Musim Kaguya
kelak kita bersama merangkum setubuh, musim keruh,
kotakota rawan nan tergelar di kesintalan tubuh para perusuh
dan kupukupu, tak harus kita artikan, selain dalamnya
kedalaman gelombang rambut – rambut para mambang-
di mana kerap kita impikan, bagaimana sepasang lengan kita
berubah tualang, untuk kemulusan dan jejak nun panjang
melebihi patahan sayang, kita dendamkan hujan dari dendang
kaum pejalan paling bohemian
musim hujan tumbuh
di atas kepalamu
bintangbintang hilang
dan luka
kehendak daun lanjut usia
gugur
jatuh pada kerekahan
tanah resah
segera, mimpi akan berakhir
bagai bulan sabit mengawang
sepanjang gigil musim
sungaisungai akan terbelah
melayari duka yang tumbuh
dari setiap ayunan gerimis
yang menisik helai rambutmu
2010
Puan Bintang
aih, lagu tak malam, kotakota pindah dalam kamar,
Puan, aku nyanyi ratusan rekuim pembebasan,
perlambang segenap hujan mengaliri sungai bimbang,
juga musim mulai rebah, jatuh untuk kebulatan dadamu
yang minta ngambang
2010
Gladak Grobogan
tidak ada pepohon beratus jam
tidak ada. kapalkapal harapan
telah dikaramkan,
kotakota kenang ingin disuramkan
seseram mimpi perempuan
minta penaklukan, begitu kudus
nan disakralkan
lalu bagai gelombang, selalu tanpa nama
gebalau segenap risau
membentangkan angin
keinginan kotakota direndam hujan,
selalu alpa rintihan. tapi kotakota bukan jam,
bukan kapal, bukan harapan, bukan gelombang
yang mengantar keisengan
kanak ke lembah pekuburan
2010
Gladak Kembar
Kota kematian, hujan melanturkan dirinya
entah akan ke mana. Para hantu jalan berjalan,
perlahan, menjelma kota baru bagi tubuhnya
: segera kami bertelanjang ke atas, ratusan bulan
di udara menandak puisi kelahirannya.
Kunang pucat pasi menggelar geram tarian
untuk kota baru-kotakota ingin bayang jasadnya
lepas dan telanjang
2010
Biodata
Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus
Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).
Komentar