Krido Waluyomukti*
Sayup-sayup saya masih teringat acara diskusi Festival Seni Surabaya 2010 yang mengambil tema serem, Sastra Indonesia 25 tahun ke Depan. Jika dihitung dari tahun 2010, maka tahun itu adalah tahun 2035. Kira-kira seabad yang lalu, 1930-an, kita sedang berasyik masyuk dengan Majalah Pujangga Baru. Dalam khazanah sejarah sastra kita kenali sebagai angkatan Pujangga baru. Angkatan yang memiliki harapan besar tentang modernitas budaya di Indonesia, namun tidak berterima dalam implementasi dan raihan estetik.
Lalu akan ke mana sastra kita 25 tahun ke depan? Mungkin kita dapat membaca tahun 2035 melalui gejala yang terjadi pada saat ini. Ya, semacam ramalan kecil. Kita tentu tak memungkiri jika sastra terus mengalami perluasan medium. Sastra koran, yang selama beberapa tahun belakangan menjadi medium pembaptisan bagi mereka yang ingin dipredikati “sastrawan”, seolah sedang mengalami periode jenuh. Tidak ada perkembangan dan sumbangan signifikan bagi lahirnya karya-karya kontemporer yang menyuguhkan eksplorasi estetika secara lebih ekstrem. Entah, masih terbitkah koran 25 tahun mendatang?
Perluasan medium bersastra itu, seperti pernah dibahas dalam artikel Kompas 11 Januari 2009, Sastra pun Berdiaspora. Perkembangan teknologi informasi, terus diperluasnya arus informasi melalui internet, serta makin beranekanya medium untuk menyampaikan pendapat semacam blog, forum internet, sampai situs jejaring sosial makin memperluas sekaligus mengaburkan predikat apakah sastrawan itu. Sastrawan, ia yang menulis karya sastra, kini bisa jadi seorang ibu rumah tangga, para pekerja kelas menengah, sampai anak-anak sekolah kelas menengah. Dunia cyber sekaligus menjadi sebuah komunitas sastra raksasa. Diskusi kini tak harus berada di warung kopi pinggir jalan sebuah kampus di tengah kota. Saya bisa berbincang tentang Borges ketika sedang berada di dalam angkutan umum.
Kita bisa mengambil contoh situs jejaring sosial paling ngetren saat ini, facebook. Sepanjang tahun 2010 saya bertungkus-lumus, menjelajah perilaku para pemilik akun di situs ini, perbincangan mengenai karya sastra sangat marak. Informasi mengenai kegiatan bersastra lebih mudah diakses. Bahkan diskusi sampai debat kusir menjadi hal yang sangat biasa. Sangat liar dan banal. Lebih cepat daripada polemik sastra yang kadang menghuni lembar budaya Koran. Saking demokratisnya, dalam bahasa Ribut Wijoto, komentar-komentar yang dilontarkan seringkali berupa pujian sebagai penghormatan atas pertemanan, tidak metodis, dan seringkali memakai pendekatan standar. Akan tetapi harus diingat, semua pendekatan apapun metodenya sah dipakai dalam facebook. Lebih dinamis daripada lembar budaya Koran minggu kita. Saya pernah membaca esai akademis Abdul Hadi WM atau kritik Cunong Nunuk Suraja atas puisi Goenawan Mohammad.
Tiba-tiba dalam kepala saya muncul pertanyaan baru: (kini) Sastra itu apa? Siapakah sastrawan (kini)? Bagaimana standar karya yang (kini) layak disebut sebagai sastra? Facebook juga melahirkan suatu fenomena baru : kemudahan menerbitkan buku. Banyak buku sastra yang terbit dari rahim situs ini. Penerbit-penerbit independen bertumbuhan. Mereka memiliki keberanian menerbitkan karya yang bahkan ditulis oleh pemula sekalipun. Tidak hanya cukup sampai di situ. Penerbitan buku dengan format e-book juga menjadi alternatif bagi mereka yang tak memiliki cukup dana. Dengan demikian, tahun 2010 kemarin bisalah kita sebut sebagai tahun membanjirnya buku-buku sastra. Sesuatu yang ironis mengingat beberapa tahun sebelumnya kita sering mendengar bahwa penerbitan buku puisi merupakan proyek bunuh diri.
Namun dari beberapa buku yang pernah saya baca, sejujurnya, memang banyak yang kurang menggigit dalam hal pencapaian standar estetika – mungkin standar penilaian saya terhadap pencapaian estetika sebuah karya sastra sangat tinggi, he he he -- setidaknya memberi sesuatu yang berbeda dari khazanah sastra terdahulu. Sampai di sini saya harus mengambil pemikiran gegabah bila demokratisasi sastra juga menggerus mutu dan kualitas karya sastra. Akan tetapi, seorang kawan pernah mengungkapkan bila di medium massal seperti facebook, kita tidak dapat menilai dan mengharapkan kualitas estetik memuaskan. Yang harus disyukuri adalah bagaimana orang awam mulai menikmati kata dan mencoba bermain mengolahnya.
Akhirnya, di tengah hujan karya sastra ini, sebetulnya saya ingin menemu nama-nama dengan daya ucap mengejutkan semacam Afrizal Malna, Kriapur, atau Joni Ariadinata. Syukurlah, di tengah riuh rendah dan hiruk pikuk karya sastra di ruang cyber, masih ada nama-nama semacam Sungging Raga, Bernard Batubara, Pringadi Abdi Surya, Steven Kurniawan, atau Arther Panther Olii yang bisa memberi secercah harapan.
Krido Waluyomukti, penikmat sastra facebook. Tinggal di Surabaya Selatan.
Komentar