PEJANTAN MATAHARI
karena namamu, aku pergi ke bantaran kabut
serupa cahya tanpa mata, aku diam dalam kata;
di sajak, kuhantarkan jejak meski lantak
luka disamarkan balutan rima,
meski wajah ditembus sinar dengan bias berlaksa
serupa cahya tanpa mata, aku diam dalam kata;
di sajak, kuhantarkan jejak meski lantak
luka disamarkan balutan rima,
meski wajah ditembus sinar dengan bias berlaksa
namamu serupa pisau di ingatanku
menyeretku ke galau batu-batu
hingga riwayatku tumbuh di debu
sekarat terjerat muasal, dipenggal tumbal
hayat
menyeretku ke galau batu-batu
hingga riwayatku tumbuh di debu
sekarat terjerat muasal, dipenggal tumbal
hayat
esok, bila ada yang berkokok, sebut ia pejantan
matahari
ia yang didahului fajar, geletarkan birahi
tepati janji pada pagi
karena namamu, aku pergi mengikuti sepi
matahari
ia yang didahului fajar, geletarkan birahi
tepati janji pada pagi
karena namamu, aku pergi mengikuti sepi
Surapringga, 2011
DADAR REMBULANdi wajanmu, telur rembulan tampak muram
bundarnya membayang korona di tungku pendiangan,
ketika ia pecah dan menjelma cairan kental
kita saling diam, mengeja gelembung minyak
yang menyambar
larut pada riak-riaknya, hanyut di antara kepul asap,
panas, juga sengak yang mendadak menyeruak
di halaman depan pembauan
kita masih saling diam meski kita tahu dari mana ia bermula
bukankah ia dari petarangan yang telah lama dieram induknya
tapi rembulan tak kunjung pudar, lingkarnya masih tegar
semakin memberi batas antara alum dan segar, semakin
tegas memantulkan wajah kita yang memar
perapian pun terus terus berkobar-kibar
selepas bara padam
di wajanmu, wajah kita terangkum dalam telur dadar
yang kelewat matang, seperti rembulan
nyaris tenggelam
Yogyakarta, 2011
ZIARAH MATAHARI
di makam, tak kutemukan arah malam
kecuali jalan setapak, makadam, yang dikirimkan siang
tak juga kutemukan pusar langit
kecuali getar wingit
Yogyakarta, 2011
Mashuri lahir di Lamongan, 27 April 1976. Alumnus Sastra
Indonesia Universitas Airlangga Surabaya. Novelnya adalah
Hubbu (Gramedia, 2007).
Puisi-puisi Mashuri yang termuat di Koran Tempo pada hari Minggu 21 Agustus 2011 memang berbeda dari puisi Mashuri yang dulu pernah saya baca. Puisi-puisi Mashuri pada Kortem kemarin terasa lebih halus dan Mashuri lebih detail dan halus. Metafora dalam puisi Huri lebih menonjol. Maka, saya pengen mengapresiasi puisi Mashuri pada blog saya ini!
Komentar