Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Dody Kristianto di Jurnal Bogor, 22 Agustus 2010

Kali ini adalah puisi saya yang termuat pada Jurnal Bogor edisi 22 Agustus 2010. Saya sendiri sebenarnya tak tahu bila puisi-puisi ini termuat. maklum, ini adalah edisi puisi yang saya kira masih mengandung kegelapan yang tak terampuni...sungguh! saya baru tahu bila termuat dari sms Bang Dony PH, selaku redaktur sastra Jurnal Bogor. Puisi-puisi saya ditampilkan berbarengan dengan puisi-puisi Maulana Satriya Sinaga. Selamat menikmati.

Musim Kaguya

kelak kita bersama merangkum setubuh, musim keruh,
kotakota rawan nan tergelar di kesintalan tubuh para perusuh

dan kupukupu, tak harus kita artikan, selain dalamnya
kedalaman gelombang rambut – rambut para mambang-
di mana kerap kita impikan, bagaimana sepasang lengan kita
berubah tualang, untuk kemulusan dan jejak nun panjang

melebihi patahan sayang, kita dendamkan hujan dari dendang
kaum pejalan paling bohemian

2010

Musim Hujan Tumbuh

musim hujan tumbuh
di atas kepalamu
bintangbintang hilang
dan luka
kehendak daun lanjut usia
gugur
jatuh pada kerekahan
tanah resah
segera, mimpi akan berakhir
bagai bulan sabit mengawang
sepanjang gigil musim
sungaisungai akan terbelah
melayari duka yang tumbuh
dari setiap ayunan gerimis
yang menisik helai rambutmu

2010

Puan Bintang

aih, lagu tak malam, kotakota pindah dalam kamar,
Puan, aku nyanyi ratusan rekuim pembebasan,
perlambang segenap hujan mengaliri sungai bimbang,
juga musim mulai rebah, jatuh untuk kebulatan dadamu
yang minta ngambang

2010

Gladak Grobogan

tidak ada pepohon beratus jam
tidak ada. kapalkapal harapan
telah dikaramkan,
kotakota kenang ingin disuramkan
seseram mimpi perempuan
minta penaklukan, begitu kudus
nan disakralkan
lalu bagai gelombang, selalu tanpa nama
gebalau segenap risau
membentangkan angin
keinginan kotakota direndam hujan,
selalu alpa rintihan. tapi kotakota bukan jam,
bukan kapal, bukan harapan, bukan gelombang
yang mengantar keisengan
kanak ke lembah pekuburan

2010

Gladak Kembar

Kota kematian, hujan melanturkan dirinya
entah akan ke mana. Para hantu jalan berjalan,
perlahan, menjelma kota baru bagi tubuhnya

: segera kami bertelanjang ke atas, ratusan bulan
di udara menandak puisi kelahirannya.

Kunang pucat pasi menggelar geram tarian
untuk kota baru-kotakota ingin bayang jasadnya
lepas dan telanjang

2010

Biodata
Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus
Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI