Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Dody Kristianto di Jawa Pos, 31 Januari 2010

Para rekan yang sebelumnya telah membaca blog ala Dody Kristianto, sebelumnya mohon maaf bila dalam waktu lebih dari satu tahun ini saya sangat jarang mengisi laman saya tercinta ini dikarenakan sibuk dan terganggu oleh berbagai aktivitas. Untuk itulah, saya mencoba aktif kembali, minimal sebagai awal mula, saya mencoba mendokumentasikan puisi-pusi saya yang berhasil muat di media sampai September 2010 ini.


Hikayat Penebang


kami memilah sebatang demi sebatang kayu

di hadapan kami, tak peduli kelak mereka menjelma

sebatang korek api

-- yang memberi kami sepercik

jejarum api nan menyambar segala tubuh, atau malah

berubah musim paling terang di antara cecabang hujan

yang tak kunjung kami rasakan

-- atau selembar kertas--

tempat sajak kelak dilahirkan, tempat kata-kata kami

biasa berpinak, berbiak, bergerak mendesak tatap demi tatap

yang biasa memandang huruf, kata, dan kitab yang kian alpa

kami lantunkan--

tapi sungguh, kami tak kenal sajak

kami hanya mengenal kampak yang tak mampu membedakan

batang leher dan urat kayu: wujud yang sama,

wujud yang sekejap menipu mata

2009

---

Madah Orang Kusta

tuan, kami mudah terluka. kami selalu mendengar

kata-kata dusta: kata yang perlahan merasuk dalam tubuh kami

menggeliat di lingkar kulit kami, lantas meminta lepas,

perlahan menjelma burung terbang ke ketinggian

2009

---

Doa tentang Rumah

jendela :

kami lebih senang memandangi gambar rembulan

tak alpa kami aturkan salam baginya maupun bagi

semua pengelana yang melenggang di depan altar

dari doa mereka, kami menyampaikan warna hati kami

yang tenang, walau sesekali tatap kami dihadang suram

pintu:

dua langkah pejalan, sembari mereka menerka

mana awal atau akhir menuju jantung kami

sebab dari mereka, kata-kata atau mantra dusta

kerap meluncur, memencar, berpendar

kami tak ingin mantra-mantra itu bertebar,

membisiki telinga para bayi yang dibalut lelap

kami ingin menjaga senyap di penjuru ruang

atap:

terkadang kami bersahabat dengan hujan,

namun tak jarang kami menghalang kelebat air

yang lupa pada ketinggian itu

sungguh, kami ingin terbebas dari jejarum tajam

matahari yang hendak menjeram lembut matahati

kami. sebab kami hanyalah sang penghadang,

yang menyelubung mimpi tuan dan puan kami

beranda:

selamat datang, selamat jalan bagi tapak

yang senantiasa bertandang. salam sekian

salam bagi sekian bebayang yang tak bosan

menjadi penampakan bagi hati kami:

-kami selalu terbuka bagi jiwa-jiwa kelaparan

atau semua perasaan yang gentayang-

2009

---

Mantra Pengelana

tuan, buka pintu, kami pengelana kelaparan. berabad sudah kami

berjalan. tetapak kami kuat menjejak, tapi tak kunjung kami jumpai

ia, sang penunggu-yang menunggu kami di kala bulan purna tiba.

kami kelaparan tuan, setiap pintu yang kami datangi menutup diri,

setiap mata yang menatap kami menaruh benci. bahkan bebayang kami

kian tak sudi menguntit tubuh lusuh ini. buka pintu tuan, kami pengelana

yang lupa jalan pulang. segala rumah nampak sama dalam pandang kami.

semua peta jalan kami menjelma sepi. belukar duri pelan membebat panjang

langkah kami. sebab kami sudah alpa pada wajah kami. kami sudah lupa

nama kami. kami tak ingat lagi siapa kami. tuan, buka pintu tuan, kami

pengelana kelaparan

2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI