Langsung ke konten utama

SASTRA MAJALAH: KARYA FIKSI DI MAJALAH RIWAYATMU DOELOE

SESUNGGUHNYA fenomena majalah yang secara khusus memuat karya fiksi, baik cerpen atau novel (cerita bersambung) bukan barang baru dalam dunia penerbitan pers Indonesia. Ketika membahas penerbitan majalah-majalah dan suratkabar pada permulaan tahun 1900-an, Sejarawan Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto mengakui bahwa para penulis zaman itu sudah menggunakan bentuk prosa dan puisi sebagai cara untuk menyatakan pikiran para penulisnya.




Pada tahun 1930-an, terutama pada tahun 1950-an kita sudah banyak menemukan cerita-cerita fiksi, khususnya cerpen, dalam penerbitan majalah di tanah air. Bahkan, peranan majalah-majalah itu sangat berarti dalam mengangkat cerpen sekaligus mempopulerkan nama para pengarangnya pada waktu itu.

Maman S Mahayana menulis dalam sebuah artikelnya tentang peranan media massa dalam mengangkat cerpen:

“Selepas merdeka, terutama pada dasawarsa tahun 1950-an, cerpen Indonesia seperti mengalami booming. Sejumlah majalah seperti Kisah, Pujangga Baru, Panca Raya, Arena, Seniman, Zenith, Seni, Sastra, Indonesia dan Prosa boleh dikatakan tidak pernah luput memuatkan cerpen. Menurut catatan E.U. Krazt yang meneliti 55 majalah yang terbit dalam dasawarsa tahun 1950-an itu, cerpen (: prosa) yang dimuat berjumlah 5043 cerpen, hampir mendekati pemuatan puisi yang berjumlah 6291 buah. Jumlah itu tentu saja akan membengkak jika kita menyisir majalah-majalah yang terbit di Indonesia pada dasawarsa itu yang mencapai jumlah 568 majalah. Belum terhitung suratkabar yang terbit waktu itu. Kondisi itu terus berlangsung hingga tahun 1964. Dalam dasawarsa tahun 1950-an itu pula tradisi penerbitan antologi cerpen mulai memperoleh tempat.”

Ajip Rosidi juga menuturkan, kedudukan cerpen yang demikian pada tahun 1950-an dapat dilihat dari jumlah majalah dan suratkabar yang menyediakan rubrik cerpen. Jika para pengarang sebelum perang menempatkan cerpen sebagai bentuk sampingan selain roman yang biasanya mesti ditulis seseorang sebelum diakui sebagai pengarang, maka pengarang sesudah perang menempatkan cerpen dalam kedudukan yang utama dalam dunia kesusastraan Indonesia.

Menurut Ajip Rosidi, pada waktu itu hampir setiap majalah, juga majalah yang tak ada saut pautnya dengan kesusastraan atau kebudayaan memuat cerpen setiap terbit atau bahkan mempunyai ruangan khusus untuk cerpen walaupun cerpen yang dimuatnya bukan cerpen yang berkadar sastra sama sekali.

Berikut sejumlah majalah yang banyak memuat cerpen di masa itu, sebagaimana yang dapat dicatat:

Pada tahun 1953, terbit majalah Kisah. Majalah bulanan ini adalah majalah pertama di Indonesia yang isinya menampilkan cerita pendek dan tidak berpolitik. Sebelumnya, menurut Jassin, cerita pendek hanya dimuat sekali-kali saja dalam majalah, atau hanya merupakan satu rubrik tertentu dalam majalah yang bersifat umum. Ciri khas majalah ini, setiap terbit hanya menampilkan cerita pendek. Pengasuh majalah ini adalah HB Jassin —yang duduk sebagai redaksinya bersama Muhammad Balfas dan Idrus, yang kala itu dikenal sebagai pengarang cerpen yang sohor. Setiap terbit, Kisah memuat antara 10-15 cerita pendek pilihan karangan pengarang Indonesia, di samping menyajikan cerita-cerita terjemahan dari para pengarang dunia terkemuka.

Pada tahun 1955, masih di Jakarta, terbit Kontjo. Kontjo, dalam bahasa Jawa berarti "teman". Majalah bulanan ini didirikan dan diterbitkan pertama kali pada 1 Oktober 1955. Motonya, ditulis dalam dua versi. Pertama, seperti tertulis di cover depan, "Dalam Suka dan Duka"; sedangkan di halaman dua, “Di Waktu Suka dan Duka". Isi majalah selain artikel juga banyak memuat cerpen dan lelucon-lelucon bergambar. Dalam mazed, tertera nama pengelolanya yaitu Sudjati S.A. Ramadhan K.H dan D.S. Moeljanto. Nama-nama yang disebut itu dikenal sebagai pengarang pada zamannya.

Pada tahun 1956 juga di Jakarta terbit majalah Nafsu oleh penerbit Noeniek Press Service. Sebagian besar isinya adalah cerita-cerita fiksi berupa cerpen maupun cerita bersambung. Di beberapa bagian halamannya ditambah dengan kartun dan foto yang tak ada hubungannya dengan isi cerita. Pada salah satu edisinya, dimuat cerpen karya Asmar Hadi berjudul “Tjurang dan Kepuasan” dan cerpen karya Jan Worang yang berjudul “Memperebutkan Gadis”.

Pada tahun 1959 di Surabaya terbit Peristiwa Njata. Majalah bulanan yang diterbitkan oleh Sri Soendari Press ini, mengutamakan cerita-cerita fiksi dan kisah nyata dari dalam maupun luar negeri. Cerita-cerita ini diharapkan bisa menjadi cermin dari kehidupan.

Setahun berikutnya, 1960 juga di Surabaya, terbit majalah Terang Bulan. Isinya didominasi oleh tulisan fiksi (berupa cerpen, cerita wayang, cerita misteri, cerita detektif, humor). Di sini pula karya Toha Mohtar (cerpen dan ilustrasi) banyak muncul

Pada tahun 1966, di Jakarta juga terbit sebuah majalah bernama Tjerpen yang diterbitkan oleh Jajasan Karja Budaya. Sesuai nama majalahnya, isi majalah itu sebagian besar adalah cerpen. Dalam salah satu edisinya dimuat cerpen berjudul "Harimau" karya Zakaria M. Passe, "Dua Buah Hati" karya Ninis Tri Soedarsi dan "Pohon Tjeri" karya Eliza Zondari.

Bertaburannya majalah yang memuat karya fiksi, utamanya cerpen pada waktu itu, menyebabkan lahirnya istilah “Sastra Majalah,” sebuah istilah yang dilansir oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “Situasi 1954” dimuat dalam majalah mahasiswa Kompas yang dipimpinnya.

(Dikutip dari buku MAJALAH DI INDONESIA ABAD KE-20, Kurniawan Junaedhie. Segera terbit tahun ini)


Komentar

Anonim mengatakan…
foloow akun aku jga dnk..
bewondergirl.blogspot.com ^.^

aku suka tulisan kamu...

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI