“Mencari Identitas” melalui Tanda
Oleh: Ririe Rengganis, M.Hum.
Karya sastra, terutama puisi cenderung menggunakan bahasa yang sarat dengan penggunaan tanda. Dan, untuk memahami tanda-tanda yang ada dalam puisi itu pembaca harus memiliki kompetensi sastra. Kompetensi sastra ini diperlukan untuk memahami ketidakgramatikalan puisi, di mana puisi tidak memiliki ciri-ciri linguistik (Riffaterre). Kompetensi sastra yang harus dimiliki oleh pembaca/ penikmat puisi juga harus disesuaikan dengan konvensi genre yang digunakan untuk menulis karya sastra. Konvensi puisi akan berbeda dengan konvensi prosa. Dengan bekal pemahaman terhadap kompetensi sastra dan konvensi genre sastra tersebut, penikmat puisi (seperti saya) mencoba memahami tanda-tanda yang hadir dalam “mini” antologi puisi ini; yang ditulis oleh Fauzi, Arfan, Dody, dan Guntur.
Fauzi, Arfan, Dody, dan Guntur adalah sekelompok orang muda yang sedang dalam masa “mencari identitas”. Identitas merupakan sesuatu yang absurd; mudah berubah bentuk dan labil. Dan, mereka mencari identitas melalui tanda-tanda dalam puisi-puisi mereka. Pemaknaan tanda dalam puisi-puisi mereka juga bergantung pada konvensi pembacaan yang dilakukan oleh pembaca/ penikmatnya.
Seperti halnya kisah Oedipus dalam mitologi Yunani, yang begitu mengagumi sosok sang Ibu. Dalam puisi Rumah Oedipus misalnya, penulis pun berusaha menunjukkan kekaguman dan rasa hormat pada Sang Ibu. Rasakan saja kekaguman dan rasa hormat Fauzi dalam baris-baris puisi berikut:
Tetangga seperti duri dan bapak layaknya ulat
urung menjejak dan mengepakkan sayap,
kupu-kupu yang adalah ibu.
Seperti buku, sayapku menantang ngilu
yang rekat di selendang ibu.
Rumah terbujur antara masa lalu,
Ingin kukubur sedalam waktu
dengan bilur telur yang runtuh
dari kelopak dan teratur jatuh ke dalam riak,
adalah alir ibuku dan rangkak anganku
Dalam puisi Laki-laki itu Benar-benar Jatuh, Fauzi berusaha menyampaikan simpati atas kegagalan yang dialami oleh Sang Karib: Arfan. Ia bahkan tak peduli apakah kegagalan itu terjadi karena memang suratan nasib atau kebodohan Sang Karib; ia tetap bersimpati. Simaklah simpati itu dalam baris-baris puisi berikut:
Laki-laki tu benar-benar jatuh
padahal langkah ke depannya tinggal sedepa
meski jalan yang lain masih menyisakan tanda tanya
……………………………………………………………..
karena muslihat di kepalanya hanya sekelebat.
Begitu angkuh hingga ia benar-benar jatuh
ketika harus mendapatkannya
Sesuatu telah membuatnya buta setengah mata
maka ia merapal okta langkah-langkah
seperti mewiridkan nama-nama yang pernah menjumpainya
………………………………………………………………
atau peraba telah melenyapkan dukanya
sebelum ia benar-benar jatuh tersungkur
seperti pemikir yang beralih pada bidak catur
Selanjutnya, tanda-tanda yang dihadirkan Arfan dalam puisi-puisinya cenderung digunakan untuk menyampaikan duka dan luka. Duka dan luka yang menimbulkan kesunyian dan kesenyapan. Citraan demikian hadir dalam baris-baris puisi Senja dan Gerimis berikut:
Bahkan jika haus menusuk tenggorokanmu, maka akan kubasuh
dari tetes embun yang menyelimuti pucuk-pucuk daunmu. Juga dari kakimu.
walau punggung ini kelu, sampai malam
menusuk sumsum tulang yang membiru
…………………………………………………
walau bisu dan sepi, tetap aku setia
seperti kesetiaan malam yang menyapa cahaya fajar pagi
Duka dan luka dalam puisi di atas muncul dari suatu kesetiaan dan pengorbanan, yang sepertinya sia-sia. Citraan duka dan luka yang dirasakan hingga membuatnya pasrah pada Tuhan sebagai Sang Pencipta, Sang Pengatur Nasib umat manusia. Kepasrahan itu muncul dalam puisi Displai Senja berikut:
Sebuah kenangan adalah display senja
yang telah tertinggal
di antara dada bumi,
namun semburat di antara sayatan
membentuk imaji seorang penakluk
……………………………………….
Jejak memang bukan sebuah narasi.
Esok yang terbayang mulai lumpuh
di antara tangan yang mulai menengadah
Guntur menghadirkan tanda yang berbeda dalam puisi-puisinya. Beraneka ragam, dengan satu benang merah: “keinginan untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya”. Simak saja bagaimana keinginan tersebut dalam baris-baris puisi Aji-Aji Semu berikut:
……………………………………………….
gada mulai condong kepala
tanpa sempat ceritakan sidratulmuntaha
menggelembungkan jutaan riang maya
satukan laras senapan pada satu titik
untuk hara-kiri
di atas bara sekam
yang mulai diredam hujan renyai
dosa-dosa bersalto
iringi langkah mantap
gunakan rasa respek
untuk berjibaku di antara dunia
……………………………………………….
Selain itu, dalam puisi Kunang-kunang Pembawa Argon Cinta, Guntur mencoba menyampaikan keinginannya untuk menjadi insan yang lebih baik dengan menyadari bahwa dirinya hanya “manusia biasa”, yang penuh dosa dan begitu dekat dengan kematian. Simaklah keinginan itu dalam baris-baris puisi berikut:
……………………………………………………..
sucimu, menggelepar rindu di malam
mendenahkan kilat
langkahi bumi-langit
dan menggali bahala
daun-daun tidur
hentikan urat nadi dalam cahaya
saat bisik menyusup mata
…………………………………………………….
aku tak lagi jernih, takkan pernah
tertelan hilal ketika dirimu hinggap
hanya sebagai gelandang biasa
yang dempet dengan ujung mati
Tanda sebagai “sarana komunikasi” dengan lingkungan sekitar dipilih Dody dalam puisi-puisinya. “Sarana komunikasi” ini digunakan untuk menggambarkan berbagai hal yang dirasakan dalam dirinya kepada lingkungan sekitar, di antaranya adalah kekaguman dan kekecewaan. Kekaguman sekaligus kekecewaannya pada laut dicurahkan dalam puisi Aku Amat Mencintai Laut berikut:
karena aku anak-anak, aku amat mencintai laut
seperti ketebalan ombak yang bergulung ke tepian
………………………………………………………….
maka pada jalaku senantiasa kubayangkan
tubuh tenggelam
agar esok detak jantungku setia mengambang
mengayun di antara gelombang dan barisan udang
…………………………………………………………
lihatlah kesakitanku,
kau akan berpedang duri ikan
memakai baju amis yang dibuang oleh keangkuahan
“Komunikasi” lain yang dilakukan Dody untuk menggambarkan protes terhadap institusi pendidikan; bagaimana institusi pendidikan hanya mampu menciptakan “manusia-manusia absurd”. Protes itu digambarkan Dody dalam puisi Kelas (2) berikut:
kelas ini membuat mataku jadi pejalan
pandangnya menghempasku dari keseharian
membuatku jauh dari peradaban
pada lampu binar, kulupakan bahasa hujan
anggota tubuhku berteriak dalam ruang kekosongan
sampai kursi-kursi mengepungku
mencuri jalan pulangku yang berliku
lebih kelam dari kuterjemahkan pesta semalam
Dari keempat orang muda yang sedang “mencari identitas” ini, saya (sebagai penikmat puisi) dapat belajar begitu banyak hal; dari sisi dan pandangan berbeda, melalui tanda-tanda yang mereka hadirkan. Mereka berusaha “mencari identitas” untuk dapat diterima di lingkungan mereka; lingkungan yang telah membesarkan nama mereka. Entah perjuangan “mencari identitas” yang mereka lakukan ini sampai di titik mana: zenith atau nadir. Selamat berjuang, Sobat !!! Semoga berhasil menemukan “pencarian” kalian.
-- o0o --
Oleh: Ririe Rengganis, M.Hum.
Karya sastra, terutama puisi cenderung menggunakan bahasa yang sarat dengan penggunaan tanda. Dan, untuk memahami tanda-tanda yang ada dalam puisi itu pembaca harus memiliki kompetensi sastra. Kompetensi sastra ini diperlukan untuk memahami ketidakgramatikalan puisi, di mana puisi tidak memiliki ciri-ciri linguistik (Riffaterre). Kompetensi sastra yang harus dimiliki oleh pembaca/ penikmat puisi juga harus disesuaikan dengan konvensi genre yang digunakan untuk menulis karya sastra. Konvensi puisi akan berbeda dengan konvensi prosa. Dengan bekal pemahaman terhadap kompetensi sastra dan konvensi genre sastra tersebut, penikmat puisi (seperti saya) mencoba memahami tanda-tanda yang hadir dalam “mini” antologi puisi ini; yang ditulis oleh Fauzi, Arfan, Dody, dan Guntur.
Fauzi, Arfan, Dody, dan Guntur adalah sekelompok orang muda yang sedang dalam masa “mencari identitas”. Identitas merupakan sesuatu yang absurd; mudah berubah bentuk dan labil. Dan, mereka mencari identitas melalui tanda-tanda dalam puisi-puisi mereka. Pemaknaan tanda dalam puisi-puisi mereka juga bergantung pada konvensi pembacaan yang dilakukan oleh pembaca/ penikmatnya.
Seperti halnya kisah Oedipus dalam mitologi Yunani, yang begitu mengagumi sosok sang Ibu. Dalam puisi Rumah Oedipus misalnya, penulis pun berusaha menunjukkan kekaguman dan rasa hormat pada Sang Ibu. Rasakan saja kekaguman dan rasa hormat Fauzi dalam baris-baris puisi berikut:
Tetangga seperti duri dan bapak layaknya ulat
urung menjejak dan mengepakkan sayap,
kupu-kupu yang adalah ibu.
Seperti buku, sayapku menantang ngilu
yang rekat di selendang ibu.
Rumah terbujur antara masa lalu,
Ingin kukubur sedalam waktu
dengan bilur telur yang runtuh
dari kelopak dan teratur jatuh ke dalam riak,
adalah alir ibuku dan rangkak anganku
Dalam puisi Laki-laki itu Benar-benar Jatuh, Fauzi berusaha menyampaikan simpati atas kegagalan yang dialami oleh Sang Karib: Arfan. Ia bahkan tak peduli apakah kegagalan itu terjadi karena memang suratan nasib atau kebodohan Sang Karib; ia tetap bersimpati. Simaklah simpati itu dalam baris-baris puisi berikut:
Laki-laki tu benar-benar jatuh
padahal langkah ke depannya tinggal sedepa
meski jalan yang lain masih menyisakan tanda tanya
……………………………………………………………..
karena muslihat di kepalanya hanya sekelebat.
Begitu angkuh hingga ia benar-benar jatuh
ketika harus mendapatkannya
Sesuatu telah membuatnya buta setengah mata
maka ia merapal okta langkah-langkah
seperti mewiridkan nama-nama yang pernah menjumpainya
………………………………………………………………
atau peraba telah melenyapkan dukanya
sebelum ia benar-benar jatuh tersungkur
seperti pemikir yang beralih pada bidak catur
Selanjutnya, tanda-tanda yang dihadirkan Arfan dalam puisi-puisinya cenderung digunakan untuk menyampaikan duka dan luka. Duka dan luka yang menimbulkan kesunyian dan kesenyapan. Citraan demikian hadir dalam baris-baris puisi Senja dan Gerimis berikut:
Bahkan jika haus menusuk tenggorokanmu, maka akan kubasuh
dari tetes embun yang menyelimuti pucuk-pucuk daunmu. Juga dari kakimu.
walau punggung ini kelu, sampai malam
menusuk sumsum tulang yang membiru
…………………………………………………
walau bisu dan sepi, tetap aku setia
seperti kesetiaan malam yang menyapa cahaya fajar pagi
Duka dan luka dalam puisi di atas muncul dari suatu kesetiaan dan pengorbanan, yang sepertinya sia-sia. Citraan duka dan luka yang dirasakan hingga membuatnya pasrah pada Tuhan sebagai Sang Pencipta, Sang Pengatur Nasib umat manusia. Kepasrahan itu muncul dalam puisi Displai Senja berikut:
Sebuah kenangan adalah display senja
yang telah tertinggal
di antara dada bumi,
namun semburat di antara sayatan
membentuk imaji seorang penakluk
……………………………………….
Jejak memang bukan sebuah narasi.
Esok yang terbayang mulai lumpuh
di antara tangan yang mulai menengadah
Guntur menghadirkan tanda yang berbeda dalam puisi-puisinya. Beraneka ragam, dengan satu benang merah: “keinginan untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya”. Simak saja bagaimana keinginan tersebut dalam baris-baris puisi Aji-Aji Semu berikut:
……………………………………………….
gada mulai condong kepala
tanpa sempat ceritakan sidratulmuntaha
menggelembungkan jutaan riang maya
satukan laras senapan pada satu titik
untuk hara-kiri
di atas bara sekam
yang mulai diredam hujan renyai
dosa-dosa bersalto
iringi langkah mantap
gunakan rasa respek
untuk berjibaku di antara dunia
……………………………………………….
Selain itu, dalam puisi Kunang-kunang Pembawa Argon Cinta, Guntur mencoba menyampaikan keinginannya untuk menjadi insan yang lebih baik dengan menyadari bahwa dirinya hanya “manusia biasa”, yang penuh dosa dan begitu dekat dengan kematian. Simaklah keinginan itu dalam baris-baris puisi berikut:
……………………………………………………..
sucimu, menggelepar rindu di malam
mendenahkan kilat
langkahi bumi-langit
dan menggali bahala
daun-daun tidur
hentikan urat nadi dalam cahaya
saat bisik menyusup mata
…………………………………………………….
aku tak lagi jernih, takkan pernah
tertelan hilal ketika dirimu hinggap
hanya sebagai gelandang biasa
yang dempet dengan ujung mati
Tanda sebagai “sarana komunikasi” dengan lingkungan sekitar dipilih Dody dalam puisi-puisinya. “Sarana komunikasi” ini digunakan untuk menggambarkan berbagai hal yang dirasakan dalam dirinya kepada lingkungan sekitar, di antaranya adalah kekaguman dan kekecewaan. Kekaguman sekaligus kekecewaannya pada laut dicurahkan dalam puisi Aku Amat Mencintai Laut berikut:
karena aku anak-anak, aku amat mencintai laut
seperti ketebalan ombak yang bergulung ke tepian
………………………………………………………….
maka pada jalaku senantiasa kubayangkan
tubuh tenggelam
agar esok detak jantungku setia mengambang
mengayun di antara gelombang dan barisan udang
…………………………………………………………
lihatlah kesakitanku,
kau akan berpedang duri ikan
memakai baju amis yang dibuang oleh keangkuahan
“Komunikasi” lain yang dilakukan Dody untuk menggambarkan protes terhadap institusi pendidikan; bagaimana institusi pendidikan hanya mampu menciptakan “manusia-manusia absurd”. Protes itu digambarkan Dody dalam puisi Kelas (2) berikut:
kelas ini membuat mataku jadi pejalan
pandangnya menghempasku dari keseharian
membuatku jauh dari peradaban
pada lampu binar, kulupakan bahasa hujan
anggota tubuhku berteriak dalam ruang kekosongan
sampai kursi-kursi mengepungku
mencuri jalan pulangku yang berliku
lebih kelam dari kuterjemahkan pesta semalam
Dari keempat orang muda yang sedang “mencari identitas” ini, saya (sebagai penikmat puisi) dapat belajar begitu banyak hal; dari sisi dan pandangan berbeda, melalui tanda-tanda yang mereka hadirkan. Mereka berusaha “mencari identitas” untuk dapat diterima di lingkungan mereka; lingkungan yang telah membesarkan nama mereka. Entah perjuangan “mencari identitas” yang mereka lakukan ini sampai di titik mana: zenith atau nadir. Selamat berjuang, Sobat !!! Semoga berhasil menemukan “pencarian” kalian.
-- o0o --
Komentar