Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Dody Kristianto pada Majalah Kidung edisi 20


para pirsawan yang saya muliaken daripada blog super gak jelas ini, setelah hampir dua mingguan blog ini ngadat, tak update, sepi, tak ada materi dikarenakan komputer jinjing yang selalu saya andalken sebagai alat untuk ngupdate ini ngadat, maka pada kesempatan, malam yang agak-agak mendung ini, saya akan menyiarken puisi-puisi saya yang muat pada Majalah Kidung edisi 20. tanpa banyak cingcong, bacot, dan ba-bi-bu, mari kita nikmati keenam puisi saya ini!

Bangkai Hujan

maka kembali, kembalilah

ia pada asal mula

tempat segala baka

memohon pada sang habbah

kembalilah ia

serupa pemburu buta

yang tak butuh arah

tak minta jumpa

dengan segala

yang tak sengaja

ia tatap dan ia rasa

sungguh, ia kembali,

dari rumah mahatinggi

dari pantun mau mati

dari sayap nan tanggal

di punggungnya paling perih

2010

Ekor Hujan

mungkin ia yang tersisa

sebelum lampu malam

menghapusnya

di sela genting rumah

yang masih dipeluk basah

2010


Kuping Hujan

tetes pertama :

sepasang kesabaran

yang bosan melintas

sebab telah renta ia

melebihi kerentaan daging bumi

yang tak kunjung ia retakkan

tetes kedua :

sepasukan pengelana

yang tak pernah ingin berpulang

ke ketinggian

sebab purna sudah ia menarik

segala macam kerinduan

yang dipanjatkan manusia

ia telah lelah mendengar doa

dan mantra


tetes ketiga :

selembaran kitab langit

yang alpa diisi

sesudah semua bidadari

turun ke bumi

menjelma sehamparan benih

paling putih

sehamparan benih nan letih

nan kelak tak kekal-abadi

2010


Riwayat Hujan

ia tak pernah tahu

di mana ia lahir

di mana ia dikuburkan

yang ia tahu hanyalah

ia akan menempuh

perjalanan panjang

yang tak pernah ia tahu

ke mana arah tujuan

sesungguhnya

sayap-sayap bening

di punggungnya

sudah mulai lelah

minta istirah

tapi ia tahu

ia mesti terus melangkah

ke bawah

menggenapi segala yang baka

yang tak pernah ia duga

2010

Pucuk Hujan

sepasang tanduknya

lebih tajam

menembus tudung malam

sepanjang tatapan

sebarisan semut pendar

berpencar

mencari sebutir kemerciknya

yang diyakini

sebagai biji

untuk musim tanam

yang akan datang

2010


Jantung Hujan

ia sedetik hanya

lebih cepat dari detak digital jam

lebih lesat dari selembaran pukat

ia sedetik hanya

dan hanya ia sekadar sapa

kembaran lamanya

yang terkubur dalam tanah :

kembaran paling bangka

yang telah lama tak ia jumpa

2010



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

Puisi-puisi Aksan Taqwin Embe

Pemirsa blog saia yang budiman, agar gak sepi-sepi amat, blog tercinta saia ini akan saya isi kembali dengan puisi-puisi dari Kawan Aksan Taqwin Embe, yang sebenarnya lebih moncer sebagai cerpenis. Puisi-puisi ini sendiri sebelumnya telah tayang di laman lensasastra.id edisi 7 Maret 2021. Bila kawan-kawan ingin membaca puisi-puisi Bung Aksan secara lengkaplah, bolehlah singgah ke laman  Puisi Aksan Taqwin Embe – lensasastra.id   Buruh yang Mendadak Jatuh Cinta semula pertemuan yang asam dibuat sekawanan usai lembur semalaman dicecap sampai tuntas. Umpama kopi hingga tandas. aku perantau aku pun sepasang buruh itu jatuh cinta karena merasa saling menemukan rumah. 2020 Dolanan Pertama Cublek…cublek suweng, suwenge randa’ ireng Kecantol ning kelambi, ambune rengga-renggi Kepulangan di petang hari adalah ketergesaanmu yang bukan biasanya. langkah pelan tenggelam dengan nyanyian bocah-bocah di pelataran rumah. kau merundukkan tubuh. mengendus berkali-kali. bau yang kau sembunyikan...