Tahun sudah memasuki paruhnya yang kedua dan aku tetap saja terbang dengan sebilah sayap. Terbang menuju matahari, barangkali. Ketika kadang-kadang kurasa terbangku kian laju, aku meraba-raba punggungku: memang seperti ada setengah sayap sedang tumbuh, tapi aku tak percaya. Itu hanya bayangan tulang belikat belaka, yang hendak meringankan bebanku. Aku harus menemukan sayapku yang satu entah di mana—mungkin di Ubud, Bandiagara atau Cava dei Tirreni.
Ada yang bilang aku terbang menuju masa depan. Tapi kian lama aku terbang, yang kulihat di bawah sana adalah apa-apa yang kian berwarna sepia. Kota-kota, pakaian dan gaun, gedung-gedung, jalan-jalan, rambut perempuan, wajah anak-anak, sekolah-sekolah bagi orang asing, barisan yang mengacungkan panji-panji raksasa—semua kian mirip dengan pemandangan yang dilihat ibu-bapaku, kakek-nenekku, dan penulis tarikh dari masa dulu. Pemandangan yang makin ke sana hanya berwarna hitam-putih belaka.
Kalau pun aku terbang menuju matahari, tubuhku kian dingin belaka. Supaya kau betah memandangku, aku mengganti-ganti sepatu yang kupakai. Misalnya saja Manolo Blahnik. Atau sepatu rombeng yang pernah dipakai Gulliver. Atau sekadar pelepah pisang berbentuk sepatu. Bisa juga aku mampir ke Cibaduyut untuk memesan sepatu yang belum pernah ada di dunia ini. Terkadang aku merampas sepatu Maggie Cheung; aku betah di antara mereka yang sedang mengambil gambar film yang kelak menggunakan lagu Bengawan Solo itu.
Mungkin sayapku yang sebelah harus kucuri dari pangkuanmu. Wahai kau yang pernah kulihat dalam mimpi. Aku pernah membaca sebuah buku filsafat (yang kucuri dari perpustakaan kaum kiri) bahwa kau adalah kembaranku. Ibu kita memisahkan kau dan aku ketika ia harus menikah lagi dengan seorang pemilik sirkus, yang kemudian melatihmu menjadi penjinak harimau. Filosof yang menulis buku itu kini sudah tak menulis lagi; ia membuka toko serba ada; konon ia hampir buta.
Kadang-kadang aku menabrak sesuatu. Ya, sesuatu yang bisa saja kupanggil bulan, bola salju, atau lentera bulat mahaterang—di tengah angkasa yang sunyi, atau di tengah keramaian yang memekakkan. Juga, mungkin sekali, di tengah panggung. Lalu beberapa orang mengepungku, membidikkan galah panjang ke arahku. “Inilah dia yang sudah lama kita cari-cari. Kenapa dia begitu lama menghilang dari cerita?” kata seseorang dari samping panggung. “Lekaslah. Masukkan dia ke dalam adegan ketujuh. Supaya sandiwara kita lekas berakhir.” Aku tahu dia dipanggil sutradara.
Tahun baru saja melewati paruhnya yang pertama, dan aku tetap saja terbang dengan sebilah sayap belaka. Engkau tengah menanam sayapku yang sebelah di tempat lain, bukan? Mungkin kelak, jika apa yang kautanam itu sudah menjadi belantara sayap, barulah aku akan menemukanmu. Percayakah kau bahwa aku terbang menuju matahari? Tapi percayalah, ketika aku singgah di Tiwanaku atau Ragajampi, seseorang memanggilku, “Ikarus! Ikarus!”
diposkan oleh Nirwan Dewanto
Komentar