Langsung ke konten utama

MEMO TIGA MASA LALU

a. di sebuah musim rahasia
Di sebuah musim rahasia
kutemu pohon masa lalu
di sana terpahat namaku dan namamu
ketika kita diam bertemu,
saling membisu, lalu pulang
pada rindu yang jatuh

Di pohon itu pula,kupu-kupu berhamburan
melambaikan namamu di langit petang
tanpa kutahu, mereka meninggalkan
namaku sendirian di ranting kerontang

Sebab di ranting itu
ulat-ulat memamah namaku, satu per satu
sampai nama-namaku luruh, kulupakan
dan tak kuhapal, satu per satu

b. pohon renta
pohon renta, yang usianya
hanya mampu kita duga

ketika bersua di siang lapang
sebagai kanak-kanak berlarian
bersembunyi dari terik yang memanjang

kita tak bisa melawan
hingga kita temukan
sebatang pohon tua rindang
pohon penghalang; senyap meneduhkan

kupahatkan namaku,
isyarat waktu yang membatu:
aku ingin mengenalmu

kusemaikan reranting mimpi untukmu,
juga bebunga igau, juga kupu-kupu
harum bakau

agar sesekali engkau singgah
dalam sepasang nama yang kita dedah
pada rahasia paling purba

c. seperti pusaran waktu
seperti pusaran waktu dungu
senja menawanku pada masa lalu
namamu haru, perlahan lenyap
disesap rindu

sepasang degup bersitumbuh
di jantung kanakku

aku reguk haus kenangan
jalan kota merenggang, lengang
pertigaan :

tempat pohon renta menjulang,
menghilang ke langit lapang

di situ, tubuhmu semu aku rengkuh
hingga tanggal-tanggal gugur jauh

(2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI