Langsung ke konten utama

Puisi Umar Fauzi Ballah di Jawa Pos, 7 Agustus 2011

Berbuka

selamat berbuka  puasa
terimalah menu hari ini
apa adanya, seperti kau
menerima cintaku apa adanya
cinta yang selalu kau lukiskan
seperti senja yang kau telan
bersama kumandang ingatan

Sahur

Menikmati makan sahur
adalah menikmati
duduk diantara dua tidur
satu sisinya
mimpi tak bisa lagi diulur
di sisi yang lain
kita masih memperpanjang umur.
Tuhan,
demikiankah aku harus
diatur?

Puasa

hari-hari memar mencuci luka
setan-setan terbakar mencari mangsa
nafsu gemetar anaknya jadi pelupa
seakan mati rasa
teruskan saja, sebab nanti malam
akan kembali seperti sedia kala

 GULALI
Membaca Annisa

demi kesemampaian, burung-burung harus tertabrak angin dan terik tai matahari
demi senyuman, ketika mataku mesti gugur duluan

demi keanggunan, ketika pagi beranjak siang,
sungguh aku tak tahu bagaimana membendung kekuarngajaran
demi kecantikan yang tersiar dalam setiap perjumpaan,
tatap muka ini sungguh tak kuragukan

betapa sempurna matanya yang bulat, alisnya lebat
rekah bibirnya mencuat, ranum pipinya membebat
jantung hatiku ke arah paling keramat. Aku ingin moksa
secepat kilat menjadi bagian ternikmat kecupan terakhirnya.

 Kesempatan Sunyi

Akulah kejahatan
yang dilukis pekat malam
rimbun bayang dan gentayang

mimpimu indah dibawah guyuran hujan
ornamen  hatiku  bubaran  tanpa  hunian

sabtu malam
kubuatkan pelangi
kupetik dari kesempatan sunyi

agar kau rindu pada bumi yang tak sempat berbagi
dihadapan tuhan kau rupanya masih asyik mencuri
aku di depan dan tuhan mengikutiku dari belakang

Tabu

Wit, otakku terlalu lelet menerjemahkan
kata dekil
yang
        kau simpan lama,
seperti anggur Swiss bergumul rasa, ditabung masa.
Maaf, aku belum mengerti tentang darah biru
yang mencampuri usiamu dan derai batasan
yang
menghalangi harapan.

Tahukah kamu, tentang getuk pisang
yang kau hidangkan
di bawah bulan adalah nikmat dari puisi
yang
 pernah kulahirkan.
Meski ada juga omelet isi kornet untuk jamuan
malam, tapi aku tidak di sana
waktu itu,
sebab tubuhku lilit disulam amis
sebelum kuputuskan tinggalkan merah mara
dan merangkul tiang tabu di ufuk bara

Wit, lebih dari itu
garam bening di matamu
lebih sempurna dari sesuatu
yang
   pernah kita terka.
Sisa nujum masih
membekas dalam ingatan,
mungkin akan segera melemparkan kita
ke ranah terduga atau barangkali terlupa

 Dalam Kamar

Berdiam di kamar ini, lamunanku sepanjang
Dosa turunan yang tak terelaki.

Sementara menunggu waktu merenung,
Remang berkali-kali menggetarkan sendi,
Seperti pelukan yang hangat.

Akhirnya selalu gagal doa yang aku panjati.

Kalau sudah begitu, pintu harus terbuka.
Dan mimpi memilih sendiri tempatnya
Sembunyi, di antara seprei dan tumpukan
Buku yang berkali aku jamahi tak jua terpahami.

Lalu kembali keriuhan menjadi
Teman selingkuh paling menggembirakan;
Bermuka-muka, bersapa-sapa dengan
Segala basa dan basinya yang termaklumi.

Tapi saat itu juga,
Aku teringat yang sunyi
pun pandai-lihai memaklumi.

Dan soal maklum-memaklumi ini,
Telah mengaburkan sekian wajah.

Lalu tak terbedakan lagi,
Pengampunan dan pembiaran, kebiasaan dan keinginan…

Tempat birahi terselip abadi

 Di Kamar Bersalin

Aku tidak tahu, sejak kapan mereka
menyalin tubuhku dari rahim ibu.
Menyalinnya dengan pakaian selembut sutera
juga putih warnanya seperti pakaian mereka.
Dan seperti sutera yang hendak diambil seratnya,
aku pun tak mampu menggeliat sempurna.
Sehingga putih dalam jasadku selalu tanggung.

Sejak kapan buaian peri itu beralih
dalam pelukan ibu, aku tidak tahu.
Seperti juga tidak aku ketahui, kekenyalan dadanya
mampu menyempurnakan yang putih-mutih tubuhku.

Dalam berapa lama lagi, semua yang dihadapanku
adalah putih; seputih salju, seputih susu, seputih mata,
seputih tulang, seputih mani, seputih yang keputihan,
seputih kafan…

Dan kelak yang putih itu,
aku lukiskan bergambar-gambar kenangan.
Betapa mereka tidak mengetahui
kenanganku yang lebih panjang dari lorong
tali pusar yang mereka potong.

Kecuali dalam kamar bersalin,
semua itu adalah menyakitkan.
Seperti gambar-gambar itu,
yang tertempel pasrah pada dinding kusam.


*) Umar Fauzi Ballah, lahir 2 Juli 1986. Alumnus Sastra Indonesia Unesa, aktif di KRS (Komunitas Rabo Sore) dan Forum Sarbi. Sekarang menetap di Sampang Madura


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...