Langsung ke konten utama

Anakku lahir dari rahim Televisi

Cerpen R Giryadi

ANAK-anak hilang

Aku takut mendengar jeritan anak-anak yang berlari di pematang sawah. Bermain-main layang-layang mengusir mendung dan halilintar yang menyambar-nyambar ujung rambutnya.

Mereka berteriak-teriak: ‘cempe-cempe undangna barat gedhe, tak opahi duduh tape, lek entek njupuka dhewe’.

Anak-anak berlari menyambut puting beliung. Sembari mengibas-ibaskan kaosnya, laksana cowboy yang menghalau sapi-sapi. Cakrawala memapaknya. Anak-anak hilang. Hilang ditelan senja.

Cangkul dan tampah, dipukul bertalu-talu. Malam pun kian melaju.

“Ke mana anak-anak?! Ditelan grahono!” Suara tetabuhan cangkul, tampah, dan rinjing, terus bertalu-talu. Bertala Kala berjoget kegirangan. Anak-anak lolos dari cengkeraman mautnya.

Anak-anak pun tertidur pulas dalam rahim istriku. Aku mengusap peluh.

“Apa dia anakku?” aku bertanya dalam paruh malam, tanpa bulan yang hilang ditelan raksasa.

“Bukan?”

Anak-anak menggeliat. Istriku menglenguh!
Paranoid kelahiran

Aku gemetar, tiba-tiba anak-anak menendang-nendang dinding rahim istriku. Istriku meraung-raung, menggelinjang, membanting tubuhnya di kasur butut. Anak-anak tertawa-tawa. Mereka membawa poster bertuliskan: ‘lahirkan aku!’

Aku tambah gemetar, melihat anak-anak, meneriakan yel-yel. Mereka membawa mikropon. Seluruh dinding rahim istriku mereka tendang-tendang. Istriku mengejang.

Aku berusaha tenang. Tanganku gemetaran. Hatiku berdegup keras, mendengar suara-suara dari rahim istriku.

Sementara, di luar sana,—sepuluh tindah dari kamarku—orang-orang bercengkerama tentang sebuah tragedi. Seorang anak terjatuh dari kereta api, kepalanya pecah seperti buah melon. Tak jauh dari ceceran tubuh itu, anak-anak sebayanya memandangi tubuh hancur, sembari mengunyah permen yang telah menggerogoti giginya. Anak-anak bertanya, ‘Apakah ia Spongebob?’

Di koran kuning, terpampang judul besar tentang seorang bapak yang membakar hidup-hidup anak istrinya karena kelaparan. Di sudut lain, dengan huruf berwana merah koran itu menulis, seorang anak diperkosa ayah tirinya, seorang anak dibuang di tempat sampah, seorang anak terkena ledakan tabung LPG. Anak tewas tersiram air panas.

Sementara di televisi disiarkan, seorang anak kepalanya membesar, seorang anak lahir dempet, seorang anak lahir tanpa bapak, seorang anak lahir di tengah dentuman meriam, seorang anak yang tak bisa membeli es krim di siang hari, karena ibunya tak memberinya uang. Ibunya masih bekerja di Malaysia. Ibunya minggat dan tak pernah kembali.

Semuanya mendatangkan iklan besar. Iklan untuk anak-anak!

“Apakah anakku akan lahir?”

.

Anak-anak tertawa

Lidahnya dijulur-julurkan, seperti mengejekku yang terpaku di hadapan rimbun jembut istriku. Istriku seperti ikan dalam kulkas. Beku tak berdaya. Tubuhnya bergetaran. Seperti terkena guncangan gempa.

.

Istriku menangis

“Itulah anak-anak. Meski masa indahnya dirampas. Ia tetap saja tertawa riang,” desisku sembari memeras keringat dingin, menghibur istriku. Tertawa anakku semakin keras.

.

Aku terbelalak

Perut istriku seperti magma. Anakku berlari-lari di gigir rahim istriku. Mereka aku raih di antara semboyan: dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja! Aku memilih laki-laki.

