selamat berjumpa kembali dengan blog kesayangan Anda ini. Kali ini saya akan menampilkan puisi dari Nirwan Dewanto yang muat di Kompas pada tanggal 24 Agustus 2008 kemarin. Energi kompleksitas Nirwan ternyata masih sangat terasa. Setelah tampil dengan antologi Jantung Lebah Ratu, puisi-puisi Nirwan tetap dengan daya pikat magisnya. Tentunya ini adalah pencapaian luar biasa dari seorang pembaca yang baik. Pun merupakan hasil kulminasi Nirwan selama bertahun-tahun menggeluti khazanah teks nasional maupun global. Selamat membaca.
Telur Mata Sapi
—untuk Sigmar Polke
Hanya mata yang sudah menamatkan
Biru samudra mampu menimbang
Cangkang letih menggeletar ini.
Hanya jari yang pernah bersengketa
Dengan merah darah lancar meniti
Lengkung seperti punggung iblis ini.
Hanya jantung yang sesekali terperam
Di gudang bawah tanah patut mengasihani
Retakan yang menahan gelegak lendir ini.
Hanya lukisan yang rela ditumbuhi
Hijau lumut segera memisahkan
Telur perempuan dari telur api.
Hanya penyair yang tak juga selesai
Menjelajahi luasan putih akan berpahala
Lapar sejati di pusat kuning ini.
Tapi hanya lidah yang sungguh jenuh
Oleh garam pasti sanggup membuntuti
Puisi pipih gosong di dulang kosong ini.
(200
Piring Terbang
—untuk Mao Xuhui
Rumah mereka berlabuh di atas atau
Di bawah rumpun lilaka. Bukankah
Mereka tinggi budi sebab mengenakan
Baju tembus-pandang? Tapi mereka bahagia
Jika wajah kami bersalut debu Bimasakti.
Mereka makan dari piring kertas, kami
Hanya dari piring porselin. Kami lapar
Oleh uap sup makaroni, mereka tumbuh
Menjalar oleh lapar kami. Di tengah jamuan
Betapa mudah mereka menghilang ke arah
Bintang berekor atau barisan menara pencakar
Langit utara. Ketika kami terlampau kenyang
Mereka sudah duduk khusyuk di depan layar
Televisi, mencari-cari kaum berjubah putih
Penyerbu taman gagasan atau mata air.
Hingga mata mereka terbuka mahaluas
Seperti rongga malam, dan kami terpaksa
Bernyanyi atau sembunyi dalam kobaran api.
Pada musim dingin mereka berkaki lidi.
Pada musim panas mereka berkaki lembu.
Dengarlah, kenakan ini sepatu terbaru, supaya
Kami tak malu, dan kalian mahir menulis puisi—
Sebab kami tak tahu apakah mereka cucu
Atau leluhur kami. Lihat, betapa lonjong
Tempurung kepala mereka. Betapa kosong
Puisi mereka tentang birahi harimau
Atau hujan asam atau jantung lebah ratu.
Dengarlah, meski kami seperti bebulir padi
Jangan biarkan kami tertampi-tampi—
Suara kami seperti pantun dari Langkawi.
Namun camkanlah, rumah yang terlalu mekar
Ini sudah tercerabut dari lilaka yang membelukar
Rumah pipih terang yang kini kami bawa terbang
Menyeberangi Taliesin menuju gugusan bintang.
(200
Tanpa Judul
—untuk Mieczyslaw Gorowski
Tukang pos di kejauhan
Itu adalah ayahmu sendiri
Mengantar suratmu pagi tadi
Ke arah makam bundamu.
Kau mencabut dan melayangkan
Tiga helai rambutku ke bayangan
Ayahmu dan segera bersorak
Bahwa akulah tukang pos itu.
Terlalu banyak jalan sehingga
Ayahmu tak sabar menemukan
Makam paling sempurna di dunia—
Maka ia membuka semua surat
Sampai ia menemukan sepucuk
Berisi tiga helai rambutku
Yang dikenalinya sebagai tiga
Hitungan agar ia kembali.
Aku menari di depan bundamu
Ketika kau menulis surat itu
Di tengah panggung seraya
Menyangkal rima kakiku.
Di jalan antara aku dan ayahmu
Menjulang kantor pos di mana
Kau memasukkan surat untuk
Pencabut tiga helai rambutmu.
Sayang kini hari sudah malam
Dan surat baru akan terkirim
Esok—hanya jika kau menari
Dan ayahmu tiba ke panggung.
Tukang pos tertidur di makam—
Aku menariknya ke unggun api
Ketika bundamu melarikan aku
Ke dalam rahimnya sendiri.
(200
Biduanita Botak
—untuk Elfriede Lohse-Wächtler
Selamat pagi. Seraya menyesap kopi Guatemala
Kuingat, kuingat bahwa gaun hitamku tengah
Dikecilkan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Kenapa mereka alpa bahwa aku belum lagi tambun?
Bukankah hadirin nanti mesti memandang ke arah
Belahan dadaku? Seperti biasa, aku hanya akan
Berlatih murka dua-tiga jam sebelum panggung
Mulai. Bukankah semua aria sudah mengerumun
Ranum pada leherku? Hanya saja sepasang biola itu
Mesti berpisah bahkan sebelum bayang-bayangku
Mencapai ruang rias dan nada tertinggi. Tolonglah
Pertemukan dua alisku, agar tukang aba-aba itu
Tak lagi berani memandang wajahku. Bukankah
Sudah terlalu lama ia terperam di kamarku? Kenapa
Pula ia bersikeras menduga-duga dalamnya laut?
Selamat pagi. Sudahkah kau mengubah warna tirai
Penutup panggung? Sebab aku membenci merah
Sebab aku suka mendengar debar ombak Parikia
Di puncak nyanyi, di puncak nyeri. Tolonglah
Usahakan pemain kontrabas itu mengendarai
Sepedanya ke jembatan keledai sebelum ia tiba
Di ranah tergelap yang menyimpan gelombang
Suara terendah. Dan bawalah pemain timpani itu
Ke kebun raya, agar ia sadar bahwa aku bukan
Rumpun nilam, tapi pohon nim Mahabalipuram
Pemeram bahana hampa topan hujan bagi para
Perancang lagu yang tenggelam di segala jalan.
Selamat pagi, wahai kau yang pasti tahu bahwa
Ketika remaja aku sungguh nekad tergila-gila
Pada bunyi bandoneon, namun kata guruku wandu
Itu hanya bagi kaum sundal dan penyair bebal, dan
Suaraku semaut perisai dan kendi dari penggalian
Di Smyrna, anugerah untuk museum jagad raya.
Ingatlah, aku suka mengendarai sedan kap terbuka
Sebab hanya dengan begitulah mereka melihatku
Sebab mereka gandrung sekali sekadar mengikatku
Ke panggung, seraya gaya-gayaan menahan bersin
Meski sudah seminggu terserang flu. Selamat pagi!
Tanpa gaun aku mesti belajar bercermin, bercermin
Bersama piano yang cuma terbaring di sudut terlicin
Seperti lembu jantan yang tak pernah peduli
Betapa indah dan percuma buah dadaku ini.
(200
Bulan Madu
—untuk Nobuyoshi Araki
Sebutir kancing kemeja terjatuh ke lantai dan dua-tiga helai benang dari gaun pendek tembus-pandang menancap ke seprei sebelum dua bahu yang semula saling menghela tampak jadi selengkung gelombang tunggal belaka yang segera memadat meninggi memecah ganti-berganti ke jeram jantung yang selalu lalai kapan mesti menutup tirai pada pintu geser kaca.
Alangkah baiknya jika terdengar saja derum mesin pemotong rumput dari arah taman agar erang dan raung mampu melesat tak tertahan dari sepasang kerongkongan yang kian dahaga demi mencapai puncak tamasya sejati tanpa mengganggu sesiapa yang di kamar-kamar sebelah atau atas mungkin sedang membuat sarapan pagi atau bersiap-siap terjun ke kolam renang.
Setelah empat hari di pintu masih juga tergantung DO NOT DISTURB agar tubuh yang hampir hangus oleh surya dan tubuh lain yang masih saja terlihat murni dan berwarna gading kian leluasa mengganas saling mengungkai seakan liburan segera berakhir besok seakan lukisan buah-buahan bergaya Cezanne di dinding cukuplah untuk menggantikan laut dan gugus karang di luar sana.
Muda adalah abadi jika lapar cukup disembuhkan dengan dua-tiga butir apel hijau dan susu kedelai sisa hari kemarin jika manis di bibir tetap bertahan sampai habis senjakala ketika semua katasifat yang digunakan terlalu melambung sepanjang hari harus diperbaharui dengan makan malam di restoran terdekat yang menyediakan salad pepaya ebi dan sup udang Thai dan bir Singha.
Pada hari ketujuh lidah mulai belajar meluncurkan t-i-d-a-k terutama jika telinga mendengar seruan di mana kaus kakiku yang sebelah di mana Femina yang kubaca tadi malam meski darah masih juga berlari kencang ketika sepasang mata berpapasan khususnya di pintu kamar mandi di mana sayang-disayang bisik- membisik bahwa terlaranglah berbasuh bersama atau bernyanyi di bawah pancuran air panas.
Bilah perut dan dada sudah mulai kehilangan api dan rambut menyulur lisut teramat kecut ketika baju-baju yang belum sempat dicuci mesti dimasukkan serampangan ke dalam dua koper geret dan sepatu kets dan sandal kulit yang belum dibersihkan dari sisa pasir dan garam terpaksa membungkus kaki-kaki yang mesti bergegas ke pelabuhan udara mengejar pesawat terakhir ke ibukota.
Akhirnya kita harus menyigi apa merek shampoo istri dan di mana terjatuh kacamata suami namun jangan lupa mengambil ruang tamu apartemen mereka ZOOM IN ke arah jambangan keramik hijau gelap kasar dan patung harimau perunggu bergaya Nyoman Nuarta yang dibeli di Sanur dan jika kau terpaksa membidik ke dapur tolonglah gunakan cahaya alamiah sebanyak mungkin—
sebab di sanalah si perempuan yang kita cintai sedang terluka telunjuk kirinya oleh pisau ketika mengiris daun bawang untuk telur dadar sarapannya sendiri sebab kita mual akan si lelaki yang barusan kasar membanting pintu kamar namun tiba-tiba terdengar teriakan CUT CUT CUT kenapa kalian larut ke dalam haru kenapa kalian lupa bahwa kita tengah membuat film pendek yang tanpa alur belaka.
(200
Nirwan Dewanto bekerja selaku penyelia kesenian dan penyunting sastra. Ia menyelenggarakan, antara lain, Lembar Sastra Koran Tempo Minggu. Buku puisinya adalah Jantung Lebah Ratu
Komentar