Langsung ke konten utama

Selamat Datang

Dody Kristianto*
 
Saya baru saja bangun tidur Tuan. Saya tahu tadi malam saya kehujanan dan lupa saya telah bermimpi apa. Yang pasti, ketika bangun tidur saya mendapati jika setumpuk kertas di hadapan saya ini harus segera saya apresiasi. Ya, setumpukan kertas Tuan. Setumpukan kertas dari seorang  filsuf cum guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang bernama Heru Susanto. Filsuf muda ini secara tak langsung telah meneror saya untuk menulis semacam pengantar bagi buku kumpulan karya siswa yang dididik oleh Heru.     Sepenuhnya saya sadari bahwasanya tindak apresiasi karya sastra di sekolah masih sangat rendah. Label itu masih diperparah lagi dengan metode pengajarannya yang kurang merangsang libido para siswa untuk mengenali siapa saja para sastrawan kita, membaca karya-karya mereka, dan mencoba menulis (atawa mengarang indah) karya sastra. Tahulah saya jika sastra, sebagaimana harus ditakdirkan, selalu berada pada wilayah pingiran. Menyitir pendapat seorang penyair, Mashuri, jika sastra berada pada wilayah tepi dari kebudayaan di mana kebudayaan itu sendiri juga berada pada wilayah pinggiran bidang kehidupan manusia. Dalam khazanah pendidikan, sastra harus rela pula mendapat porsi di pinggiran, dalam pelajaran yang pinggiran pula (Bahasa Indonesia).
    Padahal, jika disadari, sastra memberi pemahaman berbeda mengenai hidup. Sastra menawarkan cara pandang yang lain terhadap sebuah peristiwa. Para penulis adalah garda depan kehidupan yang berusaha menyuarakan suara penderitaan pada zamannya. Maka, manusia-manusia semacam Gabriel Garcia Marquez, Emile Zola, Octavio Paz, Toni Morisson, Langston Hughes, Jalaludin Rumi, Nurrudin Ar Raniri, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, hingga Wiji Thukul adalah mereka yang berjuang demi kehidupan. Ya, tak jarang mereka harus berhadapan dengan tangan-tangan kekuasaan. Toh, mereka telah mendapat cap sebagai manusia yang telah teruji menghadapi konflik peradaban.
    Ah, Tuan, padahal mantan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy juga mengatakan bahwa jika politik itu bengkok, maka puisi (sastra) yang meluruskan. Tentu Kennedy tidak asal ngecap, tidak asal njeplak sebagaimana politisi di Senayan yang setiap hari membikin saya makin muak untuk makan. Kennedy juga mengundang penyair Robert Frost untuk membacakan puisi-puisinya pada saat ia dilantik. Lalu apakah D Zawawi Imron atau Sutardji CB akan membacakan puisinya ketika acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI? Sampai saat ini saya masih bermimpi Tuan. Ah, barangkali sedari tadi saya masih asyik berbasa-basi sendiri.
    Kembali kepada buku ini, sebenarnya buku ini oleh si filsuf, Heru Susanto, dimaksudkan sebagai buku kenangan bagi para siswanya. Entah mengapa buku kenangan itu harus berakhir nasib sebagai buku antologi apresiasi siswa. Ya, buku ini akan memuat beberapa puisi, cerpen, serta esai para siswa SMP Al Azhar Surabaya. Tiba-tiba pula pikiran saya mengawang, kembali pada masa lalu saya : apakah saya juga menulis semasa SMP? Yang pasti mereka adalah siswa-siswa yang harus saya saluti semangatnya.


***

    Saya pun harus mengucapkan satu kata sakti yang menjadi kunci pada kegiatan sastra. Kata-kata yang saya dapatkan dari seorang Tengsoe Tjahjono, penyair cum dosen apresiasi puisi pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia bilamana kegiatan kepenulisan ini dimulai dengan tindak apresiasi.
    Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tebal menggumpal itu pun memberikan pengertian aprsiasi pada saya. Ya, kesadaran terhadap nilai seni dan budaya atau kegiatan penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu. Menghargai dan menilai. Terlebih dahulu sebelum menulis, para sastrawan yang kini telah menjadi adalah orang-orang yang menghargai dan (memberikan) penilaian terhadap karya para sastrawan pendahulu mereka. Artinya, sebelumnya mereka telah membaca karya para pendahulunya. Maka mustahil pula seseorang menulis tanpa pernah membaca karya-karya yang telah ada sebelumnya.
    Bukankah seorang apresiator sastra nan handal di Indonesia, Nirwan Dewanto, pernah mengatakan jika sastrawan terdahulu akan menciptakan sastrawan-sastrawan generasi sesudahnya? Nah, sampai di sini saya terhenyak Tuan. Ternyata sastra adalah kegiatan menyusuri, mencari, menemukan jejak para sastrawan terdahulu. Artinya membaca dan mengembangkan kembali karya sastra terdahulu dengan napas yang baru.
    Para penulis dalam buku antologi ini adalah anak-anak SMP yang notabene mereka baru menulis dan belum punya nama besar. Tak jadi soal. Yang penting adalah kemauan untuk mengapresiasi karya sastra lalu menulis sebagai kegiatan manifestasinya. Bukankah begitu Tuan? Saya juga melihat kini usia bukanlah patokan seseorang harus mulai kegiatan kepenulisan. Seseorang bisa saja memulai kegiatan ini ketika masih berusia dini. Benarkah? Mungkin setidaknya itu yang ingin dibuktikan oleh para penulis Mizan melalui serial Kecil-kecil punya Karya.
    Tuan, bagaimana dengan karya-karya dalam antologi ini? Mohon maaf, rupanya saya sudah terlalu banyak melantur rupanya.

***

    Sebagaimana alur perasaan para remaja, Tuan, saya tentu tak dapat menghindari tema-tema  semacam cinta, persahabatan, atau juga berkenaan dengan keadaan di sekitar. Sapardi Djoko Damono pun turut mengatakan bila sastra tidak terlahir dari kekosongan (ah, Tuan, saya terpaksa membuka kembali lembar demi lembar skripsi saya). Artinya selalu saja ada sebuah peristiwa yang membuat seorang sastrawan untuk membuat karyanya. Demikian pula para siswa ini, selalu saja ada sebuah kejadian yang membuat mereka menuliskan karyanya. Ya, semoga saya tidak salah terka Tuan.
    Lalu dengarlah suara sepi yang coba disuarakan oleh Zahra Arsyla : pagi menghianati /rintik hujan membasahi taman / seperti apa yang aku rasakan // tergores lukaku / terasa malam tanpamu / sungguh terpukul hati ini / tersenyum hati jika kau menemani malamku. Puisi tersebut adalah puisi suasana yang berhasil. Tentunya, ada beberapa hal yang harus diperbaiki oleh Zahra. 
    Teriakan protes tentu juga tak akan tertinggal dalam buku ini, Tuan. Sebagaimana sejarah sastra Indonesia pernah mencatat kehadiran penyair-penyair besar yang bersenjatakan pamplet (puisi protes), semacam Rendra atau Wiji Thukul. Penyair-penyair pamplet inilah yang relatif dekat dengan publik Indonesia sebab puisi-puisinya memang dekat kenyataan sehari-hari yang dialami masyarakat.
    Puisi Vita Septiawati mencoba untuk melukis suara hati masyarakat yang kian hari susah, sementara para penggede negara ini, anggota dewan terus menikmati fasilitas gratis. Tentu teriakan parau masyarakat kecil ini tak akan sampai di telingan mereka. Bayangan hitam semena-mena / Seakan memberi makna / Seperti katak yang berdiri / Di genangan air yang tak jernih lalu Janjimu telah membuat pasti / Tapi kau selalu menghianati / Di mata semua publik / Seakan kau berarti / Tetapi hatimu busuk sekali // Andaikan kau tahu / Rakyat pribumi terbelenggu / Oleh perilakumu yang tidak berbudi.
    Geram terhadap kegagalan reformasi mencoba disuarakan oleh Bramantya Ari Pradipta. Dua puisinya mencoba menggunakan dan mengolah kata reformasi. Reformasi yang diharapkan dapat menjadi harapan akan perbaikan ternyata menjadi sia-sia. Tentu Bramantya tidak hanya asal menyuarakan Tuan. Ia mencoba mengolah kata-kata menjadi sangat tajam. Pilihan katanya sangat variatif dan imajinatif. Lihatlah puisi “Evolusi Reformasi” : Raja neraka datang pada Jibril / Menyuruh peri ke neraka / Dan setan ke surga // Kupu-kupu hanya berevolusi / Katak yang melompat / Bersama melewati reformasi // Dengan catur berlimpah darah / Menyisakan hitam dan merah / Ketika semua berubah hanya raja tersisa dan puisi “Tak Terjaga” :  : Dunia berhujan darah / Tak ada rasa / Tak ada ampun // Tentara tak berani / Menghancurkan reformasi / Zombi-zombi memegang kuasa dan diakhiri dengan Penguasa tertelan bumi / Tukang sampah mengambil alih / Hidup senang bagai kijang. Kesadaran mengolah metafora sudah dimiliki oleh Bramantya. Jika Bramantya rajin membaca dan menulis, puisi-puisinya bukan tak mungkin akan terus berkembang.
      Tuan, kita tentu tak akan melupakan tema cinta. Tema yang satu ini pasti akan selalu ditulis sepanjang masa. Apalagi jika yang mengolahnya adalah para remaja. Puisi J. Mega yang berjudul “ Vacuum” misalnya, dengan sangat sederhana ingin mendedahkan tema cinta : ...kesepian hati kiat mengambil lorong-lorong petangku / terbang jauh dari sangkar pilumu / kuingin cerai dari sosok luka / gerakku tak ingin kau ikat kembali / inang meminta biru awan tak kembali pudar / sesampainya henti jejak ini tuk sosok orang lain. Dengan lebih ringkas, “Cinta Sepotong Kertas” karya M. Ardhi Ma'arif ingin merayakan kerinduannya : Di malam tanpa hadirmu di sisiku / Bagaikan hujan terus membasahi tanah ini / Hidup sepotong kertas melayang ke sana ke sini / Tanpa kasih tulus.
      Di sela-sela ingar-bingar puisi dan cerpen dalam buku ini, saya terkaget-kaget Tuan. Ada esai yang menyelip dengan sangat perlahan. Esai karya Enitza Annisa Salsabila turut memberi warna beda sebab esai adalah jenis karya sastra yang jarang ditulis dan diminati oleh anak muda. Apalagi Enitza membaca puisi Mardi Luhung, salah satu penyair Indonesia terkini yang puisi-puisinya masih sangat jarang diajarkan di sekolah, dan mencoba menuliskan kembali (tentu saja dalam bahasa khas Enitza, Tuan).


***

      Akhirnya Tuan, di sela-sela keramaian sastra Indonesia yang akan terus berkembang, saya hanya dapat mengucapkan : Selamat Datang. Selamat mengarungi hutan kata-kata yang terkadang terjal, namun tetap menyejukkan. Selamat datang di negeri suara yang selalu garang, tapi tak jarang (barangkali sering) diliputi kesunyian dan kesepian. Akhirnya, semoga mereka tetap membaca, membaca, dan membaca, sehingga karya mereka kelak terus berkembang dan salah satu di antara mereka mungkin akan kita baca sebagai salah satu sastrawan di masa yang akan datang. Ah, tidak saya sadarai, Heru telah mengusik tidur saya malam ini. Selamat malam Tuan. Salam.

 
* Penikmat sastra. Anggota Komunitas Rabo Sore dan pegiat Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI