Langsung ke konten utama

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral*

I/
            SEPASANG pembawa acara pada Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011 yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010. Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.
            Saat Dodolit Dodolit Dodolibret (selanjutnya ditulis Dodolit) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar.
Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap Dodolit – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusia, yang awalnya tidak saya yakini benar sehingga mulut saya bergumam ragu, ”Tolstoy.”
            Rupanya istri saya mendengar gumaman lirih itu. ”Kenapa Tolstoy?”
            Masih tidak terlalu yakin, saya menjawab. ”Entahlah. Rasanya ada cerpen Tolstoy dengan cerita seperti itu,”
            ”Judulnya?”
            ”Tidak ingat. Nanti kita cek di rumah.”
            ”Ceritanya seperti apa?”
            Lalu saya pun bercerita tentang isi cerpen Tolstoy yang saya kais dari ingatan saja.
Seorang pendeta sedang dalam pelayaran bersama sejumlah orang, ketika mereka melintasi sebuah pulau dan orang-orang mulai bicara tentang adanya pertapa-pertapa misterius yang sudah sangat tua tinggal di pulau itu. Begitu misteriusnya, sampai tidak ada seorang pun yang pernah melihat mereka langsung, apalagi mengetahui cara para pertapa itu beribadah kepada Tuhan.
Tergerak oleh rasa kasihan jika para pertapa itu mati dalam keadaan belum bisa beribadah dengan benar, maka sang pendeta meminta kapten kapal mengarahkan kapalnya sedekat mungkin ke pulau itu. Dia akan mengajari mereka sebentar cara berdoa yang benar.
            Sesampainya di pulau misterius, pendeta menemukan legenda tentang para pertapa itu benar adanya. Mereka sudah tua dan berdoa dengan cara mereka sendiri. Sang pendeta lalu mengajarkan cara berdoa yang benar, yang dihapalkan para pertapa tua dengan susah payah. Setelah mereka dilihatnya bisa menghafal dengan baik, pendeta kembali ke kapalnya dan meminta kapten melanjutkan perjalanan.
           Belum jauh kapal berlayar, tiba-tiba dari arah pulau terdengar suara air menderu. Pendeta dan para penumpang kapal menyaksikan para pertapa tua mendekati kapal dengan berlari di atas laut! Mereka minta diulangi lagi doa-doa yang baru diajarkan pendeta. Mereka bilang karena umur mereka yang sudah renta, sehingga mudah lupa terhadap apa yang sudah diajarkan. Pendeta yang takjub dan lemas melihat keajaiban itu berkata mereka sudah tidak butuh lagi diajari cara berdoa, bahkan mereka yang seharusnya mengajarinya cara berdoa. Begitu yang saya ingat.
           Istri saya tidak berkomentar terhadap cerita yang saya ingat itu. Apalagi di atas panggung acara masih terus berlanjut, dengan para cerpenis mengelilingi sebuah peti ”harta karun” yang dibuka perlahan oleh sastrawan kampiun Prof. Dr. Budi Darma. Di dalamnya ada sebuah benda seperti kitab yang ditutupi kain hitam. Begitu kain hitam disisihkan, terlihat sampul antologi dengan ilustrasi cerpen terbaik sebagai sampulnya, yang jatuh kepada cerpen Dodolit. Trofi kemenangan pun diberikan kepada SGA.
          Pembawa acara lalu meminta kritikus Arif B. Prasetyo naik ke atas panggung untuk menjelaskan ihwal kemenanganDodolit. Arif memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa dia bukan salah seorang juri. Dia hanya diminta panitia untuk melakukan pembacaan terhadap 18 cerpen terpilih. Menurutnya kemenangan Dodolit. adalah karena ”dengan cerita yang isinya relatif singkat hanya sekitar 40 alinea, begitu banyak lapisan makna yang disajikan Seno.”
Selesai Arif memaparkan pembacaan, Teater Garasi naik ke panggung membawakan repertoar drama yang mereka olah dari Dodolit. Sungguh sebuah karya panggung yang indah dengan tata cahaya, kostum, dan efektifitas gerak anggota teater yang sangat inspiratif.
            Di sela-sela menikmati karya garapan Teater Garasi inilah, istri saya baru berkomentar agak panjang. ”Setelah mendengar ringkasan cerpen Tolstoy tadi, dan melihat pertunjukan Teater Garasi sekarang, bagi saya yang awam dengan sastra, isi cerita Dodolit kok seperti sama dengan cerpen Tolstoy ya?” katanya.

2/
            USAI kolaborasi kreatif dan menghibur dari Sujiwo Tedjo, Dewa Budjana, dan Soimah Pancawati yang menutup perhelatan malam itu, setiap undangan mendapatkan satu eksemplar antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010. Namun baru setelah sampai di rumah, saya sempat membaca versi lengkap Dodolit yang ditempatkan pada urutan pertama dari 18 cerpen. Dan inilah inti kisah yang didongengkan SGA.
            Alkisah ada seorang lelaki bernama Kiplik yang menyangsikan kebenaran sebuah dongeng lama, bahwa orang yang doanya benar konon bisa berjalan di atas air. Sebab dalam pengamatan Kiplik, banyak sekali orang yang berdoa tidak benar. Padahal jika kata-kata dalam sebuah doa diucapkan salah, maka bukan saja maknanya bisa berbeda, malah bisa bertentangan.
          Saking seriusnya Kiplik menginginkan agar manusia berdoa dengan benar, sehingga dia selalu mengingatkan hal itu kepada banyak orang, yang lama-kelamaan memanggilnya Guru Kiplik. Semakin banyak orang yang menjadi pengikutnya dan bersedia mengikuti kemana pun Guru Kiplik pergi.
            Suatu ketika dalam perjalanannya, Guru Kiplik sampai di sebuah danau sangat luas yang di tengahnya ada sebuah pulau terisolir. Guru Kiplik pun mendatangi pulau itu. Ternyata ada satu kesalahan fatal para penduduk pulau yang jumlahnya hanya 9 orang, yakni ”mereka berdoa dengan cara yang salah” (hal. 6). Maka Guru Kiplik pun tergerak untuk mengajari cara berdoa yang benar. Tetapi penduduk pulau itu selalu melakukan kesalahan berulang kali dalam menghapal doa yang ia ajarkan, sehingga Guru Kiplik berpikir, ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu.”
           Namun berkat kesabaran Guru Kiplik, akhirnya bisa juga para penduduk itu berdoa dengan cara yang benar, sehingga Guru Kiplik memutuskan sudah waktunya meninggalkan pulau itu dan pergi ke tempat lain bersama para pengikutnya.
            Belum jauh perahu yang membawa Guru Kiplik pergi, awak perahu dengan terkejut memanggil Guru Kiplik dan menunjuk ke arah pulau. Kesembilan warga yang susah menghapal doa itu yang sedang mendekati perahu dengan berlari di atas air sambil berteriak-teriak. ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
            Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (hal. 7).

3/
            USAI membaca versi lengkap karya SGA itu, rasa penasaran saya bukannya terpuaskan, malah semakin besar. Sehingga saya cek ulang cerpen Leo Tolstoy (1828-1910) yang saya ingat samar-samar saat di BBJ, melalui dua versi: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
            Dalam versi bahasa Indonesia yang saya miliki, cerpen itu berjudul ”Tiga Pertapa” terdapat dalam antologi Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada (Serambi, Februari 2011) dengan penerjemah Atta Verin dan penyunting Anton Kurnia.
            Di bawah judul besar ”Tiga Pertapa”, terbaca alinea pertama:
Seorang uskup berlayar menuju sebuah biara yang jauh. Pada kapal yang sama terdapat sejumlah peziarah. Mereka juga hendak mengunjungi tempat suci. Perjalanan itu berjalan lancar. Angin begitu kencang dan cuaca cerah.    
            Selanjutnya cerita mengalir dengan struktur seperti yang saya ceritakankan kepada istri saya di BBJ.
            Sebagai penutup kisah, Tolstoy menulis bahwa ketiga pertapa yang berlari di atas air laut untuk mengejar kapal sang uskup, berkata, ”Kami lupa apa yang tadi kau ajarkan, wahai pelayan Tuhan,” kata mereka kepada uskup. ”Saat kami terus-menerus mengulanginya, kami ingat. Tapi saat kami berhenti mengatakannya suatu kali, satu kata terlupa. Kini doa itu tak bisa kami ingat lagi sedikit pun. Ajarilah kami sekali lagi.”
            Uskup itu membuat tanda salib di dadanya. Lalu ia bersandar ke tepi kapal. ”Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini.” (hal. 57)

4/
            DALAM versi bahasa Inggris yang dimuat dalam http://www.online-literature.com,  di bawah judul ”Three Hermits”, Tolstoy menuliskan semacam keterangan pengantar bahwa ”Ini adalah sebuah legenda kuno yang terjadi di Distrik Volga” dilanjutkan dengan kutipan dari Surat Matius vi. ayat 7,8.
            Setelah itu baru alinea pertama yang berbunyi:
            A bishop was sailing from Archangel to the Solovetsk Monastery, and on the same vessel were a number of pilgrims on their way to visit the shrines at that place.The voyage was a smooth one.The wind favorable, and the weather fair.
            Ada sedikit perbedaan antara terjemahan dalam bahasa Inggris yang jelas menyebutkan nama biara Solovetsk sebagai tujuan pelayaran sang uskup, dengan versi bahasa Indonesia yang hanya menyebutkan “biara yang jauh”, tanpa menyebutkan nama biara secara spesifik. Tetapi perbedaan ini bukan hal besar yang mengurangi kedalaman isi cerita, sehingga bisa diabaikan.
            Sedangkan untuk penutup cerita, terjemahan Atta Verin praktis sama dengan yang terbaca dalam versi bahasa Inggris.

5/
            BAGI saya kini ada dua pertanyaan yang muncul. Pertama, bagaimana menempatkan Dodolit Dodolit Dodolibretterhadap Three Hermits yang dipublikasikan Tolstoy untuk pertama kalinya di tahun 1886 dengan adanya kemiripan struktur cerita seperti itu?
            Memang pada akhir cerpennya, SGA sudah memasang semacam takrif (disclaimer) bahwa: Cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi.
            Arif B. Prasetyo menulis dalam epilog yang diberi judul Pelajaran dari Guru Kiplik bahwa: Pada lapisan pertama … kisah Kiplik dapat dimaknai sebagai parabel religius yang mengabarkan pesan bahwa syariat tidak menggaransi tercapainya makrifat … Kita bisa membayangkan Kiplik sebagai rohaniwan ortodoks yang berpegang teguh pada aturan baku agama, sosok ahli agama yang memandang segala penyimpangan atau ketidaksesuaian dengan aturan formal religi sebagai kesesatan, tapi kurang menghayati hakikat religius yang dinapasi penyerahan diri kepada Tuhan. (hal. 180).
            Berbeda dengan SGA, Tolstoy sejak awal sudah secara afirmatif memasang takrif bahwa kisah Three Hermitsberasal dari legenda yang berakar di masyarakat Volga, sebuah kawasan historis yang pernah berjuluk ‘main streets of Rusia’. Dus karena itu kisah ini lebih bertabur pada konsep Trinitas dalam ajaran Kristen dengan seluruh ekspresi teologinya, dan bukan dipinjam dari khasanah agama-agama lain.
            Ada dua konsekuensi yang mengikuti perbedaan takrif SGA dan Tolstoy itu, yakni jika takrif SGA valid, makaDodolit sama sekali tidak mengacu secara eksklusif kepada Three Hermits. Bahkan kisah Tolstoy pun ada kemungkinan juga menginduk pada, meminjam istilah SGA, ‘berbagai cerita serupa dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi’,
            Konsekuensi kedua adalah jika takrif SGA tak valid setelah ditelaah secara kritis, benarkah Dodolit sama sekali tak terpengaruh Three Hermits secara telak, untuk tak menyebutnya sebagai bentuk adaptasi langsung terhadap karya Tolstoy itu? Mengapa SGA, umpamanya, tak langsung memasang takrif: Cerita ini adalah adaptasi dari Three Hermitskarya Leo Tolstoy?
           Sebab jika Dodolit (2009-2010) dan Three Hermits (1886) yang berselang umur lebih dari satu abad itu dibandingkan struktur penceritaan dan elemen-elemen kisahnya, saya temukan paling sedikit adanya 8 (delapan) kesamaan besar sebagai berikut:
  1. Fokus cerita tentang seorang pemuka agama yang resah melihat cara berdoa masyarakat umum yang salah. (Guru Kiplik versi SGA, dan Uskup versi Tolstoy).
  2. Sang pemuka agama pergi ke sebuah pulau. (Berlokasi di tengah danau luas versi SGA, berlokasi di tengah lautan luas versi Tolstoy).
  3. Pemuka agama datang untuk membenahi cara berdoa warga pulau yang keliru. (Berjumlah 9 penduduk versi SGA, berjumlah tiga pertapa versi Tolstoy).
  4. Meski sudah berulang kali diajarkan, seluruh warga pulau kesulitan mempraktekkan doa yang benar. (Tak ada perbedaan antara versi SGA dan Tolstoy. Perbedaan hanya menyangkut redaksional dialog antara Guru Kiplik/Uskup dengan warga pulau)
  5. Akhirnya setelah warga mampu berdoa seperti diinginkan Guru Kiplik/Uskup, pemuka agama tersebut meninggalkan pulau terpencil dengan perasaan bahagia karena warga sudah bisa “berdoa dengan benar”.
  6. Tapi kemudian Guru Kiplik/Uskup terkejut ketika melihat melihat para warga itu mengejar perahu/kapal mereka dengan berlari di atas air.
  7. Mereka minta diajarkan lagi bagaimana cara menghafal doa-doa yang sudah diajarkan Guru Kiplik/Uskup
  8. Kedua pemuka agama itu lalu berubah pikiran, jangan-jangan cara berdoa warga pulau yang mereka kira salah, sebetulnya yang lebih benar dibandingkan cara berdoa mereka selama ini (terlintas dalam pikiran Guru Kiplik versi SGA, dan diucapkan dalam kalimat langsung oleh sang Uskup versi Tolstoy).

6/
            PERTANYAAN kedua adalah -- meminjam gaya ungkap Arif B. Prasetyo – ‘dengan cerita yang isinya relatif singkat hanya sekitar 40 alinea, begitu banyak kesamaan  disajikan Seno’, apakah Dodolit tidak kehilangan kredibilitasnya sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2010?
            Sebab sependek pembacaan saya, SGA hanya menyisakan sedikit improvisasi detil cerita yang tidak begitu relevan dalam Dodolit. Contoh paling terang adalah menyangkut jumlah penduduk pulau terpencil.  Tak jelas bagi saya mengapa jumlah penghuni “pulau Dodolit” hanya 9 orang, dan tidak digenapkan menjadi 10 orang? Atau bahkan dikurangi 8 orang? Padahal berapa pun jumlah penduduk pulau terpencil itu sepanjang mereka bisa berlari di atas air mengejar perahu Guru Kiplik, peristiwa inilah yang menjadi titik balik cara pandang Guru Kiplik, bukan?
           Bandingkan dengan jumlah warga dalam  Three Hermits yang harus tiga pertapa tak bisa dikutak-katik sedikit pun. Entah mau dijadikan 4 orang atau 2 orang. Sebab jumlah 3 pertapa itu sangat berkaitan dengan cara berdoa mereka seperti dikisahkan Tolstoy.
            ”Tapi bagaimana cara kalian berdoa kepada Tuhan?” tanya sang uskup.
            ”Kami berdoa seperti ini,” pertapa tua itu menjawab. ”Engkau ada tiga, kami ada tiga, maka kasihanilah kami.” – hal. 52).
           Di sini, Tolstoy menjadikan jumlah warga pulau bukan hanya sekadar ornamen penghias cerita, bukan pula sebagai angka penggembira, melainkan merupakan bagian integral dari kisah relijius yang lebih esensial dibandingkan dalam Dodolit.

7/
            SEMOGA para dewan juri yang telah terbiasa menyelami samudera sastra dunia, sudah menakar pengaruh Three Hermits dalam memutuskan Dodolit Dodolit Dodolibret sebagai cerpen terbaik. Sebab kalau tidak -- meminjam judul salah satu cerpen dalam antologi ini Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku karya Herman RN – bisa saja satu saat kelak ada warga Volga, Rusia, dan para penggemar setia Leo Tolstoy lainnyayang dengan getir berkata, ”Guru Kiplik itu mencuri hikayat kami.”

Cibubur, 28.06.11, 02.30 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI