Kompas/arbain rambey
Jakarta, Kompas
Negara Republik Indonesia memang negara merdeka, tetapi rakyatnya belum merdeka. Sebab rakyat yang tanpa hak hukum, bukanlah rakyat yang berdaulat. Setelah bebas dari penjajahan asing, kedaulatan mereka justru dijajah oleh pemerintahan yang sentralistis dan otoriter. Kebudayaan diporak-porandakan oleh kekuasaan yang tersentral. Gerakan separatisme pun bermunculan sebagai bentuk ketidakpuasan. Karena itu otonomi yang diperluas harus segera dilaksanakan.
"Tidak adil kalau orang daerah memberontak kepada negara karena negara tidak bersalah. Justru kita tidak boleh mengurangi kekuatan persatuan rakyat supaya kita bisa merdeka bersama. Kita harus hati-hati kepada nafsu elite politik yang bermental feodal yang laten," kata WS Rendra dalam pidato kebudayaan yang disampaikannya pada Konferensi Internasional "Jaringan Ekonomi: Menuju Demokratisasi Ekonomi di Indonesia" di Jakarta, Senin (6/12).
Elite politik semacam itu, kata Rendra, didorong oleh keinginan untuk ambil giliran berkuasa seperti Orde Baru. Sekarang ini di era reformasi mereka semakin kehilangan kesempatan untuk berkiprah dalam wacana negara, kini akan berkiprah di kampung. Rakyat harus mewaspadai trik politik setiap gerakan daerah merdeka.
"Kalau Aceh merdeka, itu mau jadi apa? Katanya mau jadi kerajaan yang akan dipimpin Hasan Tiro. Apakah sudah diselidiki Hasan Tiro itu siapa, hidupnya bagaimana, dapat dananya dari mana? Lalu bagaimana nanti jadi kerajaan Aceh, tidak punya DPR? Jadi malah kehilangan kedaulatannya. Mau merdeka dari Indonesia lalu dijajah oleh kepala kampungnya sendiri. Dari wawasan bernegara menjadi wawasan kampung, ini 'kan kemunduran," ujar Rendra.
Rakyat makin terjajah
Orde Baru menumbangkan kekuasaan Soekarno, akan tetapi tidak berarti memberikan kemerdekaan kepada rakyat. Orde Baru justru melahirkan pemerintahan Soeharto yang dengan dibantu oleh ABRI lebih menekan kedaulatan rakyat, menjadikan rakyat Indonesia semakin terjajah habis-habisan secara politik, sosial, dan ekonomi. Kejahatan-kejahatan yang transparan dari kekuasaan pemerintah, seperti korupsi, pembunuhan, penculikan, penjarahan terhadap kekayaan bangsa, penjarahan terhadap kekayaan bangsa, penjarahan terhadap hak dan daulat rakyat, serta juga penjarahan terhadap keamanan rakyat bisa berlangsung tanpa saksi, tanpa bisa disalahkan, tanpa bisa diadili.
Tujuh langkah
Usaha memerdekakan rakyat itu tak mungkin terlaksana tanpa pertama-tama menggarap hak hukum rakyat. Hal ini tidak berarti asal merancang dan mengesahkan apa itu hak hukum rakyat, itu belum cukup. Tetapi harus diperjuangkan pula keberadaan lembaga peradilan yang mandiri yang bersih dari hakim-hakim dan jaksa-jaksa lama yang telah terbukti sedari dulu menjadi abdi lembaga eksekutif dan bukan abdi hukum.
Yang kedua, harus ada perjuangan keras dan tekun untuk menempatkan lembaga kepolisian di tempat yang seharusnya ialah tidak menjadi aparat pemerintah, melainkan harus menjadi aparat hukum. Jadi kedudukannya harus tidak di bawah lembaga eksekutif tetapi di bawah lembaga pengadilan yang benar-benar mandiri.
Ketiga, harus diperjuangkan dengan keras dan tekun, UU yang adil yang mengatur rumusan kewajiban, wewenang dan batas-batas operasi dari lembaga intelijen, supaya rakyat tidak lagi menjadi bulan-bulanan penculikan, teror, dan lain-lain cara pendekatan keamanan yang melanggar hak-hak asasi manusia.
Keempat, harus diperjuangkan dengan keras dan tekun, agar birokrasi negara tidak menjadi aparat pemerintah yang notabene adalah lembaga eksekutif, tetapi menjadi abdi rakyat. Sejarah Orla-Orba sudah membuktikan bahwa ternyata pemerintah yang kuat hanya menghasilkan stabilitas negara yang semu dan keropos untuk dihuni oleh rayap-rayap yang dengan sewenang-wenang menjarah kekayaan dan kesejahteraan bangsa.
Kelima, adalah perjuangan yang keras dan tekun untuk terus mengusahakan terlaksananya pembentukan lembaga perwakilan rakyat yang lebih adil dan jujur di masa depan.
Keenam, harus diperjuangkan dengan keras dan tekun agar segera terlaksana penyelenggaraan otonomi pemerintahan yang seluas-luasnya di daerah-daerah. Sebab tanpa otonomi luas semacam itu, kedaulatan dan kekuatan rakyat di daerah tak akan terjadi.
Ketujuh, harus diperjuangkan dengan keras dan tekun, agar rakyat mempunyai kekuatan ekonomi yang mantap. Artinya, dalam proses industrialisasi, rakyat dengan kekuatan koperasinya harus ikut memiliki alat-alat reproduksi, harus ikut menguasai jalur-jalur distribusi barang dan harus berperan penuh dalam pasar tenaga kerja. Dalam kaitannya dengan perjuangan itu, kata Rendra, gerakan separatisme tidak pada tempatnya, tidak relevan adanya. Sebab gerakan separatisme itu hanya memperjuangkan kemerdekaan lokal, bukan kemerdekaan Indonesia Raya. Gerakan separatisme merupakan lubang dalam gerakan bersama oleh rakyat.
"Alasannya perjuangannya pun juga salah. Musuh rakyat bukan negara, tetapi pemerintah yang notabene lembaga eksekutif Orla dan Orba, ABRI yang mengubah Sapta Marga. ABRI menjadi bayangkara pemerintah dan bayangkara cukong. Jadi sebetulnya apa yang diderita seperti ketidakadilan dan aniaya rakyat di Aceh, sama saja dengan yang diderita rakyat di Depok, di Pacitan, di Banyuwangi, di Trisakti, atau di Madura. Semuanya adalah aniaya dari lembaga eksekutif," kata Rendra.
Setiap pejuang kemerdekaan harus menyadari wawasan bernegara ini. Kemerdekaan suku, itu lain dengan kemerdekaan bangsa. Kemerdekaan kampung halaman, lain dengan kemerdekaan Tanah Air. Kita tidak boleh picik dalam wawasan kampung, kita harus mampu berkembang dalam wawasan negara. Berkampung itu urusan kesukuan, bernegara itu urusan berbangsa. Adapun fitrah manusia menurut Al Quran adalah untuk hidup berpasangan, bersuku, berbangsa, dan berkaum. Sebenarnya, berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia kita sudah mampu berbangsa sebelum bernegara. (lok)
Komentar