Langsung ke konten utama

Menadarusi yang Awal

Dody Kristianto**

Sebenarnya tulisan ini adalah tulisan yang saya buat dalam rangka terkejut. Terkejut? Karena apa dan untuk hal apa? Saya terkejut karena pada sebuah kesempatan minggu siang yang cerah, kala saya lagi bermasyuk melanjutkan pembacaan saya pada sebuah diktat mengenai gejala bubble economy, tiba-tiba masuklah sebuah sms setengah aneh dari Ribut Wijoto, koordinator kegiatan Halte Sastra DKS. Isi sms itu malah lebih mengagetkan lagi yakni mendaulat saya untuk menjadi pendamping dalam kegiatan Halte Sastra bulan Agustus 2011 ini.
Ya, saya memang setengah kaget karena tugas pendamping bisa diparalelkan dengan pengulas, pembahas. Apakah dalam kapasitas saya berada di posisi itu? Entahlah. Akan tetapi, tidak tahu mengapa saya juga mengiyakakan saja tawaran Bung Ribut Wijoto ini. Selanjutnya, saya diliputi kebingungan. Saya harus ngomong apa di forum ini. Tugas saya semacam apa? Seterusnya, seterusnya, dan seterusnya. Baiklah, tugas saya hanya sebagai pendamping saja, sedangkan panggung Halte Sastra Agustus 2011 adalah murni milik dua penyair yang tampil pada kesempatan kali ini
***
Dua penyair yang tampil dalam Halte Sastra kali ini adalah Aji S Ramadhan dan Abimanyu Mba Mbung. Dua penyair yang (mungkin) baru memulai ikhtiar untuk mengkhusyuki dunia kepenulisan, puisi pada khususnya. Tentu saja bukan hal mudah untuk menapakai jalur kepenyairan, meski akhir-akhir ini ada kesan mudah untuk memasuki dunia ini. Ya, dunia jejaring sosial, terlebih facebook yang setiap hari menjadi paus sastra dengan menahbiskan sebegitu banyak orang menjadi “penyair”. Dunia kepenulisan pada hakikatnya adalah dunia keras yang menuntut ketahanan luar dalam dari seorang calon penyair. Dari hasrat menggebu-gebu pada awalnya lama kelamaan akan susut dan surut seiring berjalannya waktu. Dunia kepenyairan adalah dunia seleksi alam.
Saya akan kembali pada dua penyair muda ini, dalam hal usia maupun (sekali lagi : mungkin) proses. Seperti ditulis oleh Sabrot D Malioboro dalam pengantar buku Halte Sastra Agustus 2011 bahwa sebagai pelajar SLTA, karya Aji menampakkan kematangan metaphor layaknya penyair senior, sementara Abimanyu memperlihatkan kepekaan perspektif layaknya mahasiwa. Artinya dua penyair ini memang memiliki ikhtiar (semoga ikhtiar yang sungguh-sungguh) dan strategi untuk memasuki dunia kepenyairan dengan kekhasan masing-masing tentunya.
Maka, dengan sangat subjektif saya akan mencoba memasuki puisi dari dua penyair ini. Saya akan mulai dari Aji terlebih dahulu. Mau tak mau saya tak dapat memisahkan Aji dari Mardi Luhung. Ya, Aji memang putra dari Mardi Luhung. Dan mungkin saja, kematangan metaphor seperti yang disebut oleh Sabrot D Malioboro karena persinggungan dengan Mardi. Tapi Mardi adalah Mardi dan Aji adalah Aji. Saya sedang membaca puisi Aji, bukan puisi Mardi. Memang dalam usia yang masih belia, Aji sudah menampakkan kematangan, dari segi metaphor ataupun diksi. Saya pun jadi teringat Sitor Situmorang yang mempertanyakan hubungan usia dengan kepekaan, kematangan puitik seorang penyair dalam menulis puisi.
Puisi-puisinya mampu menjaga jarak dengan kehidupan sehari-hari dan (sekali lagi pinjam diksi Sabrot) dan tidak terpisah dengan lingkungan kesehariannya. Puisi-puisi Aji memang seolah masih menggaungkan liris sebagai salah satu unsurnya. Akan tetapi, liris dalam puisi Aji tidaklah diletakkan sebagai hal utama. Ia ada sebagai pengantar menuju narasi (cerita) yang ingin dibangun oleh Aji. Semisal :   Malam di bundaran bersama pelaut / yang / bersinggah di samping kolam ikan / dengan pancuran cahaya bulan yang / remang. (Pelaut Bersinggah) atau Bukankah angin yang berhembus / dalam jantung berguncang itu / hanyalah penghabisan buat si kusam. (Kembali Mengganggu)
Dalam usianya yang masih belia, Aji mengalami dunia remaja yang tak lazim. Ketaklaziman ini tentu ketaklaziman dalam hal tataran berbahasa yang termanifestasi dalam puisi-puisinya. Mungkin sangat jarang remaja serupa yang mampu menghasilkan diksi seperti aroma angin yang menggantung seribu ombak dalam baskom (Kegetiran Empedu) atau Kepalaku pun seolah pecah dengan tangkainya melambaikan ke arah tubuhku (Pertemuan Satu Menit). Dalam bahasa saya, Aji mengajak kita untuk berkeliling dalam tamasya diksi dan metafora.
Sebagai sebuah narasi, puisi-puisi Aji memang berjalan lebih lambat. Ibarat sebuah gulungan rol film, ia lebih suka untuk berjalan per film. Puisi Aji tidak cepat sebagaimana satu putaran film yang mencoba memperlihatkan satu adegan. Ia lebih gemar menyuguhkan detail-detail kecil, mungkin ada satu dua detail yang sebenarnya tidak perlu. Akan tetapi hal ini bukan masalah karena bisa jadi hal tersebut adalah strategi puitik yang coba ditempuh oleh Aji.
Sebuah puisi yang menggelitik saya adalah puisi yang berjudul “Malam”. Sebagai sebuah peristiwa, gambar yang disajikan sebenarnya cukup sederhana. Ia bercerita mengenai nyamuk yang setiap waktu (malam) memang mengganggu. Namun Aji mengolah peristiwa itu menjadi cukup berjarak. Di mana, ada detail-detail kecil yang mencoba dieksekusi, misalnya pertukaran posisi dengan nyamuk, darah yang berasa gulali, surya (matahari) yang bergelantung di langit-langit rumah, sampai mengubah peristiwa yang sebenarnya menjengkelkan bagi manusia menjadi peristiwa sedekah. Sebuah peristiwa yang sebenarnya akrab dengan kita seolah-olah menjadi peristiwa yang terjadi di dunia lain, berjarak dengan kita.
Pada umumnya, seorang siswa setingkat SLTP atau SLTA (bahkan mahasiswa) terjebak pada judul puisi yang klise, terkesan biasa-biasa saja. Kita akan sering menjumpai judul-judul semacam Matahariku, Terakhir Dariku, Hanya Sebuah Impian pada karya anak-anak SLTP atau SLTA. Beberapa judul puisi Aji juga terjebak pada hal klise semacam ini. Bisa jadi, judul-judul semacam Malam, Dilema memang kurang menggoda, tapi, sekali lagi, isi di dalamnya dapat menyelamatkan saya dari kebosanan. Bila dapat menggali kazanah sastra, baik dari dalam maupun luar negeri, diksi-diksi dan metaphor puisi-puisi Aji niscaya akan dapat mengembangkan diri sehingga nafas yang ia miliki di dunia kepenyairan akan panjang.
Dari dunia tamasya diksi dan metafora ala Aji, saya kemudian berpindah pada puisi-puisi Abimanyu yang terus berteriak-teriak. Benar, dunia Abimanyu adalah dunia mahasiswa, dunia agent of change yang berhadapan dengan sengkarut ketimpangan sosial di berbagai bidang yang sedang dialami oleh bangsa ini. Puisi-puisi Abimanyu tampil tidak berjarak. Aku dalam puisi Abimanyu adalah “aku” biografis yang mencoba menyuarakan kesenjangan di sekitarnya.
Puisi-puisi seperti Pesimis Mahasiswa, Partisipasi Iba, Ayah dan Ibu Tersenyum di Surga, atau Tikus Mati adalah puisi yang memang mencoba bersuara keras bahwa abimanyu berada dalam satu keadaan di mana ia harus bersuara lantang untuk “mengubah” keadaan. Abimanyu tidak banyak mengeksploitasi diksi dan metafora sebagaimana Aji. Puisi-puisi Abimanyu, tampil lugas, seolah-olah keadaan sakit memang harus disuarakan dan diutarakan sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya.
Pilihan Abimanyu untuk berkata terus terang ini sudah tampak dari puisi yang berjudul “Belum Gugur”. Abimanyu telah menunjukkan sikapnya untuk Sajak jujur / Meskipun prematur / Tapi itulah sajakku. Ya, itulah sikap. Ia tidak peduli meskipun sajak itu harus minim metafora, tidak bermain-main dengan imaji dan kata. Bagi Abimanyu puisi adalah sikap dan puisi “Belum Gugur” dapatlah menjadi semacam kredo, jalan masuk bagi kepenyairan Abimanyu.
Tidak hanya berkutat dalam masalah sosial, sikap lugas dan berterus terang juga ditunjukkan dalam puisi-puisi yang bertema cinta. Tak ada lagi yang harus disembunyikan, dibelit-belitkan dalam hubungan antara dua anak manusia sehingga Aku ingin semua tetap basah / Bibir kita / Cinta kita / Rindu kita / Agar semua tetap basah (Bosan). Mungkinkah Abimanyu memang bosan dengan dunia metafora yang memang berbelit dan berkelit itu?
Sepertinya tidak. Puisi Abimanyu yang berjudul Ini Ikrarku terlihat sebagai usaha untuk bermain-main dengan diksi dan metafora. Meskipun tidak selebat Aji, Abimanyu tampil cukup manis dengan seketika kita merangkak / berteduh di bawah kamboja / menghitung bintang / yang gemantung di pucuk dahan. Mungkin, romantisme dapat menjadi pelarian sementara dari ketimpangan serta keperihan yang setiap hari dengan telanjang kita saksikan.
***
Tulisan singkat ini memang hanya mencicipi dan tak bertujuan untuk mengulas tuntas dua penyair muda kita ini. Namun, yang pasti, jalan yang harus mereka tempuh masih sangat panjang dan terjal. Kedasyatan metafora dan diksi yang dimiliki oleh Aji serta sikap tegas terhadap kenyataan ala Abimanyu dapatlah menjadi modal bagi kedua penyair untuk menapaki jalan kepenyairan. Sekian.









*) Tulisan yang ditulis sebagai konsumsi pribadi. Tidak untuk dipublikasikan secara luas, bahkan pada acara Halte Sastra sekalipun.
**) Penikmat sastra dan melestarikan SARBI (Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI