Langsung ke konten utama

Bendera

Cerpen Sitok Srengenge

Meski sedang liburan di rumah neneknya di Desa Bangunjiwa, Amir tetap bangun pagi. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Kalau sedang tidak libur, Amir bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Amir selalu ingat nasehat Nenek, ”Orang yang rajin bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki.”

Di mata Amir, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar. Amir tak tahu apa makna nasehat Nenek itu, tapi ia merasa ada benarnya. Bangun pagi membuatnya tidak terlambat tiba di sekolah dan tidak ketinggalan pelajaran. Selain itu, bangun pagi sungguh menyenangkan. Hanya pada waktu pagi kita bisa menikmati suasana alam yang paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat, udara masih bersih, tumbuhan pun tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah bangun tidur.

Pagi itu Amir mendapati Nenek duduk sendirian di beranda depan. Rupanya, Nenek sedang menyulam bendera. Amir menyapa dan bertanya, ”Selamat pagi, Nek. Benderanya kenapa?”

”Oh, cucuku yang ganteng sudah bangun!” sahut Nenek pura-pura kaget. ”Bendera ini sedikit robek karena sudah tua.”

”Kenapa tidak beli yang baru saja?”

Nenek tersenyum. ”Belum perlu,” katanya. ”Ini masih bisa diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih untung ditabung, siapa tahu akan ada kebutuhan yang lebih penting.”

”Bendera tidak penting ya, Nek?”

”O, penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak akan membuangnya.” Nenek berhenti sejenak dan menatap cucunya. ”Kelak, ketika kamu dewasa, Nenek harap kamu juga menjadi penting seperti bendera ini.”

Amir mengamati bendera itu. Selembar sambungan kain merah dan putih. Tidak ada yang istimewa. ”Apa pentingnya, Nek? Apa bedanya dengan kain yang lain?”

Pertanyaan Amir membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam. Pintar sekali anak ini, kata Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik untuk setiap pertanyaannya. Untunglah, Nenek teringat Eyang Coelho, seorang lelaki gaek yang cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh dan tersedu di tepi Sungai Paedra. Eyang Coelho pernah menulis sebuah cerita tentang pensil. Nah, Nenek akan meniru cara tokoh perempuan tua dalam cerita itu ketika memberikan penjelasan kepada sang cucu.

”Penting atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek berkata. Bendera ini, lanjutnya, bukan kain biasa. Ia punya beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang patut kita tiru.

Pertama: semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan dan ukuran seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara. Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia. Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan semua warga negara menghormati bendera negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini menjadi bendera bukan karena dirinya sendiri, melainkan ada manusia yang membuatnya. Begitu pula kita bisa menjadi apa saja, tapi jangan lupa ada kehendak Sang Mahapencipta.

Kedua: Pada waktu kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Tapi sesudahnya, ia punya wujud baru yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar dan tabah menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah.

Ketiga: Bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya menjulang, ada angin yang membuatnya berkibar. Artinya, seseorang bisa mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari pihak-pihak lain. Kita tak boleh melupakan jasa mereka.

Keempat: Makna bendera ini tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli, berapa harganya, atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik bentuk dan susunan warnanya ada gagasan dan pandangan yang diwakili. Begitulah, kita pun harus memperhatikan diri dan menjaganya agar tetap selaras dengan cita-cita dan tujuan hidup kita.

Kelima: Seutas benang menjadi kain, lalu kain menjadi bendera, dan bendera punya makna; karena diperjuangkan dan akhirnya dihormati. Kita juga seperti itu. Harus selalu berusaha agar apa yang kita lakukan bisa bermakna. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu ingin dihormati.

”Begitulah, cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek mengakhiri penjelasannya.

Amir mengangguk. Meski belum bisa memahami semua, ia menangkap inti dan garis besarnya: betapa penting arti sebuah bendera.

”Sudah, sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan gudeg manggar lengkap dengan telor dan daging ayam kampung empuk kesukaanmu.”

Amir menuruti saran Nenek. Ia masuk ke rumah sambil membayangkan kesegaran air sumur pedesaan.

***

Pada kesempatan lain, Amir mendapat tugas sebagai pengibar bendera pada upacara di sekolahnya. Seiring dengan lagu ”Indonesia Raya” yang dinyanyikan serentak oleh para guru dan teman-temannya, ia menarik tali pengikat bendera agar Sang Saka Merah-Putih berkibar di angkasa.

Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan penghormatan. Saat itu Amir berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu tak ubahnya sehelai benang. Sekolah tempat mereka belajar ibarat alat pemintal, tempat benang-benang itu menganyam dan meluaskan diri agar menjadi lembaran kain.

Kelak setiap lembar kain akan berguna. Ada yang menjadi baju, celana, selimut, atau taplak meja. Menjadi lap piring juga berjasa, meski tidak pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya, jika menjadi pakaian, sering dipamerkan dalam acara-acara gemerlapan dan harganya bisa mencapai ratusan juta.

Di dalam hati Amir bertekad, ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin menjadi lambang, seperti bendera.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...