Langsung ke konten utama

Kertas pun Memanggil


Cerpen : Dody Kristianto*

Aku berkeliling kota. Aku menyusuri jalanan dengan melangkahkan kakiku, perlahan. Satu dua langkah, sungguh membuatku terlepas dari rutinitas sehari-hari. Hari-hari di kantor yang melelahkan. Sarat dengan tugas dan kesibukan. Aku seperti hewan yang dikurung dalam kandang. Kantor tempatku bekerja, terkadang kupandang perlahan berubah menjadi sel. Dan rantai-rantai mulai menggerayangi bagian tubuhku.

Aku sungguh bersyukur dapat lepas dari kesibukan-kesibukan ini. Udara di taman yang bersih, pemandangan orang yang berjalan lalu lalang, kumpulan merpati yang sibuk mematuki remahan roti membuatku tenang. Aku lebih merasa menjadi seorang manusia, setidaknya aku tidak terbebani tugas kantor. Ya, tugas yang membuat pikiranku selalu fokus di depan komputer dan lembar kerja. Padahal aku paling benci dengan hal-hal yang membelenggu, seperti rutinitasku.

Sejak aku berhenti menulis, aku memang memutuskan untuk bekerja di kantor. Hidupku menjadi normal layaknya kegiatan orang-orang kebanyakan. Harus kuakui, ketika aku masih menulis, ritme hidupku sangat tidak teratur. Terkadang semalaman aku tak tidur demi sebuah cerita yang akan kupamerkan pada kawan-kawan penulis yang lain.

“Ah, ceritamu terlalu biasa. Aku tak melihat kedalaman pada tulisanmu,” timpal Darmoko.

“Mungkin kau harus tidur lebih malam lagi agar malaikat menampakkan dirinya di depanmu. Atau malah mungkin sesosok setan,” ujar Katok sembari menghisap sebatang rokok putih yang dari tadi tidak lepas di antara jri tengah dan telunjuknya.

“Ya, ya, begitu juga bisa!” kata Darmoko yang masih serius membaca karya-karyaku.

Darmoko dan Katok. Dua teman penulis yang selalu memberikan kritik pada karya-karyaku. Seperti halnya aku, hidup mereka juga sama tidak teraturnya dengan diriku. Darmoko selalu asyik dengan rambut panjangnya. Kaos yang terlihat lusuh dan celana jeans dengan sobekan pada bagian lutut.

Demikian pula Katok. Sebatang rokok putih tak pernah lepas dari jemarinya. Sambung menyambung. Mungkin dari hisapan rokok itulah inspirasi selalu mengalir lantas terwujud dalam cerita yang acapkali terpampang di media. Jika sudah begitu, aku juga turut terciprat rejeki. Mereka selalu menraktirku. Minimal secangkir kopi untuk karya yang termuat di media. Tentu dengan disertai diskusi panjang mengenai karya mereka di media. Aku acapkali hanya tersenyum kecut ketika mereka saling bercerita.

Dibanding mereka berdua, aku relatif kurang beruntung. Memang aku juga pernah memuatkan karyaku di media. Namun dibanding mereka berdua, karya-karyaku lebih jarang menembus media. Padahal aku merasa telah mencuri banyak ilmu dari mereka berdua. Pun sering pula aku membaca karya para pengarang dunia. Setebal apapun itu, pasti dapat aku habiskan. Rasanya karya para pengarang turut menjadi bagian dari hidupku.

Akhirnya aku tak tahan juga. Aku mengutarakan keinginanku untuk berhenti menulis pada mereka berdua. Sepertinya otakku terlalu lelah untuk diajak berimajinasi terbang ke mana-mana.

“Mengapa bisa secepat itu? Hidupmu masih panjang Bung!” Darmoko berkata dan menatapku dalam-dalam.

“Coba kau baca karya-karyamu yang tak termuat di media. Masih dapat kau perbaiki,” ujarnya lagi.

“Mungkin kau kurang sabar. Atau malah memang tak pernah membaca lagi?” sahut Katok yang masih meniup secangkir kopi panas di tangan kanannya.

“Apa sudah kau pikirkan keputusanmu?” Tanya Darmoko sambil mengikat rambut panjangnya.

“Sudah kawan. Sudah aku pikirkan. Mungkin otakku sudah tak sanggup bila harus kubawa terbang,” jawabku pada mereka.

Mereka menatapku dalam. Hening pun terjadi di warung kopi. Hembusan asap rokok serta aroma kopi silih berganti mempermainkan pikiran kami. Aku pun juga berusaha menatap mereka. Teman-teman yang sebentar lagi harus kutinggalkan.

“Suatu saat, lembaran-lembaran kertas akan memanggilmu kembali,” kata Katok yang tiba-tiba memecah keheningan di antara kami bertiga.

Di bangku taman ini, pikiranku mengawang pada kejadian dua tahun lalu. Aku tidak tahu bagaimana kabar Darmoko dan Katok saat ini. Bila mereka terus menulis, mereka pasti telah menjadi pengarang terkenal dan diberi sanjungan di mana pun mereka berada. Namun mungkin juga mereka menyerah pada nasib sepertiku. Lalu mereka tenggelam di dunia kerja. Sama sepertiku, mereka akan terkubur dalam rutinitas.

“Lembaran-lembaran kertas akan memanggilmu kembali,” suara katok tiba-tiba membubarkan lamunanku.

Nampaknya aku harus segera angkat kaki dari taman. Mendung mulai menggelayut. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Mungkin juga lembaran-lembaran kertas telah menunggu. Akan tetapi bukan untuk mengarang tentunya, melainkan tumpukan tugas yang sudah dua hari ini aku acuhkan. Lembar-lembar yang sebisa mungkin aku hindari.

***

Malam ini tugas kantor kembali harus kukerjakan. Ketenangan di taman hanya berlaku selama beberapa jam saja. Tumpukan nota bon harus segera kupindah ke dalam lembar perincian. Angka-angka yang terus menghantuiku. Terkadang angka-angka itu menerorku. Mereka menjelma sesosok pemburu yang siap mengulitiku. Aku penat. Aku merasa penat sekali.

Tiba-tiba tatapanku tertuju pada selembar kertas putih.kertas kosong tanpa ada noda tinta setitik pun di atasnya. Aku merasa kepenatan ini sedikit terkurangi. Kertas kosong. Ada ruang hampa di dalamnya yang dapat aku masuki. Aku bisa bermain-main di atasnya. Tapi apa jemari ini akan bergerak?

“Apakah aku masih mampu? Bukankah aku sudah tidak pernah mengguratkan sepatah kata pun di kertas kosong?” pikirku.

Segera kutepis pikiran itu. aku harus lekas menyelesaikan tugas-tugas kantor. Akan tetapi kertas kosong itu terus mengawasiku. Kamar kerjaku seketika senyap. Hanya terdengar bunyi kipas angin. Bunyi yang menambah senyap suasana malam ini. Aku seolah menghadapi dua musuh sekaligus. Kertas kosong yang menatapku hampa serta angka-angka yang setiap saat siap menyergapku.

“Apa masih bisa? Apa masih harus kulakukan lagi?”

Pikiran itu lantas menggangguku. Kepalaku mendadak pening. Angka-angka kulihat seakan bergerak dan berputar. Badai angka-angka yang mengurung dan siap menyedot ke dalam lembar perincian. Ya, aku memang kasir yang agak payah.

Dua tahun sudah aku bekerja sebagai kasir. Dan bosku tidak jarang ngomel padaku. Ia mengeluh pada beberapa kesalahanku. Kesalahan remeh memang namun member efek bagi transaksi yang dilakukan oleh perusahaan. Beruntung bos masih cukup baik padaku. Aku tidak dikeluarkan seperti beberapa staf yang lain.

Tanganku seperti minta digerakkan. “Tidak bisa, aku sudah tidak pernah menulis lagi.”

Bayangan Darmoko dan Katok Nampak di hadapanku. Coretan-coretan mereka berdua pada karyaku kembali membayang. Bau asap kopi membuatku semakin pening. Semakin pula menambah kebingungan dan kegelisahanku. Darmoko dan Katok seperti menamparku.

***

Aku teringat bagaimana awal menulis sebuah cerita. Cerita tentang anjing yang terlindas mobil separuh tubuhnya hancur, sedang separuhnya lagi masih utuh. Sebuah pemandangan aneh. Anjing itu Nampak seperti sedang tidur. Pemandangan itu lantas membuat fantasiku menggeliat liar. Ia seolah minta segera dimuntahkan dalam lembar-lembar kosong.

Kertas kosong akhirnya selalu menjadi tempat bermain bagi imajinasiku. Tak hanya berhenti pada anjing, imajinasiku lantas mengalir ke tempat-tempat lain. bahkan ke dalam samudra, di mana aku kerap membayangkan sesosok putri yang bangun dari lautan. Lalu aku sambut jemari sang putri. Dan kami pun berdansa di atas kertas kosong. Ditambah cerita demi cerita yang lainnya.

Apalagi frekuensi pertemuanku dengan Darmoko dan Katok yang sangat sering. Di mana mereka selalu mengeritik karya-karyaku, memberi masukan bahkan meminjamiku buku-buku karya pengarang kelas dunia. Hal itu tentulah membuat imajinasiku semakin meledak-ledak. Imajinasi yang harus segera kutumpahkan. Kertas kosong akhirnya memenuhi kamarku. Di lemari, lantai, kursi dan berserak di atas tempat tidurku.

***

Kertas-kertas itu terus bertabrakan dengan tatapanku. Kertas yang berserak di kamarku. Kertas yang masih kosong maupun kertas di mana tugas-tugas kantor terpampang di atasnya. Aku seakan harus berhadapan dengan musuh lama. Musuh yang harus segera ditundukkan.

“Tidak mungkin. Ini tak akan mungkin terjadi. Ini sudah sangat lama.”

Jemariku terus minta digerakkan. Peristiwa-peristiwa bersliweran di dalam otakku. Peristiwa yang harus segera aku lepaskan ke atas kertas kosong. Peristiwa yang kemudian aku rombak dengan imajinasi liarku.

“Ah, ini masa lalu. Aku tidak bisa!” teriakku histeris.

Huruf-huruf mulai berlepasan huruf-huruf itu meninggalkan kertas. Huruf yang lalu menyerbu diriku, menjejali otakku dengan pelbagai ide. Aku kewalahan. Jantungku mulai berdetak kencang. Keringat dingin mulai meleleh. Wajahku kini terlihat tidak teratur.

“Pergi kalian! Pergi!” aku memekik gugup.

“Jangan ganggu aku! Jangan usik aku lagi!” aku mencoba menghindar.

Perlahan wajah Darmoko dan Katok membayang. Tangan mereka membawa setumpukan kertas. Tumpukan itu lantas mereka lempar ke arahku. Tepat mengenai wajahku yang sangat pucat. Aku jatuh. Aku memandang kertas-kertas mulai mengepung diriku.

“Sudah jangan teruskan ini.”

“Lembaran-lembaran kertas akan memanggilmu kembali,” suara Katok mengiang kembali di telingaku.

“Jangan, aku sudah tidak bisa. Aku sudah tak mampu.”

Tapi tanganku terus bergerak. Ia seakan minta disatukan dengan kertas-kertas itu. lembaran kertas yang mulai tajam memandangku. Ruang-ruang kosongnya siap menyedot tubuhku. Lalu meluluhlantakkannya menjadi sebuah cerita. Mungkin lebih tepat bila disebut sebagai cerita tragedi.

Jemariku ternyata mulai memberontak pada diriku. Mereka ingin lepas dan menyatu dengan lembaran-lembaran kertas yang merubung tubuhku. Kepalaku kian pusing. Aku menatap kamarku telah dibanjiri oleh ribuan kertas kosong.

Kertas-kertas kosong. Mereka berserak di sekitarku. Mereka perlahan menelan tubuhku. Aku sudah tidak dapat membedakan diriku dengan kertas-kertas itu. aku merasakan bila bagian tubuhku menjadi satu dengan kertas-kertas itu.

“TIDAAAK!”

(2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI