Langsung ke konten utama

Kurasi sastra FSS 2008 : Aneh!

saya tidak menyangka hasil kurasi FSS 2008 akan sedikit mengejutkan. Kalau tidak mau dibilang benar-benar mengejutkan. Hasil kurasi itu menampilkan komposisi 4 : 1, 4 penyair Gapus, Unair dan satu penyair Komunitas Rabo Sore, A Muttaqin. Keempat penyair dari Gapus atau yang pernah tergabung di komunitas itu adalah Mashuri, Indra Tjahyadi, Deny Tri Aryanti, dan F Aziz Manna.
bila ditilik dari hasil pengkurasian tersebut, nama Mashuri, Indra Tjahyadi dan A Muttaqin memang layak untuk dikedepankan dalam FSS 2008 mendatang. Tapi bagaimana dengan Aziz manna dan Deny Tri Aryanti? Kedua nama ini sesungguhnya layak untuk diperdebatkan. Sepanjang tahun 2007, nama-nama ini tidak memampang karyanya di media yang jadi barometer sastra nasional. Katakanlah media semacam Horison, Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, Republika. Atau mungkin anggaplah saya tidak gaul, kurang mengikuti perkembangan sastra nasional.
Arif B.Prasetyo selaku kurator untuk even yang akan dihelat pada tanggal 1-15 juni itu tentu mempunyai standar sendiri. Tapi, apakah Arif tidak berpikir mengenai keseimbangan sastra Jawa Timur ke depan. Dan sebuah festival, seyogyanya merupakan memotret perkembangan sastra suatu daerah. Tidak hanya dalam satu dua tahun ke depan, namun bisa sampai beberapa tahun ke depan. Taruhlah, dari 14 nama yang dinominasikan untuk FSS, ada nama yang seharusnya layak masuk seperti M Fauzi ataupun M Faizi Kaelan. Bila nama-nama di luar gapus itu dimasukkan, maka keseimbangan sastra Jawa Timur bisa jadi ditampilkan.
Usut punya usut, ternyata semenjak pengkurasian tahap pertama, dimunculkannya 14 nama pertama, sudah mengundang polemik. Ribut Wijoto yang menangani hal ini, memasukkan 10 nama dari Gapus Unair. Sehingga komposisi nominator terkesan njomplang. Bila ditelisik, ternyata Ribut adalah kritikus (?) yang berasal dari komunitas gapus unair atau pernah dibesarkan oleh komunitas tersebut. Aroma kolusikah?
Saya tentu tak ingin berprasangka buruk. Tapi salahkah bila Saya atau publik sastra Surabaya dan Jawa Timur berpikiran semacam itu. FSS hanya menjadi ajang bagi segelintir orang dan tidak membuka diri bagi nama-nama baru kesusastraan Jatim. Dengan begini, tertutuplah nama-nama baru untuk muncul.
Sesungguhnya pada FSS 2004 lalu panitia sudah mengakomodir beberapa nama baru. Hasilnya muncul nama seperti Rio Febriannur Rachman, Purnomo Setiawan atau Putri Bafaqih. Dengan begitu tentu tak hanya arif yang harus memberi pertanggungjawaban. Pun Ribut Wijoto harus bisa memaparkan alasan mengapa acara sastra FSS 2008 kali ini begitu aneh. Sekedar kembali ke masa lalu, pada 2003 lalu, juga menampilkan penyair-penyair Unair sebagai kekuatan dominan. dari 18 penyair, 12 berasal dari Unair. Lalu apakah di Jawa Timur tidak ada komunitas lain sehingga nama yang muncul hanya itu-itu saja?

Komentar

Komunitas Rabo Sore mengatakan…
kurang kereng men.masih malu-malu sama ribut

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI