Langsung ke konten utama

Tentang Realisme Magis 2

Pembaca blog saya yang budiman, selamat datang di blog yang kelam dan gelap ini. Kali ini saya masih terpesona oleh Realisme Magis. Dan kumpulan tulisan ini Saya cuplik dari internet, yakni tentang realisme magis dan surealisme dalam film Banyu Biru. Saya masih akan tetap mencari tulisan lain tentang realisme magis karena, Saya jatuh cinta pada pergerakan sastra yang lahir dan tumbuh di Amerika Latin sebagai reaksi atas geliat estetika Eropa, semacam Surealisme dan Dadaisme. Selamat membaca.

Banyu yang Takut Air

Eric Sasono*

SEBELUM menonton film Banyu Biru, saya mendengar film ini menggunakan pendekatan berbeda ketimbang film pada umumnya. Sebagian menyebut Banyu Biru beraliran surealisme. Pernyataan pers produser menyebutkan Banyu Biru berpendekatan realisme-magis. Dengan demikian, saya tak bisa polos lagi menonton film ini. Istilah aliran-aliran itu terus mendudu di kepala saya. Adakah kedua aliran itu bisa dilihat pada film Banyu Biru? Apa yang membedakan aliran-aliran ini dengan film yang kaprah kita tonton?

FILM-film yang umumnya kita tonton adalah film realis. Realisme pada dasarnya percaya bahwa karya seni merupakan sebuah tiruan dunia yang terjelaskan akal sehat manusia. Maka dalam karya realis, dunia selalu berjalan dalam logika sebab akibat yang padu. Selalu ada sebab mendahului akibat. Benda-benda dan manusia selalu terjelaskan dalam logika kausalitas seperti ini. Peristiwa juga selalu terjelaskan dalam satuan ruang dan waktu. Pada dasarnya, karya realis percaya pada rasio manusia. Realisme memang anak kandung rasionalisme, pemikiran yang percaya bahwa dunia ini bisa dijelaskan dengan logika sebab akibat yang rasional. Karya realis muncul dari logika filsafat Cartesian yang melihat peristiwa yang linier sebagai resultan dari ruang dan waktu. Maka dalam film realis, yang penting adalah make-believe atau reka-percaya: membuat penonton percaya segala ruang, waktu, dan peristiwa dalam film berjalan berdasarkan logika yang padu dan terjelaskan sebab akibatnya.

Dalam surealisme dan realisme-magis, respons kita seharusnya tidak sama. Manusia, ruang, waktu, dan peristiwa tak berjalan dalam logika internal yang padu layaknya film realis. Surealisme sempat menjadi gerakan seni yang penting tahun 1930-an yang dipelopori oleh Andre Breton. Kalau mengikuti sejarahnya, surealisme merupakan kelanjutan dari dadaisme yang merupakan gerakan yang mengabaikan rasionalisme dalam berkarya. Tak perlu ada alasan-alasan masuk akal dalam berkarya. Pada dasarnya dadaisme adalah sebuah gerakan anti-art, gerakan anti seni yang melecehkan rationale dalam berkarya.

Surealisme mencoba mendekati soal ini secara positif. Pengertian surealisme yang diajukan Breton berusaha mendorong seniman untuk berkarya, tidak hanya dengan mengabaikan kendali alasan, tetapi juga segala pertimbangan estetis dan moral. Dalam hal ini, surealisme merupakan sebuah alat untuk menggabungkan antara alam sadar dan alam tidak sadar manusia. Maka dunia mimpi, alam bawah sadar, dan fantasi bergabung dengan kenyataan yang dialami manusia, menjadi satu kesatuan dalam sebuah dunia nyata yang absolut, super-realisme-surrealism.

Kenyataan dalam surealisme adalah kenyataan di mana alam sadar dan tidak sadar manusia berimpit dan menyatu dalam sebuah kenyataan baru. Dengan demikian, kenyataan tidak harus berjalan dengan logika dan sebab akibat yang padu. Pelukis seperti Salvador Dali, Rene Maggrite, dan Max Ernst sering digolongkan sebagai seniman surealis. Sedangkan sutradara Luis Bunuel dan David Lynch kerap disebut-sebut menghasilkan karya film-film surealis.

Saya melihat peluang jejak surealisme pada Banyu Biru. Pertama, pada beberapa hal tak masuk akal dalam film itu yang bisa ditafsirkan berasal dari dunia bawah sadar tokoh Banyu (Tora Sudiro). Misalnya, ketika pemakalah (Butet Kertarejasa) dan para peserta seminar tiba-tiba menyanyi dan menari mengelilingi Banyu yang duduk sendirian di tengah-tengah mereka. Adegan ini mengingatkan saya pada adegan kor penumpang kereta dalam film surealis Songs from The Second Floor (Roy Andersson, 2000). Pengalaman Banyu yang lain, seperti pertemuannya dengan tokoh Kelana (juga diperankan Butet) penjual tiket dan pengemudi perahu, seakan menjadi cermin pengalaman bawah sadar Banyu dibawa oleh tokoh pemakalah dalam seminar yang sedang diikutinya.

Namun, di akhir film peluang itu patah. Segala peristiwa dalam film ternyata merupakan mimpi yang dialami Banyu ketika bosan di seminar yang sudah tiga kali ia ikuti. Apakah mimpi Banyu itu mewujud dalam kenyataan (film) ataukah kenyataan (film) merupakan mimpi Banyu? Di sini sebenarnya ada peluang menjadikan film ini sebagai film surealis jika saja mimpi Banyu mewujud dalam film. Namun, konstruksi film ini menggambarkan semua peristiwa dan pengalaman Banyu (dalam film ini) adalah mimpi. Padahal, karya surealis tetap mendakukan berada dalam ranah kenyataan seperti halnya karya realis. Bedanya, kenyataan itu berendeng (juxtaposed) dengan pengalaman-pengalaman dunia mimpi dan bawah sadar. Pada mimpi, tak ada kenyataan. Segala sesuatu yang luar biasa mungkin saja terjadi dalam mimpi. Dengan membangun seluruh kenyataan film sebagai mimpi, maka para pembuat film ini tidak menyodorkan kenyataan di mana alam sadar dengan alam bawah sadar berendengan, melainkan menyodorkan sepenuhnya dunia tidak nyata.

Istilah lain adalah realisme-magis. Istilah ini biasanya dipakai di dunia sastra untuk menyebut karya penulis seperti Gabriel-Garcia Marquez, Jose Louis Borges, atau Ben Okri. Dalam film, kritikus sastra Wendy B Faris menyebut film The Withes of Eastwick dan Field of Dreams, misalnya, sebagai film realisme-magis. Apa sebenarnya realisme-magis ini? Penggunaan istilah realisme-magis dipelopori oleh kritikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya banyak pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi ada elemen magis di dalamnya. Elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.

Kemudian kritikus sastra meminjam istilah ini untuk melihat karya sastrawan Amerika Latin seperti Marquez, Borges, dan Isabel Allende. Para kritikus sastra terkejut membaca karya-karya Marquez dan Borges yang pada dasarnya mirip karya realis, tetapi mengandung elemen-elemen magis yang intuitif. Para penulis ini melihat kenyataan sehari-hari sebagaimana kenyataan sehari-hari yang kita lihat dan alami, tetapi diungkapkan dengan cara pandang yang sama sekali berbeda, sehingga mengesankan ada sesuatu yang sangat luar biasa di balik kenyataan itu. Realisme-magis ini diterjemahkan dari lo real maravilloso yang artinya ’kenyataan yang ajaib’.

Salah satu contoh adalah tokoh Kolonel Aureliano Buendia dalam novel One Hundred Years of Solitude karya Marquez. Sang Kolonel memiliki 17 anak yang berusia relatif sama karena ia melakukan perjalanan ke 17 kota berbeda sepanjang tahun dan berhubungan dengan 17 perempuan dalam perjalanannya itu. Maka, lahirlah 17 orang anak pada waktu yang relatif bersamaan sehingga sang Kolonel memiliki 17 anak yang relatif seumur. Perhatikan bahwa ada logika realis di sini. Hal itu mungkin saja terjadi di dunia nyata. Namun, apakah hal seperti itu benar-benar terjadi di dunia nyata? Inilah cara realisme-magis melihat kenyataan. Jangan terima kenyataan seperti apa adanya. Pasti ada sesuatu yang luar biasa di balik itu.

Realisme-magis juga mendakukan kenyataan. Namun, realisme-magis mengajukan sebuah dunia magis, dunia penuh keajaiban yang tak bisa dicerna akal sehat yang mendahului pengalaman sehari-hari manusia. Manusia luput melihatnya. Realisme-magis berusaha memunculkan hal magis itu atau melihat kenyataan secara magis, secara ajaib. Dunia magis ini tidak terlepas dari kenyataan dan terpantulkan dalam kenyataan sehari-hari. Itu sebabnya, dalam karya-karya para sastrawan realisme magis seperti Borges, Marquez, Okri, atau Allende kerap muncul peristiwa, tokoh, makhluk, lokasi, dan situasi yang ajaib dan magis. Semua keajaiban itu terjadi dalam kenyataan, bukan mistik yang mengingkari kenyataan.

Ada peluang Banyu Biru mendakukan diri sebagai realisme-magis. Misalnya, Banyu sempat bertemu teman lamanya, Arief (Oscar Lawalata), di sebuah kampung yang isinya banci semua. Kampung banci ini mengingatkan saya akan kota imajiner Macondo sebagai sebuah mayapada (universe) terjadinya peristiwa-peristiwa dalam cerita Marquez. Ada keserupaan keajaiban lokasi antara Kampung Banci itu dengan Macondo. Namun, peluang menyebut Banyu Biru sebagai realisme-magis gagal dengan menjadikan seluruh kenyataan film sebagai mimpi Banyu. Realisme-magis juga mendakukan berkarya di ranah kenyataan, bukan mimpi atau khayalan. Akhirnya kemungkinan membahas Banyu Biru sebagai realisme-magis bernasib sama dengan kemungkinan membahasnya sebagai surealisme. Keduanya sama-sama patah oleh pengalaman Banyu dalam film ini sebagai mimpi. Mungkin lebih baik melihat Banyu Biru sebagai film realis biasa saja.

Bangunan masalah

Sebagai film realis, film ini bergenre road movie, film yang tokoh utamanya melakukan perjalanan. Dalam perjalanan itu sang tokoh mengalami peristiwa yang menjadi inti film. Film-film seperti Thelma and Louise, Bonny and Clyde, atau Eliana-eliana adalah beberapa contoh road movie. Film-film ini menggambarkan perjalanan tokoh-tokohnya dan bagaimana hidup mereka terpengaruh olehnya.

Banyu Biru juga diniatkan menjadi road movie. Film ini bercerita tentang perjalanan Banyu kembali ke kampung halamannya. Banyu digambarkan sangat tertekan dengan kehidupannya sebagai seorang petugas costumer service pasar swalayan. Banyu digambarkan harus melayani antrean panjang pelanggan yang mengeluh, tanpa ia sendiri boleh mengeluh mengenai beban yang ia tanggung. Hal ini bertambah ketika Banyu datang ke seminar yang sudah pernah tiga kali diikutinya.

Dengan hidup seperti ini, Banyu kemudian pulang ke kampung halamannya untuk menemui ayahnya. Hubungan Banyu dan sang ayah, Yuskar (Slamet Rahardjo Djarot), sudah rusak sejak lama. Sepuluh tahun sebelumnya Banyu meninggalkan ayah dan rumahnya tanpa mengucapkan kata perpisahan. Ini terjadi sesudah ibu Banyu, Mirya (Berliana Febrianti), meninggal menyusul ketidakmampuannya menerima kematian adik Banyu yang bernama Biru (Karin Abdullah) di kolam renang. Sejak berpisah Banyu tak pernah bicara sepatah kata pun kepada ayahnya. Perjalanan Banyu pulang kampung ini nyaris mengambil porsi seluruh film. Sebagaimana yang diharapkan dari sebuah road movie, perjalanan Banyu ini menjadi inti film. Sebagai road movie, film ini sudah berhasil memenuhi genrenya.

Namun road movie harus tetap mengajukan masalah, sesuatu yang saya lihat lemah pada film ini. Masalah dalam film adalah sesuatu yang menjadi alasan mengapa film ini dibuat dan perlu ditonton. Nicholas Proferes dalam buku Film Directing Fundamentals: See Your Film Before Shooting mengibaratkan hal ini sebagai tulang punggung. Sebuah film harus punya film spine atau tulang punggung film yang menjadi alasan film ini dibuat sejak semula. Kemudian, menurut Proferes lagi, tokoh-tokoh dalam film juga harus memiliki character spine atau tulang punggung karakter untuk menjelaskan keberadaan mereka dan peristiwa yang mereka alami dalam film.

Sekalipun saya yakin hal-hal itu sudah dikerjakan oleh Teddy Suriaatmaja dan penulis skenario film, tulang punggung Banyu Biru masih terlihat lemah. Banyu digambarkan berpisah dengan ayahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan sepuluh tahun tak bertukar kata. Tak ada penjelasan akan konflik ini. Satu-satunya gambaran rusaknya hubungan mereka adalah ketika Yuskar meninggalkan Banyu sendirian di pemakaman ketika mereka baru menguburkan Mirya, ibu Banyu. Selanjutnya adalah rangkaian fakta kabur tentang konflik mereka. Tak tampak ada benturan langsung antara Banyu dan ayahnya. Apa yang menyebabkan Banyu pergi meninggalkan ayahnya dan tak bertukar kabar selama sepuluh tahun?

Kita berharap menemukan jawaban di akhir film. Bisa jadi lewat percakapan atau lewat teknik penceritaan mundur yang menjelaskan konflik ayah-anak ini. Namun, harapan ini tak terpenuhi. Satu-satunya penjelasan tentang konflik mereka di akhir film adalah ketika Yuskar mengatakan kepada Banyu bahwa Banyu tak tahu Yuskar masih mencintai ibu Banyu dan keluarganya. Terbukti, sang ayah masih memakai cincin kawinnya sebagai kalung. Bisakah disimpulkan bahwa Banyu menyangka Yuskar tak mencintai dan tak peduli lagi dengan keluarganya? Tak ada gambaran jelas soal ini. Padahal, inilah satu-satunya kesempatan kita memahami konflik ayah dan anak itu. Dengan tak ada bangunan masalah yang jelas ini, alasan Banyu untuk tak berbicara dengan ayahnya selama sepuluh tahun tampak tak meyakinkan. Selain itu, tulang punggung karakter Banyu juga lemah. Mungkin Banyu perlu pergi meninggalkan rutinitasnya yang sangat membosankan, tetapi mengapa harus pulang kampung menemui ayahnya? Kita tak melihat adanya hubungan yang jelas akan hal ini. Padahal, ini menjadi tulang punggung bagi karakter Banyu untuk melakukan perjalanan.

Kelemahan masalah inilah persoalan utama yang membuat Banyu Biru gagal bercerita secara utuh sebagai film realis, apalagi kalau konflik Banyu dan ayahnya dikaitkan dengan perjalanan Banyu. Dalam perjalanannya, Banyu bertemu dengan tokoh-tokoh yang yang tak berkaitan dengan masalah film ini. Satu-satunya tokoh yang terkait langsung dengan konflik antara Banyu dan Yuskar adalah tokoh paman Banyu, Wahyu (Didi Petet), yang sempat menyinggung agar Banyu berbaikan dengan ayahnya. Seterusnya adalah tokoh-tokoh yang tak punya kaitan dengan bangunan masalah. Tokoh–tokoh lain serta peristiwa yang dialami Banyu bersama mereka tak berhubungan dan tak mendorong plot sama sekali. Tak ada character spine untuk mereka. Akhirnya, tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa ini bisa digantikan satu sama lain atau diganti dengan tokoh dan peristiwa lain tanpa mengganggu cerita film ini. Dengan melihat Banyu Biru sebagai film realis, film ini gagal membangun masalah. Tak ada tulang punggung yang kuat untuk film dan karakter-karakternya. Dengan demikian, film ini gagal membangun reka-percaya dalam logika film realis yang harus terpenuhi kepaduan logika internalnya.

Melihat "Banyu Biru" dari sudut pandang lain

Kemungkinan lain untuk mengapresiasi Banyu Biru adalah dengan pendekatan stream of consciousness yang melihat cerita secara tidak linier. Peristiwa tidak sejalan dengan satuan waktu. Struktur cerita dibentuk tidak untuk mendorong plot, melainkan untuk menimbulkan kesadaran baru bagi penonton. Penonton diajak mengelilingi sebuah tema inti dan tema itu terungkap dalam bagian demi bagian seiring jalannya cerita. Penonton diajak menemukan kesadaran baru yang tidak ditemukan sebelumnya. Pendekatan ini bisa diibaratkan sebagai seorang pengunjung museum yang sedang melihat patung. Pengunjung itu berdiri di depan patung dan melihatnya dari depan. Kemudian ia berjalan mengelilingi patung dan melihatnya dari samping kiri, belakang, dan depan. Tiap kali si pengunjung berpindah tempat, ia mendapat pengetahuan baru akan patung itu. Misalnya, ternyata di bagian belakang patung, sosok patung itu membawa senjata. Si pengunjung tak mengetahui hal itu ketika melihatnya dari depan. Dengan pengetahuan baru itu, si pengunjung mendapatkan kesadaran baru akan patung tersebut. Inilah perumpamaan dari stream of consciousness.

Dengan pendekatan ini, perjalanan Banyu harus dilihat sebagai simbol-simbol yang mengungkapkan tema seputar kehidupan Banyu. Satu tema sentral yang bisa dijadikan titik tumpu-yang bisa kita ibaratkan patung yang akan kita kitari-adalah tema kenangan. Kita melihat kenangan Banyu akan masa kecil dan simbol-simbol kenangan Banyu. Konflik antara Banyu dan ayahnya sebagai tema utama di film ini tak terlepas dari soal kenangan, mengingat konflik ini berangkat dari masa kecil Banyu. Sayangnya, tema kenangan Banyu akan ayahnya tak terjelaskan dengan sempurna, sebagaimana saya bahas pada bangunan masalah film ini.

Tema kenangan ini muncul lagi beberapa kali. Pertama dalam pertemuan Banyu dengan Wahyu ketika Wahyu menyarankan agar Banyu berdamai dengan ayahnya. Kenangan ini sejalan dengan tema utama film. Kemudian, kenangan juga muncul dalam pertemuan antara Banyu dan tetangga masa kecilnya, Sula (Dian Sastro). Namun, kenangan ini kurang informasi. Satu-satunya kenangan Banyu akan Sula adalah ketika Banyu sepuluh tahun lalu meninggalkan rumahnya diperhatikan oleh Sula yang sedang bermain ayunan. Kemudian kenangan muncul lagi dalam pertemuan Banyu dengan Arief. Banyu tak bisa mengenali Arief sampai Arief mengatakan siapa dirinya sebenarnya.

Kenangan Banyu akan kematian adiknya, Biru, tak dibangun sebagai tema sentral. Padahal, nama Banyu berarti ’air’. Adik Banyu, Biru, meninggal karena air. Adakah simbolisasi air dan warna biru ini? Simbolisasi air muncul ketika Banyu takut terhadap air ketika diajak naik perahu oleh Kelana. Apakah ini karena kenangan masa lalu terhadap adiknya yang meninggal karena air? Warna biru sempat muncul pada baju seragam Banyu sebagai petugas costumer service di pasar swalayan. Apakah ini simbol bagi kenangan buruk Banyu terhadap Biru, adiknya? Bisakah ditafsirkan warna biru yang depresif dalam film itu sebagai simbol kenangan Banyu terhadap Biru sehingga ia memutuskan melakukan perjalanan pulang kampung? Bisa saja ditafsirkan demikian, sekalipun penafsiran-penafsiran ini longgar sekali.

Tema lain yang tercermin dalam perjalanan Banyu adalah soal cinta. Pertemuan Banyu dengan Sula menyiratkan tema itu. Banyu dan Sula duduk di padang ilalang sambil berbincang. Langit di belakang mereka berwarna oranye. Ada romantisme subtil dari cara mereka saling pandang dan bercakap-cakap. Tema cinta juga terefleksi dua kali lagi. Pertama adalah pada usaha bunuh diri Agus di jembatan yang kecewa karena pacarnya mau menjadi istri Wahyu. Banyu berhasil menggagalkan usaha bunuh diri itu. Namun, di sini Banyu hanya menjadi saksi dan tak terlibat secara langsung dengan urusan cinta itu. Refleksi kedua adalah pada percakapan Banyu dengan sopir truk yang memberinya tumpangan (Yadi Timo). Sang sopir sempat berkata bahwa cinta harus diraih. Tepat saat itu sang sopir melihat istrinya di tepi jalan dengan seorang laki-laki lain. Sang sopir langsung menghentikan truk dan menarik istrinya naik ke atas truk. Truk kembali melaju dan meninggalkan Banyu sendirian di tepi jalan. Sang sopir mengejar cintanya, sementara Banyu meneruskan perjalanannya. Menemui ayahnya mungkin takdirnya.

Tema takdir sempat disinggung ketika Banyu bertemu dengan peramal misterius (Ladya Cheryl) yang duduk di sisi Banyu ketika sedang menunggu tiket naik kapal. Sang peramal berkata Banyu akan menemukan sesuatu yang tak terduga dalam perjalanannya. Apakah hal tak terduga itu? Sayangnya, kita tak mendapat jawaban atas maksud si peramal. Apakah hal itu berarti pertemuan Banyu dengan Sula? Ataukah, rekonsiliasi Banyu dan ayahnya? Tema ini lagi-lagi terlalu cair.

Tema-tema di atas terlalu longgar untuk diikat oleh karakter Banyu. Tak ada perkembangan kesadaran karakter Banyu karena Banyu tidak berada pada kondisi ketegangan akan tema-tema tersebut. Tema kenangan digambarkan terlalu longgar, sekalipun inilah yang paling menonjol. Hal ini terjadi karena kurangnya tulang punggung karakter Banyu untuk mengikat tema itu. Kenangan-kenangan Banyu terlalu lepas dan tak membangkitkan kesadaran pada karakter Banyu. Sementara beberapa subtema seperti cinta dan takdir juga tak mencerminkan persoalan yang cukup penting pada diri Banyu. Kedua tema ini sebelumnya tak pernah disinggung sebagai persoalan Banyu. Akhirnya, dengan melihat dari cara pandang ini, saya belum juga menemukan penceritaan yang utuh dari Banyu Biru. Semua tema-tema itu terlalu lepas.

Sumbangan "Banyu Biru"

Apakah Banyu Biru bersembunyi dari kegagalannya membangun reka-percaya dan keutuhan tema di balik istilah-istilah semacam surealisme dan realisme-magis? Buat saya tidak. Banyu Biru memang meniatkan diri menawarkan sesuatu yang berbeda kepada penonton film Indonesia. Jika saja film ini berhasil memenuhi pendakuannya sebagai film surealis maupun realisme-magis, ada sumbangan yang cukup berarti karena relatif belum ada film Indonesia yang menggunakan pendekatan-pendekatan ini.

Selain itu, baik surealisme maupun realisme-magis pada dasarnya merupakan aliran karya seni yang menantang kesadaran manusia. Karya realis menyodorkan dunia sebagaimana pengalaman kita sehari-hari, dunia sebagaimana adanya. Padahal kita tahu bahwa "dunia sebagaimana adanya" tak pernah berhasil kita pahami dengan baik. Rasionalitas manusia terbukti gagal memahami dunia yang disederhanakan dalam logika-logika filsafat Cartesian bahwa segala sesuatu di dunia cukup dijelaskan oleh rasionalitas manusia.

Karya surealisme dan realisme magis memahami dunia lebih rumit ketimbang ukuran rasionalitas manusia. Keduanya berusaha melihat hal lain di balik kenyataan yang bisa ditangkap oleh akal manusia. Surealisme mengusulkan percampuran antara alam sadar dan alam bawah sadar manusia menjadi sebuah kesatuan kenyataan. Sedangkan realisme-magis mengusulkan bahwa kenyataan yang kita alami sebenarnya tak pernah kita lihat seluruhnya. Ada hal-hal magis di baliknya yang harus diperhatikan secara teliti, termasuk kemungkinan-kemungkinan adanya hal-hal ajaib yang muncul di balik kenyataan.

Ketidakmampuan akal sehat mencerna kenyataan yang diajukan surealisme dan realisme-magis akan membuat kita menarik diri terhadap karya tersebut dan bertanya tentang kenyataan sehari-hari kita. Dengan demikian, sesungguhnya surealisme dan realisme-magis dengan sengaja membuat kita terasing (alienated) dari kenyataan sehari-hari. Alienasi sengaja ini justru dilakukan dengan mendakukan kenyataan alternatif sebagai sebuah kenyataan, bukan dengan mengingkarinya sebagai kenyataan. Sayang sekali, Banyu Biru menjadikan bangunan ceritanya sebagai mimpi. Jika Banyu Biru berani mengambil risiko membiarkan cerita dalam film itu sebagai sebuah kenyataan, maka ia berpotensi menawarkan sesuatu yang tidak biasa sebagai sebuah karya. Dengan menjadikan cerita film ini sebagai mimpi, para pembuat Banyu Biru bagaikan Banyu yang takut pada air.

Sumbangan selanjutnya dari Banyu Biru adalah pada sinematografi. Film ini menyadarkan kekayaan visual negeri ini yang belum dieksplorasi secara optimal. Eksplorasi ini penting mengingat sinema kita masih mencari bentuk-bentuk yang dianggap sebagai bentuk otentik. Kita masih belum punya referensi visual yang secara tegas bisa kita sebut: inilah film Indonesia. Banyu Biru sudah memberi sumbangan berarti, serupa dengan Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho atau Pasir Berbisik karya Nan T Achnas. Mereka menyajikan semacam eksotisme visual yang-sekalipun eksotis-merupakan sebuah tawaran yang tegas. Ketegasan macam ini jarang kita temukan dalam ekspresi visual sinema Indonesia lainnya. Mungkin hingga kini kita masih menunggu karya semacam Daun di Atas Bantal (Garin Nugroho), yang menyajikan ketegasan ekspresi visual kehidupan urban yang keras, selain lanskap alam Indonesia yang indah dan cenderung eksotis pada karya-karya tadi. Sayang sekali, Banyu Biru tak berani tegas dalam bercerita. Padahal sangat besar peluangnya untuk memberi sumbangan dari sisi ini.

*)ERIC SASONO Kolumnis Lepas pada Situs www.layarperak.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI