Langsung ke konten utama

Menyelami Perjalanan Eva


Membaca catatan harian ialah membaca tilas keseharian seseorang berikut liku yang ia hadapi. Terkadang pelbagai pengalaman tak terduga muncul. Semacam behind the scene yang tak akan ditampilkan pada saat kehidupan primer ditampakkan. Senantiasa akan kita temukan sisi lain seorang tokoh bila kita mengudar catatan harian atau biografi seorang tokoh. Begitu juga yang akan kita dapatkan kala kita membaca buku Eva Dwi Kurniawan Aku Beda maka Aku Ada.
Premis awal yang dijanjikan oleh buku ini adalah pergulatan Eva dalam dunia multikulturalisme. Harus disadari sebelumnya bahwa Eva adalah sosok yang berada di antara “dua alam”. Ia hidup dan tinggal di kota Bangkalan yang terletak di Pulau Madura, tetapi orang tuanya adalah suku Jawa asli yang memang dinas di kota bangkalan. Jadilah ada perseberangan awal yang dialami oleh Eva. Eva cukup netral sebenarnya dalam menyikapi hal ini. Maka meminjam bahasa Goenawan Mohamad, ia menjadi Malin Kundang yang terkutuk oleh keadaan. Dalam keseharian ia jarang (untuk menghindari kata tak bisa) berbahasa Jawa maupun Madura. Ia lebih memilih berbahasa Indonesia untuk menetralisir persimpangan antara dua budaya tersebut.
Multikulturalisme dalam buku ini sendiri lebih banyak diejawantahkan pada tataran pergaulan antara si penulis dengan dunia luar. Semacam bagaimana kondisi berbeda yang dialami penulis ketika ia berada di luar komunitasnya. Taruhlah ketika Eva berkuliah atau ketika ia tengah berada di Yogya. Yang paling kentara adalah ketika Eva berkuliah di Surabaya. Di kota multikultur ini, etnis Jawa masih lebih dominan daripada etnis lain. Akan tetapi posisi dominan itu bukan sesuatu yang mutlak mengingat betapa egaliternya masyarakat Surabaya. Beragamnya suku yang berdomisili di kota ini telah dibungkus oleh satu identitas baru bernama Surabaya. Jadi berbeda dengan kota lain di Jawa yang banyak didominasi oleh suku Jawa.
Surabaya juga menyajikan persilangan yang amat menarik bagi Eva. Identitasnya serasa abu-abu di kota Surabaya. Stigma Madura pun harus ia terima. Tak pelak jika ada pertanyaan mengenai homeland yang diajukan pada seorang Eva, maka tak ada jawaban yang pasti tersebab konsep homeland memang abu-abu dalam pandangan Eva. Maka dapatkah anda bayangkan bagaimana tinggal di Selat Madura? Apakah di daerah Perak? Ataukah Kamal? Persilangan ini menjadi abu-abu dalam buku ini.
Memang membincang multikultur adalah membincang hal yang beragam namun satu atau sebaliknya. Mau tak mau kita harus mengetengahkan sudut pandang yang akan kita pakai untuk menjelajah. Apalagi dalam keseharian, ia adalah sesuatu yang akrab atau tanpa kita sadari sebenarnya akrab dengan kita.
Paparan Eva dalam buku ini sebenarnya sangat menarik. Multikultur dibingkai dengan bahasa sederhana dan dikemas dengan pola tutur catatan harian, sesuatu yang tidak sukar untuk dipahami. Perjalanan bahkan yang paling remeh sekalipun dapat dikemas menjadi sebuah peristiwa multikultur oleh Eva. Dan bila kita tarik benang merah secara keseluruhan pada buku ini, maka multikultur sebenarnya hanya digunakan sebagai pengantar dalam buku ini. Tema besar yang ingin disampaikan oleh Eva adalah : kesepian.
Ya, kesepian. Ia berkaitan dengan eksistensi manusia ketika berada di dunia. Secara tak langsung Eva juga mengamini apa yang dilontarkan oleh Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi. Apakah ini tak terlalu jauh dari multikultur? Tidak. Ia malah saling berdekatan dalam konteks membaca catatan harian milik Eva ini. Eksistensi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai sebuah cara untuk memaknai kehadiran pribadi di tengah kehidupan yang kian diwarnai keberagaman. Eva mencoba merayakan eksistensinya dengan mengambil cara yang berbeda dari pola pikir masyarakat umum.
Ambillah contoh Eva yang tak ingin terikat dengan komunitas atau kelompok-kelompok tempat ia berpijak (hlm.195). Eva ingin dekat sekaligus berjarak. Dengan tidak tunduk pada pola perilaku secara umum, minimal Eva telah member sebuah warna pada multikultur sendiri sebab multikultur itu sendiri memang tak akan pernah menghendaki keseragaman.
Tampilan buku ini sendiri cukup berbeda. Sekalipun catatan harian, Eva juga menyisipkan karya-karyanya, baik berupa esai, puisi, maupun cerpen. Satu kelebihan sekaligus kekurangan. Dengan memadupadankan berbagai jenis sastra, Eva minimal telah mencoba tampil beda sesuai judul bukunya. Namun bagi yang tak terbiasa dengan percampuran tersebut, tentu tampilan semacam ini akan terlalu mengganggu. Satu lagi, endorsement/komentar singkat pada buku ini mungkin terlalu berat. Kita seolah akan dimasukkan ke dalam ranah multikultur lebih mendalam. Padahal kita hanya akan diajak bertamasya pelan-pelan menikmati permukaan multikultur saja.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku ini tetap mengasyikkan sebagai pintu gerbang untuk mengenal keberagaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI