Langsung ke konten utama

Membaca Manuskrip tentang Musim dan Runtuh


oleh Krido Waluyomukti

Buku kumpulan puisi Manuskrip tentang Musim dan Runtuh adalah antologi puisi tunggal pertama Dody Kristianto. Sebagian dari puisi-puisi ini berawal dari masa awal kepenulisan Dody, yakni tahun 2006-2008. Beberapa puisi dalam antologi ini pernah terpublikasi pada jurnal-jurnal independen maupun antologi yang terbit secara terbatas. Beberapa puisi yang lain bahkan belum dipublikasikan oleh penyair dalam media apapun.
Berbeda dengan kecenderungan puisi-puisi yang dewasa ini banyak mewarnai lembar sastra media-media di Indonesia yang bertendensi mengagungkan lirisisme dan simbolisasi, puisi-puisi Dody lebih banyak bertaruh pada wilayah eksplorasi kata, sehingga rima dan musik dalam sebagian puisinya seringkali terabaikan. Begitu juga dengan wilayah medan makna, kesan pertama yang didapati ketika membaca puisi-puisi Dody adalah gelap, nirmakna, dan pembaca harus bersabar kala meraba-raba gerimis hitam (mengutip pernyataan Yusuf Ariel Hakim yang pernah mendiskusikan puisi-puisi Dody) untuk mendapatkan apa yang ingin disampaikan oleh penyair.
Dan makna sesungguhnya bukan hal utama yang ingin dibidik oleh penyair ini. Dody seperti ingin menembak imaji-imaji yang beterbangan, menyimpannya dalam-dalam, lantas membebaskan imajinasinya secara liar. Tentu hal ini dapat dipertautkan dengan latar belakang penyair yang lahir dan tumbuh di kota Surabaya yang oleh beberapa penggede sastra Indonesia di Jakarta sering diklaim sebagai kota puisi gelap. Meskipun untuk menyebut puisi-puisi Dody sebagai puisi yang benar-benar gelap juga bukanlah hal mutlak. Haruslah dirasakan bila kadar ledakan imaji dan personalitas sikap penyair terhadap puisi berbeda dengan penyair-penyair Surabaya terdahulu semacam W Haryanto, Indra Tjahyadi, atau Mashuri yang bersama-sama pernah memproklamirkan Manifesto Surrealisme sebagai tonggak gelap puisi Surabaya.
Puisi-puisi Dody bergerak antara batas ambang keliaran imaji dan lirisisme yang terbentuk sebagai efek lain dari pembebasan diksi. Beberapa puisinya juga menggambarkan puisi suasana yang mungkin lebih berhasil apabila ditulis secara ringkas. Simaklah puisi Semacam Obituari Membaca kecemasan. Bulan-bulan /merah mengelupas, aura fermentasi /mengental di kelepasan pikiran kita. /Memancarkan bau-bau mayat /kelimbungan //aku mengiba kunang-kunang berpijar /sebuah isyarat kesamunan, menemani /malam-malam bejat sendirian . Dalam puisi tersebut suasana muram sangat terasa, ditambah dengan bentukan diksi-diksi semacam bulan merah mengelupas atau bau mayat kelimbungan yang bisa jadi merupakan penyikapan secara aneh terhadap realitas sehari-hari yang seram dan sangat urban sebagaimana karakter Surabaya yang keras dan apa adanya.
Sebagai penyair, apalagi penyair yang baru belajar menulis puisi, terpengaruh dan dipengaruhi jelas bukan hal yang asing. Sebagaimana pernah ditulis oleh Agustinus Wahyono bahwa imitasi adalah proses wajar dan sah dari seorang penyair sebelum pada akhirnya sang penyair menemukan gaya ucapnya sendiri. Dody Kristianto tentu tak sepenuhnya lepas dari penyair yang tumbuh sebelum dia. Secara langsung maupun tidak, terdapat pengaruh nama-nama semacam Kriapur, Indra Tjahyadi, W Haryanto, maupun Tjahjono Widijanto. Harus diakui memang suasana dan bentukan kata dalam sebagian besar puisi dalam buku ini banyak mendapatkan pengaruh dari khazanah perpuisian terdahulu. Adakah yang tak akan teringat pada puisi Kriapur bila membaca larik ini : di mana-mana ada warna langit / yang tumbuh kelam / kekeringan jatuh / wajahmu runtuh (Kucari Wajahmu dalam Wajah-wajah Hujan).
Bagaimana pun, penerbitan kumpulan puisi Dody Kristianto ini terasa perlu dan mendesak untuk memperkaya identitas lain pada perpuisian Indonesia yang saat ini masih terlalu didominasi oleh mainstream tertentu.

Buku sudah dapat didownload secara luas pada laman Evolitera. Link-nya http://evolitera.co.id/themes/main/product.php?product_id=530

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI