Langsung ke konten utama

Gulita

cerpen: Eko Darmoko

Seratus tahun adalah waktu yang lama untuk sebuah penantian.

Pada tahun 1900 sebuah koran terbitan Nederlandsch Indie telah mengabarkan tentang gejalah alam yang aneh. Yakni suatu saat nanti bumi akan dihimpit oleh tiga matahari yang datang dari galaksi lain. Jadi kelak bumi akan mempunyai empat matahari. Dan dapat dipastikan temperatur bumi akan sangat panas, selain itu yang lebih parah lagi adalah bahwa di bumi tidak akan terjadi malam, yang hadir hanya siang saja. Rotasi bumi pada porosnya tidak akan mempengaruhi terjadinya siang dan malam. Yang lebih seram lagi, keempat matahari itu akan berbalik melakukan revolusi terhadap bumi. Menjadikan bumi sebagai pusat tata surya.

Berita ini ditulis oleh pemuda pribumi, namanya Sutole, seorang ahli mistik dan astronomi. Pada saat itu namanya masih belum banyak dikenal oleh khalayak umum. Nama Sutole berada dalam bayang-bayang nama besar Edward Douwes Dekker alias Multatuli, Herman Willem Daendels, dan Van de Bosch. Sedangkan di kalangan pribumi namanya tergeser oleh pamor Kartini dan Diponegoro. Sebenarnya tulisannya dalam koran itu hanya berupa ramalan saja. Namun kekonyolan (pada mulanya dianggap sebagai kekonyolan) ramalan itu telah membuat cemas seluruh lapisan masyarakat; rakyat biasa (pribumi), petinggi pribumi, petinggi kompeni, dan juga telah membuat cemas seluruh penduduk bumi. Sebab tulisan itu juga diberitakan hampir ke segala penjuru dunia. Karena tulisannya, Sutole mendapatkan kecaman dari dunia lokal maupun dunia internasional. Sutole dicap sebagai ‘pribumi sinting.’ Galileo pun tak berani membuat ramalan seperti itu. Dan karena ulahnya, hukum internasional memutuskan bahwa Sutole harus dihukum mati karena telah menyebarkan fitnah dan membuat panik seisi bumi.

Untuk mendapatkan kejelasan tentang berita itu, kurang-lebih beginilah bunyi ramalan Sutole:

kelak akan terjadi panas dan terang yang begitu dahsyat yang menimpa bumi. Tiga matahari yang datang dari galaksi lain ditambah satu matahari lama akan mengapit bumi, dan memutarinya. Semua itu terjadi akibat kutukan yang harus diterima penduduk bumi, lantaran sikap yang tidak berterima kasih atas semua yang diberikan oleh perut bumi. Malahan orang-orangnya saling tindas-menindas untuk mendapatkan sesuatu yang tersimpan dalam perut bumi. Bumi benar-benar akan panas dan terang, yang ada hanya siang. Malam dan gelap-gulitanya tidak akan muncul. Datangnya masa itu tidak lama lagi. Dan sebagai kabar baiknya, kejadian itu akan terjadi kurang lebih hanya dalam kurun waktu seratus tahun. Setelah itu kondisi akan normal kembali, ketiga matahari itu dengan sendirinya akan meninggalkan bumi dan keluar dari galaksi bima sakti.

Demikianlah bunyinya. Seminggu setelah penerbitan itu, Sutole pun mendapatkan hukuman pancung. Mirip hukuman mati yang diterima Copernicus saat mengatakan bahwa matahari sebenarnya adalah pusat tata surya.

Dengan matinya Sutole, maka namanya semakin terkubur, terlupakan, dan semakin hilang dalam kancah sejarah.

Setelah tewasnya pemuda pribumi itu, para petinggi kompeni khususnya Hindia Belanda dan Nederlandsch-nya merasa sangat legah, karena berhasil melenyapkan seorang pemberontak. Sebenarnya hukuman terhadap pemuda pribumi itu hanyalah sebuah kesempatan dalam kesempitan, karena dengan adanya kasus itu pihak kompeni merasa diuntungkan dengan terbunuhnya salah seorang pemberontak yang paling berbahaya di kalangan kompeni. Kasus tentang ramalan yang konyol itu hanya digunakan sebagai kedok oleh pihak kompeni untuk melenyapkan Sutole. Di balik kematiannya itu tentunya masih tersimpan sejuta misteri yang tidak berhasil direkam dan diungkap oleh sejarah.

Kehidupan bumi pun kembali tenang. Paskah matinya Sutole dan kekonyolan ramalan itu. Semua orang sudah melupakan perihal tentang ramalan konyol itu. Bahkan banyak diantara mereka yang justru semakin benci dan mengutuki Sutole beserta ramalannya. Sebab sampai saat itu tidak terjadi apa-apa, dan semakin membuat mereka yakin bahwa ramalan itu hanya omong kosong belaka. Kata salah satu petinggi kompeni, ”Mana ada seorang pribumi yang paham tentang astronomi.”

Hingga pada akhirnya, ditahun 1906, apa yang di ramalkan oleh Sutole benar-benar terjadi. Tanda-tanda pada alam sudah menampakkan keanehan. Segala macam hewan di dalam hutan mulai keluar dan bertindak sangat liar, berusaha menyerang manusia yang mereka temui. Di kejauhan langit nampak tiga titik cahaya sedang datang menghampiri bumi, disertai suara gemuruh yang begitu dahsyat. Penduduk menjadi panik. Disela-sela kepanikannya mereka menyadari bahwa ramalan Sutole memang benar. Tidak lama kemudian tiga titik cahaya itu menjelma menjadi bola-bola raksasa yang berpijar mengeluarkan panas. Penduduk semakin panik saja. Dan benarlah tentang ramalan Sutole. Empat matahari mengapit bumi dan menjadikannya sebagai pusat tata surya. Tentunya hal ini membawa dampak pada bulan, cahaya bulan hilang ditelan oleh empat matahari laknat itu.

Perihal fenomena ini, Sutole menjadi sangat kondang. Banyak koran-koran baik terbitan lokal maupun internasional selalu saja membicarakan tentang sosoknya. Berbagai tulisan tentang dirinya selalu saja menjadi pusat perhatian. Bahkan ada seorang penulis dari Rusia yang menulis sebuah buku yang berisikan tentang perjalanan hidup Sutole mulai dari masa kelahiran sampai tewasnya di panggung pemancungan. Siapa saja yang menulis tentangnya, pasti tulisan itu akan laku di pasaran. Namun hingga kini sosoknya masih sangat misterius.

Dengan adanya Sutole, Indonesia semakin dikenal oleh dunia internasional. Sutole mampu mengharumkan nama Indonesia. Jika sebelumnya orang barat memandang rendah bangsa Indonesia, maka sekarang mereka memuji-muji kehebatan bangsa ini. Bahkan banyak orang Indonesia yang berada di luar negeri pun menerima imbasnya, mereka selalu dihormati oleh masyarakat internasional. Dalam sejarah, namanya selalu saja disinggung dan dibicarakan hampir disemua buku sejarah. Buku sejarah itu terasa kurang afdol jika tidak menyebutkan namanya. Selain itu banyak seminar ataupun diskusi baik tingkat lokal maupun internasional sering menjadikan Sutole sebagai topik pembicaraan.

Nama Sutole beserta ramalannya benar-benar melambung pada saat itu. Bahkan bisa dikatakan telah menandingi Psikoanalisa-nya Sigmund Freud, Uebermensch-nya Freiderich Nietzsche, teori-teori Darwin tentang asal-usul manusia, dan juga filsafat Yunani-nya Sokrates, Plato, dan Aristoteles.

Bumi benar-benar sangat panas, terang, dan yang ada hanya siang. Malam tak pernah muncul. Penduduk bumi begitu mengharapkan datangnya gelap dan malam. Keadaan waktu itu benar-benar sangat panas, terlebih lagi di Hindia Belanda yang termasuk dalam kawasan khatulistiwa. Melihat fenomena seperti ini rasanya tidak mungkin jika mahkluk di bumi bisa hidup dan bertahan terhadap ganasnya alam. Dan tentunya dibalik semua itu, membuktikan bahwa Tuhan maha adil dan bijaksana. Mahkluk bumi bisa tetap hidup akibat kebesarannya.

Karena cuaca sangat panas, tentunya akan mengakibatkan tandus pada tanah, dan hal ini berdampak pada pertanian Nusantara. Sejak dulu Nusantara dikenal dengan kesuburan tanahnya. Namun kini sangat gersang. Nampaknya lirik lagu, ”Tongkat dan kayu bisa jadi tanaman,” sudah menjadi barang basi. Hal ini tidak hanya terjadi di Nusantara, tapi juga di seluruh dunia. Kondisi seperti ini mendorong orang-orang untuk percaya kepada ramalan pemuda pribumi itu. Bahwa masa ini akan berakhir kurang lebih seratus tahun ke depan. Itu artinya penduduk bumi harus sabar menunggu untuk melihat malam dan gelap-gulitanya.

Tahun 2006. Zaman sudah berganti, Indonesia sudah merdeka enam puluh satu tahun. Dengan darah dan air mata diperolehnya (benarkah itu semua). Itu berarti sudah seratus tahun sejak keluarnya ramalan Sutole. Dan malam, pekat, gelap dan gulita tak kunjung datang.

Hingga di zaman ini sosok Sutole masih saja menjadi topik pembicaraan yang tidak ada bosannya. Para pelaku hukuman pancung di masa itu benar-benar sangat menyesal dan berdosa, karena telah mengabaikan tulisannya. Abad ini telah mempunyai sebutan abad penerangan, karena dalam kurun waktu seratus tahun ini bumi benar-benar menjadi terang. Sungguh suatu dagelan paling konyol dan lucu.

***

Dua puluh tahun yang lalu, aku lahir tepat pukul dua belas siang. Di mana pada saat itu cuaca sedang mencapai titik terpanasnya. Terlebih lagi di daerah khatulistiwa, tempat aku dilahirkan.

Keluar dari rahim itu, mataku langsung disilaukan oleh terangnya sinar matahari yang mencapai empat biji itu. Waktu itu aku sudah bisa merasakan ketidakwajaran. Mungkin karena hal itulah aku menangis sekencang-kencangnya, saat untuk pertama kalinya melihat dunia. Saat itu mataku benar-benar silau dan sakit akibat serangan sekawan matahari laknat itu. Terlebih lagi bagi mata sesosok jabang bayi yang masih memerah.

Dua belas jam setelah aku keluar dari rahim itu, aku tidak melihat adanya perubahan pada sekitar. Cuaca masih juga tetap panas dan terang. Serta hari masih siang saja. Rasanya ada yang aneh pada bumi ini, malam tak kunjung datang, yang nampak hanya siang, juga panas dan terangnya. “Malam datanglah, aku ingin merasakan gelap, pekat, gelap, serta gulita.” Begitulah rintihanku waktu itu.

Kalau tidak salah perhitunganku, saat itu sudah seminggu umurku. Tapi hari masih saja siang terus, tidak pernah malam semenjak aku dilahirkan. Aku benar-benar merindukan malam beserta gulitanya. Sungguh sudah bosan aku dengan siang. Seandainya saat itu aku sudah bisa bicara, tentunya aku akan bertanya pada Bunda tentang keanehan yang terjadi pada bumi ini.

Rasa penasaranku tentang malam dan gulitanya sudah mencapai puncaknya, aku mencari informasi sebanyak-banyak tentangnya. Mulai dari TV, radio, internet, hingga koran, namun hanya sedikit yang aku peroleh. Pada setiap sinetron yang muncul di TV semuanya hanya berlatarkan siang, begitu juga dengan radio, internet, dan koran yang hanya menceritakan tentang panas, terang, dan matahari saja. Nampaknya semua telah lupa tentang bagaimana wujud malam, dan gelap-gulitanya. Walaupun sedang berada di dalam ruangan yang tertutup sekalipun kita masih merasakan terang. Kita hanya bisa merasakan gulita pada saat kita memejamkan mata, namun itu hanya semu belaka, kita tidak benar-benar merasakan gulita.

Di abad penerangan ini, hal-hal yang berhubungan dengan malam, gelap-gulita pasti akan mendapatkan perhatian serius dari khalayak umum. Dimana-mana banyak diadakan sayembara yang bertemakan malam, pekat, gelap, dan gulita. Misalnya lomba membuat lagu, puisi, cerpen yang bertemakan tentangnya. Bahkan suatu kali ada film yang menceritakan tentangnya, dan dengan sendirinya film ini laris manis di pasaran. Sehingga mendapatkan piala citra sebanyak lima kali berturut-turut, hal yang aneh dalam suatu penghargaan.

Aku dan juga semua penduduk bumi sudah sangat rindu dengan suasana gelap-gulita. Seharusnya masa itu sudah tiba, kan sudah seratus tahun. Seperti apa yang di katakan Sutole, bahwa sesudah seratus tahun keadaan akan normal kembali.

Industri yang menghasilkan alat penerangan sudah gulung tikar sejak seratus tahun yang lalu. Salah satu pabrik lampu terbesar di Eropa pun juga gulung tikar. Rupanya kerja keras Edison untuk menciptakan bola lampu sudah tidak ada faedahnya lagi. Kini para ilmuwan-ilmuwan dunia sedang berusaha untuk menemukan suatu alat untuk menghasilkan gelap. Namun hingga sampai saat ini hasilnya masih nihil.

Rinduku pada gulita sudah sangat besarnya, hingga pada suatu hari aku tidak henti-hentinya memejamkan mata, demi merasakan gulita. Tapi (sekali lagi) gulita yang kurasakan hanya sebatas semu saja. Kapankah gulita sesungguhnya datang menjenguk dunia dan berlabu padaku?

September 2006. Saat yang ditunggu-tunggu seluruh umat di dunia akhirnya datang juga. Abad penerangan akan berakhir. Ketiga matahari itu sudah pergi meninggalkan galaksi bima sakti, kembali ke galaksinya masing-masing. Sekarang hanya tinggal satu matahari. Rotasi dan revolusi berjalan normal kembali seperti seratus tahun yang lalu. Masa-masa yang ditunggu umat manusia benar-benar datang. Terlebih lagi buat aku, semenjak aku dilahirkan aku hanya merasakan siang dan terang. Kini aku menemukan malam yang juga menghadirkan gulita yang sesungguhnya. Dan aku sangat rela bila sisa hidupku hanya ditemani oleh gulita. Karena itulah suasana yang paling sakral dan melankoli menurutku.

Duh, gulita, betapa indah parasmu. Separuh dari sehari kau kelihatan selalu menghindar, tapi karena itulah aku semakin penasaran dan jatuh hati padamu.



Surabaya, September 200

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI