Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Nirwan Dewanto

Dalam rangka menyambut Jantung Lebah Ratu Nirwan Dewanto yang akan terbit akhir April ini, berikut ini Saya menghadirkan beberapa puisi dari sang maestro Nirwan Dewanto. Puisi-puisi ini memang sering muncul di media internet maupun blog, namun tak ada salahnya bila saya mencoba mereproduksi. Toh, tidak ada yang menyangsikan kapasitas seorang Nirwan. Selamat menikmati.

Gong

Tengah kami cerna hamparan abu yang meluas hingga ke Prabalingga ketika kau datang tiba-tiba. Menyuapkan sebilah anak kunci ke mulutku kau berkata, “Aku pandai membuka semua pintu. Jangan lagi lari dariku.” Waktu kaulepaskan gaunmu tahulah kami bahwa tubuhmu masih setengah-matang. Tapi aku tak lagi bisa tertawa sebab baru saja kami kuburkan sang panakawan di antara batang-batang pisang.

Malam ini sungguh terlalu panjang. Maka menarilah, Adinda. Tak akan kami pulang sebab kami mahir bertepuk sebelah tangan. Menarilah. Inilah lingkaran yang akan kami berikan esok hari kepada ki lurah Baradah. Namun sekarang ambillah. Sebab tubuhmu kian merona merah.

Baiklah, bahkan lingkaran seluas padang ara-ara pun tak cukup bagimu. Telah kunyalakan segala suluh agar hutan pring dan rotan ini menjauh darimu. Dan kami tanam pokok-pokok pinang kencana di sekitarmu agar tanganmu gemas meninggi melupakan leluka para leluhur di bumi. Tapi kau ingin bergerak seperti lautan seperti awan-gemawan seperti berjelatang seperti menuju timpas perang. Kami pun tuli oleh derak sendi dan rusukmu selepas tengah malam.

Tapi kami pemujamu, bukan? Sebab parasmu murni seperti sebutir telur (seperti parasku yang tak kunjung hancur): putih yang mengeras dalam gelap keparat, dan hanya retak pada hari kiamat. Bahkan balatentara Kadiri yang mengintai dari kedua sayap panggung gentar oleh kilaumu, oleh ketelanjanganmu.

Setiap kali para penabuh menjalang hendak menggiringmu ke tepi jurang, kugaungkan diriku lirih-lirih, panjang-panjang. Kembalilah lagi ke tengah, Adinda, di mana cahaya memancar paling merah (dan meruapkan harum darah), di mana kau harus mulai belajar lagi menggerakkan jari-jemari seperti bayi.

Dan sang perias di balik tirai (kurasa ia janda, dan ia datang dari Girah, di mana aku pernah lahir) menunggu kau segera dewasa. Sungguh ia berharap kau tak lagi menyiksa ia dengan lagumu, “Tolong hitamkan alisku, Ibu! Tolong tebarkan beras kuning dan daun sirih dan pecahan pedang di kaki ranjangku agar aku segera menari segera setelah bangun pagi!”

Ah, pastilah kucegah ia menjadi ibumu.

Maka kugiring kau ke puncak (Sumeru, itulah mungkin namanya) di mana delapan penari bertubuh perunggu segera merebutmu, memandikanmu dengan hujan kelopak melur. Memasang topeng Durga ke wajahmu mereka berseru, “Kaulah lubuk kami, busur kami. Dan kamilah anak-anak panah atau benang-benang topan yang melesat darimu, sehingga mereka yang memujamu tak lagi tahu kau juru tenun atau juru tenung.” Tapi diam-diam kusisipkan bara arang ke bawah kakimu, dan si anak kunci ke celah payudaramu.

Selamat jalan, Ratna Manggali.

Aku akan lekas-lekas sembunyi. Sudah terdengar olehku kokok ayam jantan. Dan kuburan panakawan itu, tepat di bawah julai tandan pisang raja, akan segera terlihat olehmu. Kemudian, bukankah kau akan memburuku, mungkin membunuhku, bahkan sebelum surya mengemasi tirai panggung kita? Maafkan kami, sebab kami penabuh yang tak pernah mengaku (tak pernah kautahu bahwa Siwa berada di antara kami, dan oleh ia kami akan jadi serdadu yang ganas berebut kainmu). Sebab kau perawan baka, perawan paling sempurna.

Dan aku hanya lingkaran lingga. Terlalu purba, terlalu sederhana.

Tak mampu aku memuasi dahagamu.

(2006)

Torso Pualam

—untuk Gregorius Sidharta Soegijo (1932-2006)

Pakaiannya tertinggal di tepi perigi, tapi betapa gentar terang siang memekik di antara kedua susunya.

Di jalan pulang, bujang yang mengikutinya seperti bayangan itu berkata, “Puan, wajahmu dan tubuhmu adalah milik malam. Aku tak mampu mencintaimu. Mereka pun tak.”

Hari hampir senja ketika belum juga rumahnya terlihat. Mereka tiba di bawah pohon mahoni. “Ambil pahatmu,” kata dia pada si bujang. “Haluskan punggungku ketika aku berpejam mata menghadap ke utara.”

Ia lupa arah mata angin. Ia merasa kakinya tercelup ke arus kali ketika mulai memahat.

“Jika darah mengucur dari tubuhku, berhentilah.”

Tapi tubuh si perempuan berkilau-kilau ketika malam tiba. Maka ia perindah sepasang payudara itu meski ia tak akan lagi bisa minum dari sana. Dan ia sesap kembang api dari lengkung pinggang yang

kian tampak purba itu.

Makin nyaring bunyi pahatnya.

Sampai jari-jemarinya sendiri berdarah…

Kuhisap darah itu agar aku mampu mendengar tangisan sang puan dewi batari. Dia tak lagi betah di bawah pohon keramat itu sebab aku telah memberinya baju dari kain perca warna-warni.

Dan dengan kuda sembrani dari kayu mahoni kami melaju ke Bandung atau Craiova sehingga Brancusi yang selalu seperti datang dari esok hari tak lagi bersiteguh membanggakan kepala bayi atau telur dari pualam mahaputih itu.

Sesekali kaukuburkan pahatku pada lubuk perigi.

Tapi aku bukan lagi bayang-bayangmu. Wajahku menghadap ke semua penjuru. Sehingga setiap sungai membawa laut ke pangkuanku. Bahuku bertuliskan nun. Sehingga setiap akar menghisap bentang langit paling biru.

Dan setiap tangan adalah milikku yang membawa wajah dan payudaramu ke arah siang.

(2006)

Gandrung Campuhan

Kuminum apa dari cawanmu

—sari limau atau arak madu—

tetap saja kusesap tilas bibirmu.

Habis senja makin dahaga aku.

Kuiri pada kalung manikmu,

bebulir merah tak kunjung ungu,

terus saja melingkari lehermu.

Sedang lenganku, lengan perihku

membelit sebutir jantung hanya,

jantung semu milikmu. Segera sirna

ia, begitu kau membunuh surya

pada kulit kitabku, dengan kecut cuka.

Kucoba roti apa saja. Roti udara

atau roti batu. Tapi dengan selai ceri

olesan tanganmu, aku akan tega

melupakan segala nasi, segala kari.

Silau oleh album negeri salju, kau

menarik tabir magnolia. Mengigau

aku seperti batang neon terendam

suara kekasihmu separuh malam.

Telah tercuri wajahmu di Singapadu

—Durga atau Maria dari Magdala?—

sebab seperti Siwa tubuhku penuh abu

memanggul salib kayu nangka.

Di restoran itu pun segera terpercik bara

ke ujung kainmu. Sebab kau tampak tiba

dari lukisan Lempad, menjelang pagi,

tapi dengan pipi seperti telur mata sapi,

pada pelepah pisang kau sigap menari,

pada talam Siam kautahan sang koki,

hingga siap aku mencicipimu, mengulummu

dengan lidah berbalur kaldu empedu.

Tapi lambung kananku tercabik tiba-tiba

oleh pisau pacarmu. Penyadap betapa muda,

lekas ia terakan namaku pada kedua susumu

dengan getah pala dari segenap pembuluhku.

Matamu badam biru dari bawah seprei

—sepasang terakhir kubawa mati—

sambil kupahatkan busur pinggangmu

pada cermin berlumur darah lembu.

(2006)

Madah Merah

Terlalu dekat kau ke lumbung padi

sehingga rambutmu tak kilau lagi.

Terlalu pagi mungkin kauminta aku

mengunggah sembilu ke tepian dagu.

Terlalu gabah kutampi bebayangmu,

terlalu payah kautenggang lingkar nyiru.

Tapi tengah hari alismu tetap teka-teki

meski terengah lidahku ke ujung nyanyi.

Layu tanganku seperti kembang sepatu

tak lagi terperam di sebarang rambutmu.

Pada payudaramu bibirku akan lupa,

pada ani-ani buku jarimu berutang luka.

Lempang pematang oleh mata dara,

terbang kiambang oleh mara buah ara,

tapi tak lagi menjulai malai jantungku

sebab sembunyi darahmu ke pucuk meru.

(2006)

Sarapan di Undak Sayan

Antara piring putih ini

dan cakram matahari

kukekalkan sepetak roti

dengan luka ujung jari.

Antara meja tohor ini

dan gerimis sore nanti

lap penuh bara birahi

menempel ke pucat pipi.

Antara kilau sungai itu

dan gelap geligi beku

seraya cemburu, kuburu

ke ujung garpu, rambutmu,

dan ke mata pisau, matamu.

Sebab lapar tak juga milikku.

(2006)

Nirwan Dewanto tinggal di Jakarta. Sebagai penyunting, ia berkhidmat untuk, antara lain, Lembar Sastra Koran Tempo Minggu dan Jurnal Kebudayaan Kalam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...