Denyut kota tiba-tiba mendadak hitam. Kota berubah dengan alir mati mengikut alur dari cerita seorang pengarang yang memotong senja. Ya, semenjak senja dipotongnya, tanganku tak lagi mampu membedakan mana kanan dan kiri. Mataku sering kali ketakutan, mengintip mataku sendiri. Serta bayanganku, yang acapkali terlepas kabur diburu oleh jejak kegelapan. Aneh, bukankh bayang-byangku sendiri adalah representasi dari kegelapan?
Tapi tidak demkian dengan sebuah keluarga. Atau lebih tepat tetangga berselisih dua rumah dari rumahku. Mereka begitu hidup. Kehidupan mereka begitu malam. Pernah suatu ketika aku melihat mereka sekeluarga berami-ramai mencopot otak mereka. Hii... . tapi itu dua bulan lalu ketika aku kali pertama tiba di kota ini, untuk mengikuti hilangnya senja yang dipotong oleh seorang pengarang. Ah, pengarang yang iseng, apa yang ada dalam pikirannya? Aku tak tahu. Mungkin juga sama dengan pikiranku yang anehnya juga ingin memotong senja.
Pun aku juga kerap berkirim surat eleektronik untuk si pengarang.
”Pengarang yang terhormat, kiranya akupun juga hendak memotong senja, sama dengan alur cerita yang kau bangun. Hai, mengapa engkau selalu mendahuluiku? Tidak hanya itu, kau bahkan menyalipku dengan sedan silvermu yang kutahu terdapat berkas goresan pada pintu sebelah kanan. Dan kalau kuingat, itu terjadi ketika aku ingin menangkap dan membingkai senja. Kau terlalu egois. Betapa senja itu telah engkau kantongi. Aku cuma bisa menengok, melongok ke dalam jantungku. Tidak, tak cuma jantungku. Bahkan juga mataku, telingaku, lidahku. Juga kutengok jauh ke dalam otakku, kubongkar. Tanpa senja tentunya”.
Sejak itu, senja jadi semacam obrolan di kota ini. Bagiku senja sudah menjelma hantu dan si pengarang asyik masyuk memainkan senja di kantongnya. Setiap sore, kujumpai orang-orang mengais bintang. Bintang? Lau apa hubungannya dengan senja. Sepertinya tidak ada dan lucu sekali. Sebuah rumah persewaan kunang-kunang di buka sebagai pengganti rasa penasaran terhadap senja. Tapi aneh sekali, kota yang tadinya metropolitan ini jadi kota yang kehilangan senja. Senja yang aneh, sudah jadi trend di kota kasihan ini.
Sementara aku sendiri tak begitu percayakau semudah itu memunculkan senja sebagai cerita berbingkai dalam kumpulan ceritamu. Mungkin juga cerita-ceritamu sudah menjelma novel kecil. Novel yang menculik senja. Kau masih saja asyik memainkan senja di kantongmu. Tak perduli betapa kau dikejar oleh polisi, tentara, helikopter yang siap memburumu di manapun kau berada, sampai di got gelap sekalipun. Dengan segala hormat, aku pun mulai putus asa. Betapa rumahku kini panas, menara-menara patai, tempat persinggahanku ketka hari sore tak lagi ceria. Semua karena keegoisanmu yng memotong senja dalam ceritamu. Untuk pacarmukah? Egois sekali.
Untuk sekali ini, aku pasrah, takkan kukejar senja yang sudah kau kantongi. Biar kau peluk senja sebagai bantal, gulingmu atau juga boneka yang menemani perjalananmu. Biar aku lupakan senja. Atau juga menemukan senja baru. Senja yang tentunya belum sempat kau potong dan tersimpan dalam kantongmu. Aku tak mau untuk kali kedua kau dahului. Tentu aku akan mencari senjaku sendiri. Dan aku ingin sekali
***
Lalu mulailah kucari senja. Kujejaki dalam mimpiku. Pertama, aku penasaran pada keluarga yang begitu hidup, begitu malam. Aku curiga barangkali mereka menyimpan senja. Barangkali juga mereka percik senja. Tapi entah, otakku juga turut berseri saat memandang mereka. Rambut-rambut dari kepalaku mulai rontok, sampai kepalaku berkilat seperti halnya senja. Tidak. Ini bukan senja yang kucari. Ini bukan senja. Ini aneh.
Sekejap kemudian mereka kuhindari. Mereka aneh, bahkan sangat aneh. Dan tidak mungkin senja yang damai kutemukan pada keluarga seaneh itu. Ke mana lagi harus kutemukan senja? Semoga aku beruntung saat terlempar dalam mimpiku. Bukankah mimpiku ini masih belum terjamah? Belum tersentuh, sekalipun oleh diriku. Aku mulai bergerak menyusuri tepian pantai. Waktu masih menunjukkan pukul 15.00. masih ada harapan. Dan harapan itu memang ada dalam pikiranku. Seperti juga senja yang ada di depanku, yang selama ini kucari dan kuburu.
Memang indah, memang anggun senja sore ini. Sekian bulan sudah aku tidak menikmati senja. Akhirnya tiba juga senja yang pulas. Tapi tiba-tiba sekejap saja pantai ini didatangi satu persatu penduduk kota. “Hei, ini senjaku. Ini mimpiku!” teriakku pada mereka. Mereka tak perduli. Mereka tak mendengarku. Mereka makin asyik saja menikmati senja yang sekian lama hilang dalam hidup mereka. Mereka mengabaikanku. Tapi ini mimpiku, tentu hanya aku yang berhak atas senja yang selama ini kucari.
Namun kami semua terkejut. Senja tiba-tiba merayap hilang dan seperti terpotong. Kami semua gugup, berteriak resah. Tak terkecuali aku sang pemilik senja. “Hei, kemana senjaku? Apa yang klian lakukan pada senjaku?” tanyaku. Mereka semua panik. Mereka berhamburan semburat. “Senja hilang, senja hilang lagi!” teriak mereka. Mereka tak perduli pada pertanyaanku.
Dan aku melihat sesosok yang kukenal. Dengan sedan silver, dengan bekas goresan pada pintu sebelah kanan. Ah, dia si pencuri senja, dia si pengarang. “Oi, tangkap dia!” orang-orang berteriak marah. Si pengarang tancap gas bersama senja yang sudah dikantonginya. Para penduduk kota tak ketinggalan mengejarnya. Aku langsung menaiki motorku. Kukebut dengan harapan aku bisa mengejar si pengarang. Semua yang ada di kota ini dikerahkan. Anjing-anjing pelacak, polisi, tentara, helikopter, pesawat pembom. Seluruhnya beramai-ramai mengejar si pencuri senja. Malam ini headline pada acara televisi, radio, koran, majalah, serta jurnal-jurnal adalah “SI PENCURI SENJA BERAKSI LAGI”. Kota kembali murung.
Si pengarang terus tancap gas dengan senja di kantongnya. Tak perduli bahwa seluruh kota mengejarnya. Aku pun tak kalah giat memburunya. Motorku terus kupacu, melewati jalan-jalan, gang-gang demi kudapatkan senjaku yang hilang. Tapi pengarang itu begitu lihai. Sorotan pesawat dan helikopter berhasil dilewatinya. Begitu juga dengan endusan anjing pelacak yang bisa dikelabui. Ia bisa tenggelam. Ia ditelan waktu. Aku kehilangan jejaknya. Ia hilang. Ia seperti pesulap yang dengan luar biasa menghilangkan menara tertinggi di dunia. Bahakan lebih dari itu. Ia adalah pencuri yang licik. Ia adalah pengarang yang luar biasa.
***
Malam ini kota kembali ramai. Senja yang hilang. Kota yang senyap. Penduduk yang histeris kehilangan senja. Mereka masih mencari di setiap sudut kota di bawah kolong jembatan, gorong-gorong maupun terminal bawah tanah. Tapi, aku sudah lelah. Kepalaku penat. Rambutku mulai berjatuhan. Berita-berita di televisi masih serius mengabarkan hilangnya senja. Aku mulai tidak kuasa menahan rasa lelahku. Aku mengantuk. Aku ingin tidur. Namun, bukankah aku sedang bermimpi? Dan kenapa aku harus tertidur dalam mimpiku? Bukannkah aku harus segera mencari senjaku yang hilang?
Tiba-tiba aku menerima sebuah surat elektronik. Ternyata berasal dari si pengarang. Isinya berbunyi:”Saudaraku, terima kasih engkau mau mengalah memberikan senja dalam mimpimu untuk ceritaku. Aku sebenarnya tidak mau melakukan hal ini. Pun, aku juga bukan orang egois. Aku tidak akan memotong senja hanya untuk pacarku. Aku cuma ingin membingkai cerita ini. Teruslah memburu senja. Kelak kita akan bertemu setelah kau temukan senjamu. Biar cerita ini terus mengalir dan membangun senja dalam dirimu. Teruslah mencari senja. THANKS, PENGARANG”. Sontak kubanting layar komputer sampai pecah berkeping-keping dan dari pecahan-pecahan itu terpercik bunga listrik.
“Kurang ajar!”
Komentar