Gong
Tengah kami cerna hamparan abu yang meluas hingga ke Prabalingga ketika kau datang tiba-tiba. Menyuapkan sebilah anak kunci ke mulutku kau berkata, “Aku pandai membuka semua pintu. Jangan lagi lari dariku.” Waktu kaulepaskan gaunmu tahulah kami bahwa tubuhmu masih setengah-matang. Tapi aku tak lagi bisa tertawa sebab baru saja kami kuburkan sang panakawan di antara batang-batang pisang.
Malam ini sungguh terlalu panjang. Maka menarilah, Adinda. Tak akan kami pulang sebab kami mahir bertepuk sebelah tangan. Menarilah. Inilah lingkaran yang akan kami berikan esok hari kepada ki lurah Baradah. Namun sekarang ambillah. Sebab tubuhmu kian merona merah.
Baiklah, bahkan lingkaran seluas padang ara-ara pun tak cukup bagimu. Telah kunyalakan segala suluh agar hutan pring dan rotan ini menjauh darimu. Dan kami tanam pokok-pokok pinang kencana di sekitarmu agar tanganmu gemas meninggi melupakan leluka para leluhur di bumi. Tapi kau ingin bergerak seperti lautan seperti awan-gemawan seperti berjelatang seperti menuju timpas perang. Kami pun tuli oleh derak sendi dan rusukmu selepas tengah malam.
Tapi kami pemujamu, bukan? Sebab parasmu murni seperti sebutir telur (seperti parasku yang tak kunjung hancur): putih yang mengeras dalam gelap keparat, dan hanya retak pada hari kiamat. Bahkan balatentara Kadiri yang mengintai dari kedua sayap panggung gentar oleh kilaumu, oleh ketelanjanganmu.
Setiap kali para penabuh menjalang hendak menggiringmu ke tepi jurang, kugaungkan diriku lirih-lirih, panjang-panjang. Kembalilah lagi ke tengah, Adinda, di mana cahaya memancar paling merah (dan meruapkan harum darah), di mana kau harus mulai belajar lagi menggerakkan jari-jemari seperti bayi.
Dan sang perias di balik tirai (kurasa ia janda, dan ia datang dari Girah, di mana aku pernah lahir) menunggu kau segera dewasa. Sungguh ia berharap kau tak lagi menyiksa ia dengan lagumu, “Tolong hitamkan alisku, Ibu! Tolong tebarkan beras kuning dan daun sirih dan pecahan pedang di kaki ranjangku agar aku segera menari segera setelah bangun pagi!”
Ah, pastilah kucegah ia menjadi ibumu.
Maka kugiring kau ke puncak (Sumeru, itulah mungkin namanya) di mana delapan penari bertubuh perunggu segera merebutmu, memandikanmu dengan hujan kelopak melur. Memasang topeng Durga ke wajahmu mereka berseru, “Kaulah lubuk kami, busur kami. Dan kamilah anak-anak panah atau benang-benang topan yang melesat darimu, sehingga mereka yang memujamu tak lagi tahu kau juru tenun atau juru tenung.” Tapi diam-diam kusisipkan bara arang ke bawah kakimu, dan si anak kunci ke celah payudaramu.
Selamat jalan, Ratna Manggali.
Aku akan lekas-lekas sembunyi. Sudah terdengar olehku kokok ayam jantan. Dan kuburan panakawan itu, tepat di bawah julai tandan pisang raja, akan segera terlihat olehmu. Kemudian, bukankah kau akan memburuku, mungkin membunuhku, bahkan sebelum surya mengemasi tirai panggung kita? Maafkan kami, sebab kami penabuh yang tak pernah mengaku (tak pernah kautahu bahwa Siwa berada di antara kami, dan oleh ia kami akan jadi serdadu yang ganas berebut kainmu). Sebab kau perawan baka, perawan paling sempurna.
Dan aku hanya lingkaran lingga. Terlalu purba, terlalu sederhana.
Tak mampu aku memuasi dahagamu.
(2006)
Torso Pualam
—untuk Gregorius Sidharta Soegijo (1932-2006)
Pakaiannya tertinggal di tepi perigi, tapi betapa gentar terang siang memekik di antara kedua susunya.
Di jalan pulang, bujang yang mengikutinya seperti bayangan itu berkata, “Puan, wajahmu dan tubuhmu adalah milik malam. Aku tak mampu mencintaimu. Mereka pun tak.”
Hari hampir senja ketika belum juga rumahnya terlihat. Mereka tiba di bawah pohon mahoni. “Ambil pahatmu,” kata dia pada si bujang. “Haluskan punggungku ketika aku berpejam mata menghadap ke utara.”
Ia lupa arah mata angin. Ia merasa kakinya tercelup ke arus kali ketika mulai memahat.
“Jika darah mengucur dari tubuhku, berhentilah.”
Tapi tubuh si perempuan berkilau-kilau ketika malam tiba. Maka ia perindah sepasang payudara itu meski ia tak akan lagi bisa minum dari sana. Dan ia sesap kembang api dari lengkung pinggang yang
kian tampak purba itu.
Makin nyaring bunyi pahatnya.
Sampai jari-jemarinya sendiri berdarah…
Kuhisap darah itu agar aku mampu mendengar tangisan sang puan dewi batari. Dia tak lagi betah di bawah pohon keramat itu sebab aku telah memberinya baju dari kain perca warna-warni.
Dan dengan kuda sembrani dari kayu mahoni kami melaju ke Bandung atau Craiova sehingga Brancusi yang selalu seperti datang dari esok hari tak lagi bersiteguh membanggakan kepala bayi atau telur dari pualam mahaputih itu.
Sesekali kaukuburkan pahatku pada lubuk perigi.
Tapi aku bukan lagi bayang-bayangmu. Wajahku menghadap ke semua penjuru. Sehingga setiap sungai membawa laut ke pangkuanku. Bahuku bertuliskan nun. Sehingga setiap akar menghisap bentang langit paling biru.
Dan setiap tangan adalah milikku yang membawa wajah dan payudaramu ke arah siang.
(2006)
Gandrung Campuhan
Kuminum apa dari cawanmu
—sari limau atau arak madu—
tetap saja kusesap tilas bibirmu.
Habis senja makin dahaga aku.
Kuiri pada kalung manikmu,
bebulir merah tak kunjung ungu,
terus saja melingkari lehermu.
Sedang lenganku, lengan perihku
membelit sebutir jantung hanya,
jantung semu milikmu. Segera sirna
ia, begitu kau membunuh surya
pada kulit kitabku, dengan kecut cuka.
Kucoba roti apa saja. Roti udara
atau roti batu. Tapi dengan selai ceri
olesan tanganmu, aku akan tega
melupakan segala nasi, segala kari.
Silau oleh album negeri salju, kau
menarik tabir magnolia. Mengigau
aku seperti batang neon terendam
suara kekasihmu separuh malam.
Telah tercuri wajahmu di Singapadu
—Durga atau Maria dari Magdala?—
sebab seperti Siwa tubuhku penuh abu
memanggul salib kayu nangka.
Di restoran itu pun segera terpercik bara
ke ujung kainmu. Sebab kau tampak tiba
dari lukisan Lempad, menjelang pagi,
tapi dengan pipi seperti telur mata sapi,
pada pelepah pisang kau sigap menari,
pada talam Siam kautahan sang koki,
hingga siap aku mencicipimu, mengulummu
dengan lidah berbalur kaldu empedu.
Tapi lambung kananku tercabik tiba-tiba
oleh pisau pacarmu. Penyadap betapa muda,
lekas ia terakan namaku pada kedua susumu
dengan getah pala dari segenap pembuluhku.
Matamu badam biru dari bawah seprei
—sepasang terakhir kubawa mati—
sambil kupahatkan busur pinggangmu
pada cermin berlumur darah lembu.
(2006)
Madah Merah
Terlalu dekat kau ke lumbung padi
sehingga rambutmu tak kilau lagi.
Terlalu pagi mungkin kauminta aku
mengunggah sembilu ke tepian dagu.
Terlalu gabah kutampi bebayangmu,
terlalu payah kautenggang lingkar nyiru.
Tapi tengah hari alismu tetap teka-teki
meski terengah lidahku ke ujung nyanyi.
Layu tanganku seperti kembang sepatu
tak lagi terperam di sebarang rambutmu.
Pada payudaramu bibirku akan lupa,
pada ani-ani buku jarimu berutang luka.
Lempang pematang oleh mata dara,
terbang kiambang oleh mara buah ara,
tapi tak lagi menjulai malai jantungku
sebab sembunyi darahmu ke pucuk meru.
(2006)
Sarapan di Undak Sayan
Antara piring putih ini
dan cakram matahari
kukekalkan sepetak roti
dengan luka ujung jari.
Antara meja tohor ini
dan gerimis sore nanti
lap penuh bara birahi
menempel ke pucat pipi.
Antara kilau sungai itu
dan gelap geligi beku
seraya cemburu, kuburu
ke ujung garpu, rambutmu,
dan ke mata pisau, matamu.
Sebab lapar tak juga milikku.
(2006)
Nirwan Dewanto tinggal di Jakarta. Sebagai penyunting, ia berkhidmat untuk, antara lain, Lembar Sastra Koran Tempo Minggu dan Jurnal Kebudayaan Kalam.
Komentar