Langsung ke konten utama

Puisi Mbeling Jeihan Sukmantoro

Sekilas Biografi Jeihan Sukmantoro

Jeihan Sukmantoro, selain dikenal sebagai pelukis papan atas saat ini, juga salah satu pelopor sekaligus konseptor gerakan puisi mbeling yang cukup populer pada awal tahun 1970-an. Ia lahir di solo pada 26 September 1938. sejumlah puisinya pernah dipublikasikan di majalah aktuil dan pop serta beberapa media lainnya. Selain itu termuat juga dalam sebuah esai mengintip puisi indonesia kontemporer karya Sumardi yang termuat dalam antologi Festifal Desember 1975 (Dewan Kesenian Jakarta, 1976), Senandung Bandung (Swawedar 69 Bandung, 1981), Malam Seribu Bulan ( Forum sastra Bandung, 1992), dan Orba (Forum Sastra Bandung, 1994)

Dalam puisi mbeling, ia merupakan tokoh penting, yang hingga kini masih menulis puisi seperti ini. Ia juga dikenal sebagai pelukis dengan ciri mata bolong, dan juga pelopor boom lukisan di indonesia dengan harga yang cukup mengejutkan pada zamannya.




Pengertian Puisi Mbeling

Pandangan Jeihan sendiri mengenai puisi mbeling:

“ Puisi mbeling adalah puisi yang membumikan persoalan secara konkret, langsung mengungkapkan gagasan kreatif ke inti makna tanpa pencanggihan bahasa”.

Adapun sikap mbeling yang esensial adalah menjalani hidup dengan jiwa kanak-kanan, yang makna dan pengertiannya tidak kekanak-kanakan, dan juga tidak kebarat-baratan. Tidak sok serius dalam menanggapi keadaan, tetapi dalam mereaksi sebuah persoalan, sarat dengan makna. Ini tidak berarti santai dan tidak berarti tidak peduli pada lingkungan hidup.



Pandangan Jakob Sumarjo mengenai puisi mbeling:

“puisi mbeling adalah bermain demi permainan itu sendiri. Kenikmatan puisi mbeling terletak pada kesipan pembaca untuk memasuki permainan kata-kata dan bentuk-bentuk dalam kata-kata atau huruf-huruf demi permainan itu sendiri. Kalau pembaca menemukan kenikmatan atau pesona di situ, maka cukuplah sudah puisi semacam itu(puisi mbeling).

Menurut Sapardi Djoko Damono dalam esainya Puisi Mbeling:

Suatu usaha pembebasan (Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud) beliau mengatakan bahwa istilah mbeling kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak.

Pandangan Soni Farrid maulana mengenai puisi mbeling:

jika puisi lirik merupakan sebuah jalan raya, maka puisi mbeling adalah sebuah jalan tikus yang memaksan orang menghentikan kendaraannya melewati jalan raya yang macet itu, yang kemudian dipilihnya jalan tikus untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu saja, dalam melewati jalan tikus itu orang tidaka akan mendapat pemandangan indah. Tidak akan mendapatkan langit yang senantiasa bersih warna birunya. Pemandangan yang ada di situ, bisa jadi deretan jemuran celana dalam, wajah-wajah yang kumuh didera kemiskinan, parodi-parodi kehidupan dan sebagainya dan sebagainya”.

Dalam kata lain, puisi mbeling adalah semacam jeda dari “tradisi” penulisan puisi lirik indonesia, yang tentu saja dalam cara mengapresiasinya perlu semacam pisau analisis atau wacana lain, yang berbeda dengan wacana puisi lirik, simbiolisme, surrealisme, dan isme isme yang lainnya dari berbagai belahan dunia.

Latar Belakang Munculnya gerakan Puisi Mbeling

Jeihan berkata tentang gerakan puisi mbeling ini
“ sekali lagi saya tegaskan, bahwa puisi yang saya tulis pada tahun 1969 merupakan cikal bakal lahirnya gerakan puisi mbeling. Pada awal tahun 70an, rumah saya di cicadas kerap dijadikan markas para seniman Bandung yang memang berpikiran nakal-nakal. Mereka antara lain Remy Sylado, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sanento Yuliman dan Wing Karjo. Pada bulan Oktober 1971, kami dikejutkan oleh Rendra yang membuat perkemahan kaum urakan di pantai Parangtaritis, Yogyakarta. Untuk mereaksi gerakan tersebut, lalu kami sepakat membikin gerakan puisi mbeling. Jadi gencarnya publikasi puisi mbeling itu sendiri merupakan reaksi atas gerakan kaum urakan yang dikomandani oleh Rendra, pada 16 Oktober 1971”

Sebagai gerakan, apa yang diganyang oleh gerakan puisi mbeling sebagaimana pernah dikatakan penyair Taufiq Ismail, ternyata bukan hanya kritik terhadap puisi itu sendiri. Tetapi juga sekaligus merupakan kritik terhadap majalah sastra horison dan para penyair yang sudah mapan pada saat itu.

Apresiasi puisi-puisi mbeling Jeihan Sukmantoro

Pada bagian pertama, akan diulas bagaimana puisi mbeling Jeihan yang ditulisnya dengan menggunakan kata-kata sebagai daya ekspresi dari kegelisahan batinnya yang direaksinya secara main-main, tapi ternyata sungguh-sunguh. Sedangkan pada bagian lain adalah menikmati puisinya yang menggunakan lambang angka dan lambang huruf.

BAGIAN PERTAMA

Dimulai dengan puisinya berjudul NELAYAN yang mengungkapkan dasar filosofi kaum mbeling tahun 1970-an


NELAYAN

Di tengah laut
Seorang nelayan berseru
Tuhan bikin laut
Beta bikin perahu
Tuhan bikin angin
Beta bikin layar

Tiba-tiba perahunya terguling

Akh,
Beta main-main
Tuhan sungguh-sungguh

1974

Puisi di atas seolah mau menyatakan maksud puisi mbeling, yakni bahwa “beta main-main, tuan sungguh-sungguh”. Puisi bertolak dari niat bermain-main. Niat untuk membuat bentuk demi suka ria bersama. Walaupun sejumlah puisinya tidak dapat dianggap hanya permainan kata belaka. Seperti sejumlah puisi selanjutnya.

Apa yang ditulis Jeihan dalam sejumlah puisi mbelingnya, ternyata selalu berada dalam arus kesadaran akan situasi yang terjadi pada saat itu. Kerap bersinggungan dengan masalah sosial. Semisal pada sebuah puisi mbelingnya di bawah ini:

PANGGILAN

NARKO
TIKNO
NARKOTIK
NO!

1974

Pada konteks ini, puisi tersebut bukan hanya permainan makna, namun sudah jauh-jauh hari Jeihan menolak kehadiran narkotik di bumi Indonesia. Dan hingga kini puisi tersebut terasa aktual sekaligus kontekstual dengan zaman yang mengiringinya

Sementara dalam puisinya di bawah ini:

KELUARGA BERENCANA, 2

Ata
Adi
Aga

Astaga
Anakku sudah tiga!
Biar saja

1973

Lewat puisinya ini Jeihan sesungguhnya sedang mereaksi program KB yang sudah mulai digencarkan pemerintah sejak awal tahun 1970-an. Jeihan di situ ingin menunjukan, bahwa dirinya sudah terlanjur punya anak tiga dan berusaha untuk masuk KB. Dan slogan KB adalah dua anak cukup. Tapi nyatanya di kemudian hari, Jeihan tidak mengikuti program tersebut.

Dari tiga puisi di atas, tampak Jeihan banyak memanfaatkan kata-kata sehari-hari, yang boleh jadi hal itu menjadi sampah bagi penulisan puisi lirik, simbolik, atau surrealisme. Walau teks yang digunakan Jeihan berangkat dari sampah kata-kata, nyatanya teks tersebut masih memberikan kebulatan makna. Masih merupakan sebuah pemandangan sekaligus pandangan batin yang koheren dengan kehidupan yang dialaminya dan dijalaninya secara personal.




Sementara dalam puisinya berikut:

MUKADIMAH PUISI MBELING

sadjak ja sadjak
djejak ja djejak
sadjak cari djejak
djejak cari sadjak

biarkan

jang djejak, djejak
jang sadjak, sadjak

1971

Kaum mbeling membedakan antara kenyataan historis-empiris dengan seni, yang satu sama lainnya tidak ada hubungannya. Ini ditegaskan dalam frase: jang djejak, djejak/ jang sadjak, sadjak//. Meskipun mereka mengakui hak orang lain berkonsep yang berbeda: sadjak cari djejak/ djejak cari sadjak//.

Sajak, seni, adalah dunia otonom yang yang lepas dari kegunaan hidup praktis. Dalam sajak, orang bisa berbuat apa saja dengan cara apa saja. Dalam mbeling dijamin kebebasan ekspresi dan imajinasi.

Pada tahun 1974, Jeihan menulis sajak berjudul kembali

KEMBALI

Dari gumpalan tanah
Jadi gumpalan darah
Jadi gumpalan nanah
Dari tanah ke tanah

Sajak di atas membuktikan religiusitas Jeihan yang kuat. Manusia hanya berasal dari tanah. Tanah menjadi darah. Darah menjadi nanah. Manusia sakit, menderita dan akhirnya mati, menjadi tanah kembali. Inilah perenungan yang sama sekali lepas dari sifat mbeling. Di balik senda guraunya yang rasional, Jeihan di lubuk hatinya masih kuat intuisi keagamaannya.

BAGIAN KEDUA

Lambang-lambang huruf atau angka yang ditulis Jeihan, seperti puisi berikut:

DOA

A
A A
A A A
A A AA
A A A A A
A A A A A A
A A A A A A A
A A A A A A A A
A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A A A

Menurut Soni Farid Maulana, huruf A dalam puisi tersebut bisa ditafsir sebagai permulaan dari nama Adam, yang lebih lanjut bisa juga ditafsir sebagai manusia pada umumnya, yang kerap berdoa dan seusai doa mengatakan Amin. Frase Amin yang diucap sebanyak tujuh belas kali itu, yang berdasar pada susunan huruf A dalam bentuk piramid itu, adakah merupakan akhir dari pembacaan surat Al-Fatihah yang diucap dalam setiap rokaat shalat? Bukankah jumlah rokaat shalat wajib dari Subuh hingga Isya itu sejumlah 17 rokaat? Boleh ditafsirkan demikian, dan boleh juga tidak.

Namun menurut Jakob Sumardjo, puisi ini adalah ucapan persetujuan dalam doa, yang berarti manusia menyetujui semua yang dipancarkan dan berasal dari “Atas”, yaitu Tuhan sendiri. Tipografi ini dapat dibaca dari atas sebagai bermakana yang berasal dari yang tunggal dan dibaca dari bawah yang bermakna semuanya untuk yang tunggal. Inilah keyakinan teguh sebuah iman.

Dari puisinya yang lain seperti dalam HAL, 2 berikut:

HAL, 2

O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
S . O . S
O 2
!


S.O.S dan O2, itulah kunci dari puisi ini. Yakni, Jeihan ingin berteriak bahwa pada saat ini pencemaran udara sudah mencapai titik gawat. Dalam puisi tersebut Jeihan menggunakan lambang kimia, O2 yang berarti oksigen. Sedangkan deretan lambang O yang dibangunnya dengan citra lambang palang merah atau palang hijau itu, seakan mencitrakan mulut orang yang menganga, mengharapkan oksigen yang segar. Mulut yang menganga dan megap-megap itu, bagai mulut ikan yang diangkat dari air ke daratan. Gambaran semacam itulah yang ingin diungkap oleh Jeihan.







DAFTAR PUSTAKA

YPRSI. 2000. MATA mbeling JEIHAN. Bandung: Grasindo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI