Langsung ke konten utama

Ketidakberdayaan Dalam Puisi Joko Pinurbo "Bayi di Dalam Kulkas"

(Kajian Semiotika)

Oleh

Dody Kristianto

Pengantar

Karya Sastra (KS) adalah sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan bahasa sebagai medium (Pradopo, 1987:121). Bahasa sebagai medium tentu sudah merupakan satu sistem tanda. Untuk menguraikan sistem tanda tersebut diperlukan satu disiplin ilmu yang mengulas tentang tanda. Sistem tanda disebut semiotik. Sedangkan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda disebut semiotika (Zoest, 1993:1).

Puisi adalah salah satu genre KS. Dunia perpuisian di Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang cukup pesat. Baik dari segi bahasa maupun dari segi bentuknya. Bahkan puisi Chairil Anwar yang menjadi fenomena pada masanya, kini sudah terasa sebagai puisi yang biasa saja. Dari segi bentuk, bentuk lama yang terikat seperti syair, pantun, gurindam telah berkembang pesat menjadi bentuk kontemporer, bahkan nirbentuk. Begitu juga dengan tema yang ingin disampaikan penyair. Perkembangan tersebut bias disebabkan karena evolusi selera dan perubahan konsep estetik (Pradopo, 1987 :318).

Puisi adalah ekspresi atau ucapan tidak langsung sebagai ucaan ke inti pati masalah, peristiwa atau narasi (Pradopo, 1987:314). Sebagai wujud ucapan atau ekspresi, puisi tidak lepas dari hakikatnya sebagai KS. Dengan demikian, puisi tidak terlepas dari unsur-unsur estetik yang menjadi esensi dari sebuah KS. Dan bias kita pahami bahwa puisi adalah suatu sistem tanda. Dalam tanda-tanda, suatu inti peristiwa biasanya tersimpan dan disampaikan melalui puisi.

Pada periode 2000-an, bias dikatakan puisi-puisi yang berkembang adalah jenis puisi-puisi antromorfisme, profeik dan nirbait (Rampan dalam Waluyo, 2003:165). Dengan berbagai tema yang ingin disampaikan oleh penyair. Tema yang dominan muncul dalam puisi-puisi Indonesia yaitu kepedulian terhadap sesama. Tema tersebut bias berupa masalah ekonomi, politik, sosial, budaya maupun sekitar kehidupan sehari-hari.

Untuk membatasi masalah, peneliti ingin mengaji salah satu puisi Joko Pinurbo (JP). Mengapa JP? Karena selain tercatat sebagai salah satu penyair periode 2000-an, puisi JP juga menawarkan sebuah pemikiran cerdas yang dikemas dalam diksi-diksi humor yang segar.

Joko Pinurbo : Pesan dalam Berbagai Tanda

Keunikan yang peneliti rasakan ketika membaca puisi JP adalah ia mampu mengemas pesan dalam berbagai tanda. Tanda tersebut dipadukan dengan gaya bahasanya yang humoris, mengandung ironi tentang kehidupan. Peristiwa sehari-hari bias dijadikan puisi oleh JP. Ranjang, celana, buku, tubuh adalah sebagian tempat imajinasi JP (Superli,2004;xix). Bahkan batuk, yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai satu penyakit, oleh JP disulap sebagai satu harapan akan kebebasan, dari sebuah situasi yang kaku, yang mengunci, yang membatasi :

Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu

untuk menggempur limbah waktu

yang membatu di rongga dadaku

Berbagai tanda tersebut tidak hanya menampilkan pesan, namun juga menimbulkan kesan humor tersendiri. Tanda telah menghubungkan JP dengan dunia luar. Humor yang ringan tidak akan membuat kita merasa jijik tetapi justru jenaka (Kleden, 2001:xii).

Dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas, peneliti menangkap ada tema ketidakberdayaan. Mengapa ketidakberdayaan? Pada hakikatnya manusia memang mahluk yang serba tidak berdaya. Ada satu kekuatan transcendental yang mengikat dalam diri manusia. Manusia memang bias berdaya dan upaya untuk berbuat suatu hal yang lebih baik, namun hasil akhir tetap manusia tidak berdaya. Ketidakberdayaan ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk Ketidakberdayaan

Dalam tulisan ini, peneliti ingin mengungkap tanda ketidakberdayaan dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas. Menurut Esten (1987:9), petunjuk pertama dalam memahami puisi adalah dengan memperhatikan judul. Judul adalah sebuah petunjuk untuk menengok keseluruhan makna puisi. Dilihat dari judulnya, puisi Bayi di Dalam Kulkas sangat unik. Bayi (secara denotative) adalah mahluk yang baru lahir ke bumi, baru merasakan hawa kehidupan. Ia tak berdaya dan sangat rentan terhadap lingkungan sekitar serta membutuhkan bimbingan dan kasih saying dari orang tuanya. Bayi bias diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Sedang kulkas adalah lemari pendingin, tempat untuk menyimpan makanan dan minuman. Secara tidak langsung, bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan yang tersimpan, membeku, tak bisa dilawan dan harus diterima sebagai takdir hidup manusia.

Manusia sebenarnya bias merasakan ketidakberdayaan itu. Namunmanusia tidak berdaa untuk melawan. Manusia sebagai mahluk yang selalu berharap, tentu mempunyai pengharapan kan kebebasan dari berbagai bentuk ketidakberdayaan. Tapi seringkali harapan manusia hanya tinggal harapan. Hal ini bisa dilihat dari :

Bayi di dalam kulkas lebih suka mendengarkan

pasang surutnya angin, bisu-kelunya malam

dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.

Dan setiap orang yang mendengar tangisnya

mengatakan : “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil

dan membeku bersamamu.”

JP sengaja memilih sosok ibu dalam puisi ini karena ibu bias diartikan sebagai sebuah harapan akan hidup yang lebih baik. Apalagi sosok bayi sangat membutuhkan sentuhan sosok ibu. Ibu adalah sosok harapan bagi bayi.

Di sini peneliti memandang penyair memberikan sosok bayi sebagi bentuk ironi. Bayi yang semestinya lucu menjadi sebuah hal yang miris. Tampaknya sosok bayi tidak akan pernah menemui harapannya.

Jika ingin lebih diperinci, ketidakberdayaan dalam puisi JP bias diartikan juga ketidakberdayaan rakyat kecil. Bagaimana pun rakyat merindukan pejabat yang baik, yang perduli akan penderitaan rakyat

“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”

“Nyenyak sekali ibu. Aku terbang ke langit

ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan

bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”

“Aku ikut. Jemputlah aku Bayi.

Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”

Bait di atas bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan rakyat atas pejabat. Seperti biasa, jika ada kunjungan pejabat ke daerah akan selalu ada jawaban basa-basi. Seperti biasa jawaban yang ada hanyalah menunjukkan sesuatu yang positif saja, keadaan rakyat yang tenang, aman, tidak kekurangan apapun. Padahal jika melihat knyataan tidaklah sama dengan yang diucapkan. Bayi (rakyat) pun bersembunyi di balik kenyenyakan tidurnya dan impian-impiannya. Hanya itu yang bias dilakukan Bayi (rakyat) untuk melawan ketidakberdayaannya.

Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah

di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya

yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati

yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.

Senyuman bayi adalah senyuman sinis dari rakyat ketika sosok ibu (pejabat) ingin menjamah bayi (rakyat). Seperti biasa janji yang diberikan oleh pejabat sudah dianggap sebagai janji kosong. Rakyat hanya dijadikan sarana bagi pejabat yang ingin memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini yang ingin ditunjukkan dalam diksi dipersembahkan di meja perjamuan

“Biarkan aku tumbuh dan besar disini Ibu.

Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai Itu.”

Sungguh sangat ironis jika sosok bayi tidak mau keluar dari kulkas yang dingin. Dunia yang ramai memang terlalu berat bagi sosok bayi. Apalagi ibu yang akan mengeluarkan sosok sang bayi masih dipertanyakan. Rakyat lebih baik memilih diam dan tumbuh dalam kebekuan. Sebab jika mereka maju, maka dunia politik yang ramai, yang tidak jujur hanya akan membuat mereka menjadi obyek. Sikap diam dan tak berdaya bias jadi adalah sikap yang tepat untuk menghadapi dunia yang ramai.

Akhirnya semua kegelisahan rakyat hanya akan menjadi suatu rahasia bentuk ketidakberdayaan dalam menghadapi permainan politik yang memang kejam. Jika berbicara mereka tentu akan menghadapi tindakan represif. Akhirnya ini yang ingin disampaikan JP dalam bait terakhir :

Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri

di hadapan mulut yang mengucapkannya.

Simpulan

Puisi Bayi di Dalam Kulkas karya JP bias diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Jika ingin lebih mengerucut, bias diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan rakyat dalam menghadapi birokrat. Namun pada umumnya manusia juga tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Akan tetapi sekali lagi sebuah teks puisi tidak hanya tunduk pada satu pemaknaan, satu teks puisi bias menimbulkan berbagai penafsiran. Bergantung interpretan ingin menginterpretasi teks dari sudut pandang dan seperti apa.

Daftar Pustaka

    Esten, Mursal. 1984. Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang : Angkasa Raya

    Kleden, Ignas (ed). 2001. Joko Pinurbo : Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang : Indonesiatera

    Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

    Superli, Karlina (ed).2004. Joko Pinurbo : Kekasihku. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

    Waluyo, Herman. J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta : Gramedia

    Zoest, Aart van. 1993. Semiotika : Tentang Tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...