Langsung ke konten utama

Tentang Jurnal Puisi Amper

Oleh Eva Dwi Kurniawan
Selama ini saya memang tidak mengikuti proses kreatif yang dilakukan oleh kawan-kawan saya di Surabaya. Saya hanya tahu mereka dari status yang mereka tulis di akun facebook. Itu saja. Sementara saya, terhadap fecebook tidak terlalu begitu antusias. Apa yang ditanyakan, apa yang di bantah dalam akun fecebook saya, jika saya sedang ingin membalas, tentu akan saya balas. Namun, tampaknya, lebih banyak saya balas setelah sekian hari atau minggu. Saya tidak terlalu fanatik dengan facebook.

Beberapa waktu lalu, seorang kawan, Dody Kristianto mentag sebuah cover jurnal puisi. Setelah aku baca siapa yang berada di belakang jurnal itu, tampak nama-nama yang tidak asing didengar. Melihat nama-nama itu semua, tentu, besar harapan saya agar jurnal itu tetap bertahan. Mereka adalah Alek Subairi,  A Muttaqin, Mardi Luhung, Timur Budi Raja, M Fauzi, Salamet Wahedi, Umar Fauzi Ballah, Dody Kristianto, Choirul Wadud, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Akhudiat, Tzalis Abdul Azis, Ashif Hasanuddin dan Putri Mayasari. 

Kemungkinan besar, saya melihat, keberadaan jurnal itu adalah sebuah perkawainan antara teman-teman yang menamakan dirinya sebagai komunitas SARBI dengan teman-teman di komunitas Rabu Sore. Yang saya tahu, secara aktif komunitas yang menerbitkan sebuah tulisan dengan agak serius adalah komunitas SARBI (Sastra Anlienansi Berbasis Independen). Mereka memformat media tulisnya, yang awalnya berupa lembaran kertas biasa, sebagaimana halnya brosur-brosur pada umunya, diusahakan pula diwujudka menjadi media digital. Berformat PDF dan dapat didownload secara gratis. Tampilannya sangat bagus selayak media seni prfesional yang menampilkan disain menarik. Menyegarkan mata. Bagi saya, itu sudah menjadi kemajuan yang baik. Semantara itu, komunitas Rabu Sore masih seperti biasa yang saya ketahui, masih mengunakan media berupa kertas serupa brosur promosi sebuah produk. 

Namun, keaktifan teman-teman di Surabaya, tampaknya memang harus mendapat apresiasi hangat. Bagaimana pun juga, hal itu layak untuk dicatat ke dalam sejarah kesasatraan Indonesia. Berbagai bentuk kegiatan dan karya yang dihasilkan layak untuk dicatat. Meniru apa yang dikatakan oleh Chairil Anwar, layak dicatat, layak mendapat tempat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI