amir Hamzah dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai masalah pokok dalam

MITOS-MITOS PRIBADI ARIPIN PETRUK

Oleh Arif Bagus Prasetyo MITOS (Yunani: mutos , cerita) adalah narasi rekaan manusia yang banyak mengungkapkan hal-hal yang ajaib, gaib, dan lazimnya ditokohi dewa-dewi atau para pahlawan setengah-dewa. Entah digubah berdasarkan fakta atau tidak, mitos umumnya dianggap sebagai bukan sekadar kisah. Dalam berbagai kebudayaan, mitos memiliki makna terselubung yang mendalam, mengandung tafsir tentang asal-usul semesta dan manusia, bahkan sering dipandang suci.             Manusia menciptakan mitos supaya dapat memahami dirinya: bagaimana ia terhubung dengan dunia di sekelilingnya, dan menjadi eksis di sana. Realitas telanjang hanyalah sekumpulan data acak yang ditangkap secara spontan oleh indera dan intuisi manusia. Dunia sebagaimana apa adanya adalah sebuah khaos: tak lebih daripada sehimpun fakta yang amat kompleks dan kacau-balau, penuh ihwal yang tak dikenal, yang mengancam dan mencekam manusia. Berbagai benda dan peristiwa silih-berganti mengisi ruang pengalaman ma

Fenomena self Publishing

Oleh Anggun Gunawan Dalam beberapa kesempatan mempromosikan “Print On Demand” (POD) kepada beberapa dosen dan beberapa kenalan di milis, mereka terkejut dan sangat antusias. Betapa tidak, dalam bayangan mereka menerbitkan buku adalah proses yang rumit. Mulai dari menyiapkan naskah, melego ke penerbit, sampai proses editing menjelang diputuskan layak cetak yang memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi ketidakpastian apakah naskah yang dikirim diterima dan persoalan royalti yang lebih menguntungkan penerbit daripada penulis. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang suka menulis. Bahkan sudah punya sederetan naskah yang siap diterbitkan. Namun, karena keder duluan berhubungan dengan penerbit akhirnya mereka mengurungkan niat mengonversi naskah menjadi buku. Awalnya mereka tidak percaya ketika saya menyampaikan sistem POD dalam menerbitkan buku. Setelah saya buktikan dengan meminta naskah mereka, kemudian saya buatkan cover dan  edit selama semingguan, barulah mereka percaya

Pilihan Sastri Handayani

Cerpen Sori Siregar   i 5 suara Begitu Sastri selesai membaca berita dan keluar dari studio, Barbara juga keluar dari cubicle—ruang operator tempat Barbara sebagai produser mengawasi karyawan yang bertugas menyiar—dan menyambut Sastri dengan tersenyum.” ”Sastri,” katanya dengan suara lembut. Nama Nicosia harus dibaca dengan tekanan suara pada ”si” bukan pada ”co”. Jadi Nicosia dibaca Nico’sia bukan Ni’cosia. ” Sorry for the mistake, Barbara, ” Sastri menyahut. ”Ok. No problem,” sahut produser yang berasal dari Australia itu. Kemudian kedua perempuan itu melangkah bersama, Barbara ke kamar kerjanya dan Sastri ke ruang kerja para broadcaster. Rekan-rekan Sastri tampak sibuk mengetik bahan program masing-masing di ruang kerja itu. Mereka disebut broadcaster bukan announcer , karena tugas mereka bukan semata-mata menyiar, tetapi juga menyunting, mewawancara, mencari bahan-bahan dari perpustakaan yang akan mereka rangkum untuk program masing-masing, menyampaikan laporan pa

Sematku Patah di Cungking

Cerpen Ema Rianto SETELAH menempuh perjalanan lebih 24 jam dari Perancis-Hongkong-Singapore-Jakarta, Surabaya- Banyuwangi, badan terasa patah-patah. Bis patas AC yang aku naiki dari Surabaya rupanya hanya sampai di Jember. Perjalanan ke Banyuwangi hanya bisa menggunakan bis ekonomi yang penuh aroma minyak angin. Setelah tiga puluh tahun aku meninggalkan Cungking, baru kali ini aku kembali lagi. Ya, ini bukan mimpi. Aku benar-benar pulang kampung. Sesekali terdengar percakapan dalam boso osing yang hanya dimengerti oleh kami orang osing. Setelah enam setengah tahun mengarungi beberapa samudra sebagai awak kapal, akhirnya aku terdampar di kota pelabuhan Marseille, Perancis Selatan. Di bar aku kenal Manuela, gadis keturunan Spanyol yang ngefan orang Indonesia. Usaha Manuela berbahasa Indonesia kami apresiasi. Manuela memaksa saya untuk bercakap dalam bahasa Indonesia, ia tak melayani percakapanku dalam bahasa Inggris. Ennuyeux [1], komentarnya. Tak puas sampai di situ, ia

Selamat Datang

Dody Kristianto*   Saya baru saja bangun tidur Tuan. Saya tahu tadi malam saya kehujanan dan lupa saya telah bermimpi apa. Yang pasti, ketika bangun tidur saya mendapati jika setumpuk kertas di hadapan saya ini harus segera saya apresiasi. Ya, setumpukan kertas Tuan. Setumpukan kertas dari seorang  filsuf cum guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang bernama Heru Susanto. Filsuf muda ini secara tak langsung telah meneror saya untuk menulis semacam pengantar bagi buku kumpulan karya siswa yang dididik oleh Heru.      Sepenuhnya saya sadari bahwasanya tindak apresiasi karya sastra di sekolah masih sangat rendah. Label itu masih diperparah lagi dengan metode pengajarannya yang kurang merangsang libido para siswa untuk mengenali siapa saja para sastrawan kita, membaca karya-karya mereka, dan mencoba menulis (atawa mengarang indah) karya sastra. Tahulah saya jika sastra, sebagaimana harus ditakdirkan, selalu berada pada wilayah pingiran. Menyitir pendapat seorang penyair, Mas

Tentang Eva dan Dua Esai Mininya

Heru Susanto* Teman, inilah sosok akademisi yang berambisi ingin menjadi kritikus sastra. Ini bukan suatu cemoohan seperti yang dilontarkan teman-teman di atas terhadap Eva Dwi Kurniawan . Saya mencoba mengkaji s osok Eva melalui tulisannya. Mengenai tidak adanya puisi atau minimal penggalan puisi karya Dody Kristianto dalam esainya "Tentang Sajak Dody Kristianto", itu hal lumrah bagi Eva. Kemungkinan besar, itulah salah satu inisiatifnya untuk mempertahankan apa yang disebut dengan "kirik sastra mini" seperti yang tertulis di blog tersebut. Kira-kira di sinilah teman-teman harus memperhatikannya. Eva tampaknya tidak mau ketinggalan dengan populernya prosa mini hingga dia harus memunculkan esai mininya. Semacam gejala ikut-ikutan dalam budaya masa kita serupa celana pendek mini yang populer dipakai perempuan akhir-akhir ini. Ya, kira-kira panjangnnya satu kilan menutupi pantatnya. Yang pada akhirnya, dia pun harus merelakan bukti konkret perihal puisi

Tentang Jurnal Puisi Amper

Oleh Eva Dwi Kurniawan Selama ini saya memang tidak mengikuti proses kreatif yang dilakukan oleh kawan-kawan saya di Surabaya. Saya hanya tahu mereka dari status yang mereka tulis di akun facebook. Itu saja. Sementara saya, terhadap fecebook tidak terlalu begitu antusias. Apa yang ditanyakan, apa yang di bantah dalam akun fecebook saya, jika saya sedang ingin membalas, tentu akan saya balas. Namun, tampaknya, lebih banyak saya balas setelah sekian hari atau minggu. Saya tidak terlalu fanatik dengan facebook. Beberapa waktu lalu, seorang kawan, Dody Kristianto men tag sebuah cover jurnal puisi. Setelah aku baca siapa yang berada di belakang jurnal itu, tampak nama-nama yang tidak asing didengar. Melihat nama-nama itu semua, tentu, besar harapan saya agar jurnal itu tetap bertahan. Mereka adalah Alek Subairi,  A Muttaqin, Mardi Luhung, Timur Budi Raja, M Fauzi, Salamet Wahedi, Umar Fauzi Ballah, Dody Kristianto, Choirul Wadud, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Akhudiat, Tzalis

Pesona Keempat Sutardji Calzoum Bachri

-- Asarpin* SEJAUH ini, lebih dari lima puluh ulasan tentang puisi Sutardji Calzoum Bachri (selanjutnya ditulis Tardji). Namun, di antara yang banyak itu, saya melihat jarang sekali sajak-sajak Tardji pasca-O Amuk Kapak (1981) mendapat perhatian. Mungkin karena puluhan sajak mutakhirnya itu belum dibukukan, hingga perhatian kritikus masih tetap pada sajak-sajak lama. Arif Bagus Prasetya memang sempat menyinggung puisi-puisi Tardji terbaru sedikit membandingkan dengan sajak-sajak sebelumnya hingga Arif sampai pada kesimpulan bahwa sajak-sajak lama Tardji menampilkan "sajak aksi" dan sajak-sajak terbarunya menggemakan "sajak saksi"--sebuah kesimpulan yang hemat saya masih perlu diperdebatkan. Puluhan puisi terbaru yang ditulis Tardji sangat padat menggunakan kalimat dengan kejutan estetik yang mencengangkan. Di antara puisi terbarunya saya sempat menyimpan puisi La Nosche De Las Palabas, Tanah Air Mata, Berdepan-Depan dengan Kakbah, Idulfitri, Cerm

Dua Penyair Indonesia Modern: Saut Situmorang dan Nirwan Dewanto

esai (Alm.) Asep Sambodja     Saut Situmorang Nirwan Dewanto oleh Asep Sambodja Puisi Saut Situmorang: surat bawah tanah bukan rasa perih peluru yang membakar darah kami yang memaksaku menulis surat ini, kawan bukan rasa takut di mata mata hitam itu di suara jeritan jeritan kematian di sekitar kami yang mengingatkanku padamu bukan rasa puas di wajah wajah baret hijau baret merah itu tangan tangan coklat yang kokoh yang kejam yang menggenggam senapan senapan marah mereka yang menembakku untuk mengangkat penaku, kawan bukan matahari, matahari yang dingin dan buta itu bukan kebiruan diam mencekam langit yang cuma menonton itu bukan kebisuan yang tak termaafkan ini yang membuat marah jiwa kami yang frustrasi tapi kewajiban untuk berdiri tegak melawan ketidakadilan binatang kemunafikan bau kentut dan kebenaran diri sendiri yang berkarat berlumut yang membuat kami berani beraksi rasa sakit yang tak tertahan di hati kami yang terluka membuat kami sadar d

Tentang Sajak Dody Kristianto

Oleh Eva Dwi Kurniawan Dody Kristianto, nama yang kini menjadi perhatian saya. Seorang sarjana sastra. Sudah lama saya memendam sebuah rasa yang aneh. Rasa yang tersamar-samar mengatakan bahwa kawan saya itu, Dody, akan menjadi seorang penyair baik. Penyair yang resah dengan bahasa dan selalu menemukan kegagalan dalam menyusunnya. Sebab, yang namanaya sajak, tidak akan pernah berhasil diciptakan. keberhasilannya ialah ketika sajak itu dirasakan gagal. Dan sebab gagal itulah, usaha untuk menyusunnya kembali, dilakukan. Dan sudah pasti, akan terjadi kegagalan lagi. Begitulah, serupa kutukan Zeus kepada Syisipus. Kegagalan-kegagalan itulah yang terus disampaikannya melalui puisi. Dody, tetap menulis puisi. Ia selalu berusaha menulis, meskipun, saya yakin, apa yang ditulisnya itu masih belum membuat dirinya puas. Selalu saja dia resah ketika sajaknya selesai ditulis, terlebih jika dimuat disurat kabar. Masih saya ingat ketika ketika beberapa puisinya gagal dimuat di me

Foto-foto Semasa Kuliah

Anakku lahir dari rahim Televisi

Cerpen R Giryadi ANAK-anak hilang Aku takut mendengar jeritan anak-anak yang berlari di pematang sawah. Bermain-main layang-layang mengusir mendung dan halilintar yang menyambar-nyambar ujung rambutnya. Mereka berteriak-teriak: ‘cempe-cempe undangna barat gedhe, tak opahi duduh tape, lek entek njupuka dhewe’. Anak-anak berlari menyambut puting beliung. Sembari mengibas-ibaskan kaosnya, laksana cowboy yang menghalau sapi-sapi. Cakrawala memapaknya. Anak-anak hilang. Hilang ditelan senja. Cangkul dan tampah, dipukul bertalu-talu. Malam pun kian melaju. “Ke mana anak-anak?! Ditelan grahono!” Suara tetabuhan cangkul, tampah, dan rinjing, terus bertalu-talu. Bertala Kala berjoget kegirangan. Anak-anak lolos dari cengkeraman mautnya. Anak-anak pun tertidur pulas dalam rahim istriku. Aku mengusap peluh. “Apa dia anakku?” aku bertanya dalam paruh malam, tanpa bulan yang hilang ditelan raksasa. “Bukan?” Anak-anak menggeliat. Istriku menglenguh! Paranoid kelahiran Aku geme