“Kalian hidup di abad besi. Lahirlah dengan tubuh besi!”

Maka meledaklah rahim istriku. Langit senja merah darah. Suara azan menggema, berkelindan dengan suara nyanyian anak pertamaku.



‘Aku anak sehat tubuhku kuat

karena ibuku rajin dan cermat

semasa aku bayi, slalu diberi asi

makanan bergizi dan imunisasi!’



Anakku menyanyi dengan riang. Ia aku sambut dengan perasaan hampa. Ia lahir, di tengah rimbun jaman besi. Jaman televisi.

“Anakku harus sekuat Gatutkaca. Masuklah ke kawah Candradimuka!”

Maka, dalam otaknya aku tanamkan pisau, belati, pedang, bayonet, keris, kapak, revolver, magnum, AK47, M16. Dalam hatinya aku curahkan adonan hati babi yang diseduh dengan bisa ular, kalajengking, dan kencing tikus got.

“Jadilah manusia. Jadilah manusia. Jadilah manusia!”

Sebuah kembang api besar berloncatan di langit, menyambut kelahirannya. Suaranya berdentuman seperti bom. Atau bom serupa kembang api. ‘Itu perbuatan teroris. Kita harus melawannya!’ suara gemuruh televisi mengganggu tidur anakku.

“Negeri ini terlalu keras untuk kita singgahi!” igaunya.

Iklan-iklan bersengkarut menawarkan produk instan. ‘Tulang kuat, tulang sehat!’

.

Cuci otak

Di TV para badut memainkan perannya merebutkan kursi yang sudah lapuk. Hewan pemamah rupiah berkeliaran bagai serangga anti oksida. Mereka menghabiskan uang dalam brankas. Sementara di belakang mereka para aparat hukum sedang takjim melihat drama Sarimin. Tawa mereka sangat keras. Sekeras hatinya yang digelitik oleh aktor bertubuh tambum dan berkacamata tebal itu.

Para politikus beramai-ramai beralih profesi menjadi pelawak. “Gedung Srimulat tergusur. Awaknya pada pindah ke Senayan,” komentar pengamat politik, yang gaya bicaranya tak beda dengan badut ulang tahun.

Anakku tersenyum—apa tertawa?—melihat adegan, seperti dalam adegan panggung OVJ (Opera Van Java). Penonton tertawa, tetapi para pelawak tak tahu apa yang sedang ditertawakan.

“Haaaaa… haaaa… haaaaa!” mereka saling menyakiti.

Drama kocak ini tidak akan berakhir. Dalangnya bingung, bagaimana mengakhiri, cerita negeri ini!.

Orang-orang semakin pandai, bagaimana menirukan badut bermain akrobat di Senayan, atau para gurita yang mengerami dolar. Sementara para maling yang sok budiman, membagi-bagikan lembaran rupiah bergambar dirinya. Di sudut kanan atas bertuliskan: ‘Pilihlah aku!’

Seorang penyiar televisi dengan gayanya yang khas, mencoba menggiring opini, agar penonton percaya, apa yang diomongkan benar adanya. Iklan sabun cuci, menawarkan pembersih pakaian yang super cemerlang.

“Apakah secemerlang cuci otak?” napasku terengah-engah menyaksikan anak-anak dikosongkan otaknya, kemudian diganti dengan mesin remote control. Mereka ingin menjadi sahid di tengah murka jaman.

“Jangan takut, Nak. Ini hanya propaganda!?”

.

Jarik Sidomukti

Air mata istriku perlahan menetes. Aku mengusapnya dengan jarik sidomukti kumal peninggalan orang tua. Hanya itu warisan yang sangat berharga.

“Anakku kau jangan takut. Inilah jaman yang harus kita lalui!” bisikku pada telinga merahnya. Tubuhnya yang mungil aku bebat dengan jarik sidomukti.

“Semoga engkau selamat dan sejahtera di tengah jaman yang galau ini,” bisikku.

Ibuku membayang dalam kelam malam. Wajahnya yang tirus, manggut-manggut, seakan membenarkan bisikanku. Tetapi matanya yang membiru, mengalirkan air mata. Tak terdengar isaknya.

“Apakah kita bisa membesarkan?” tangis istriku meledak, seperti merajuk pada bayang-bayang ibuku yang hilang ditelan malam.

“Entahlah?” Aku cium sidomukti. Bau keringat ibuku masih terasa membekas. Dari keringat itulah aku lahir. Dari keringat itulah aku dibesarkan hidup. Dengan jarik inilah aku ditimang dan dibesarkan.

“Kamu harus hidup, Nak. Jarik sidomukti ini akan melindungimu!”

.

Pada subuh

Aku masih mecicil di depan televisi. MU dikalahkan Barcelona pada final liga Champions. Sebuah partai besar, sedang bersilat lidah. Aku mengumpat habis-habisan. Kemelut PSSI tak segera berakhir. Banyak pecundang menjadi sok pahlawan.

“Atau jangan-jangan kita lupa beda pecundang dan pahlawan?”

Itu tidak penting. Azan subuh telah berlalu. Aku masih termangu di depan televisi. Aku pindah cenel. Orang-orang berebut tiket ke surga. Aku pindah cenel. Sepagi ini orang sudah saling umpat di televisi.

Istriku berteriak, “Kang, anakmu, tolong!”

Aku beranjak. Aku matikan televisi.

Anakku menggeliat. “Jangan matikan televisi!” serunya.

Aku hidupkan televisi. Mata anakku terpejam. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dirapalkan dalam mimpinya?

Hmmm, bau pipisnya menyengat hidung.

.

Pada siang

“Kang, bangun!” lamat-lamat terdengar suara istriku. “Sudah, siang masih juga mendengkur! Apa tidak kerja?”

Televisi menyiarkan berita siang. Aku segera beranjak dari tempat tidur. Tubuhku basah kuyup, diguyur air.

“Apa tidak ingat, Sukir minta tas sekolah gambar Ipin-Upin!” teriak istriku. Kali ini sangat dekat dengan telingaku.

“Tas Ipin-Upin? Emang uang dari Hongkong,” ledekku.

“Ya dari nyopet juga gak papa. Asal anakmu tidak menangis. Ia juga minta susu Dancow atau Milo!”

“Apalagi?”

“Ia pingin seperti macan. Ia minta Biskuat.”

“Apalagi?”

“Es crem Magnum!”

“Kalau tidak bisa membelikan?”

“Bunuh saja Sukir, biar tidak bawel, minta ini-itu!”

Aku matikan televisi. Aku keluar rumah, menghunus sangkur. Entah untuk jambret atau membunuh Sukir? Tunggulah beritanya! (*)

.

.

Surabaya, Mei 2011

.

Biodata

Rakhmat Giryadi, lahir di Blitar, 10 April 1969. Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya 1994. Pernah mengajar seni drama di almamaternya selama setahun. Tetapi kemudian dia lebih memilih ‘mengajar’ teater di Sanggar Teater Institut Unesa, sembari memberikan workshop kepada para guru pengajar seni budaya dan pelatih teater di SMP dan SMA.

Selain bergiat di teater ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan di berbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas (Jawa Timur), Jawa Pos, Radar Surabaya, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Suara Indonesia, Bende, Aksara, Majalah Budaya Gong, Majalah Budaya Kidung, dll. Kumpulan cerpennya Mimpi Jakarta (2006), Dongeng Negeri Lumut (2011). Kumpulan naskah dramanya Orde Mimpi (2009), Dewa Mabuk (2010). Puisinya terkumpul dalam antologi bersama Luka Waktu (DKJT, 1998), Malsasa—Malam Sastra Surabaya (2005-2010), Duka Atjeh, Duka Kita Bersama (DKJT, 2005).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI