Cerpen Avianti Armand
Di dalam kepalaku hidup seorang perempuan tua pemarah yang gemar menghentak-hentakkan kaki dan berteriak-teriak. Begitu tuanya, dia menyerupai seonggok pohon kering-keriput, bungkuk, dan bengkok di sana-sini dengan sudut-sudut yang janggal. Suaranya seperti derit roda kekurangan minyak. Jika dia berteriak, aku terpaksa menutup telinga.
Dia menghuni sebuah rumah reyot dari batu tanpa jendela. Hanya ada satu pintu besi berkarat yang selalu berbunyi saat membuka dan menutup. Seluruh dinding rumah itu ditumbuhi lumut gelap yang lebat. Ulat-ulat gemuk berwarna hitam hidup dan beranak-pinak di dalamnya.
Sesekali kulihat perempuan itu mencungkili ulat-ulat tadi dari dinding, memasukkan mereka ke dalam panci, dan membawanya ke dalam rumah. Aku tak tahu apa yang dilakukannya dengan ulat-ulat tadi. Tapi tak lama sesudahnya, asap akan membubung dari cerobong. Ulat-ulat tadi mungkin telah jadi sup atau ramuan pembuat gila.
Aku percaya dia adalah seorang penyihir. Sejak tinggal di kepalaku, belasan tahun yang lalu, perempuan itu seolah berhenti menua.
Aku tak menyukainya. Dia tak menyukaiku. Dia menyukai apa yang tidak kusukai dan tidak menyukai apa yang kusukai. Dia memakiku ketika aku menolong anak laki-laki yang jatuh dari sepeda, dan menjerit-jerit marah ketika suatu pagi aku menikmati suara burung-burung pertama di pohon depan rumah. Jeritannya membuat burung-burung itu kabur ketakutan.
Tapi ia bertepuk senang ketika aku menempeleng pengendara motor yang memotong jalur mobilku. Atau mengajukan saran-saran balas dendam yang benar-benar bagus ketika aku bersungut-sungut keluar dari ruang kerja bosku setelah setengah jam penuh diceramahi karena terlalu sering terlambat. Satu sarannya kujalankan. Hari itu bos terpaksa pulang naik taksi karena dua dari empat ban mobilnya kempes. Tak seorang pun mencurigaiku.
Di saat-saat terburuknya, perempuan tua itu benar-benar menyulitkan. Dia akan memukuli bagian dalam kepalaku dengan tongkatnya, atau menusuk-nusuk otakku dengan jarum jahitnya yang besar. Sakitnya luar biasa. Aku hanya bisa diam-diam menangis sambil membentur-benturkan kepalaku ke benda-benda keras yang terdekat: tembok, pintu, kepala tempat tidur, meja, kursi, wastafel, pinggiran bath tub,… apa saja – dan baru berhenti setelah dia berhenti.
Aku pernah mengusirnya. Tentu saja dia tak mau. Aku mengancam akan meledakkan kepalaku. Dia malah menantang, ”Coba saja kalau berani!” Dia menang. Aku memang pengecut. Sejak itu, dia makin kejam dan sewenang-wenang. Aku tak bisa berbuat lain kecuali belajar menahan rasa sakit agar dia tak selalu menang.
Tapi sore ini dia cukup tenang. Mungkin karena aku sekedar duduk minum kopi di sebuah café di sebuah mal dengan pikiran kosong. Sesuatu yang tak membuatnya geram ataupun senang.
Tak banyak yang lalu lalang di tengah minggu seperti ini. Cuma gadis-gadis dengan baju serba terbuka. Ibu-ibu muda dengan rambut bergulung-gulung dan wangi yang menyengat hidung. Di belakang mereka, rombongan baby sitter berseragam kedodoran membuntuti dengan tergopoh-gopoh. Beberapa menggendong bayi, lainnya membawa tas berisi botol-botol susu dan air panas yang terlihat berat. Tiga lelaki gemuk lewat dengan celana dan kemeja berbunga-bunga cerah yang tak serasi. Satu dari mereka mengenakan kalung dan anting-anting emas. Aku menunduk muak.
”Sen!” Seorang lelaki tiba-tiba menjulang di depanku. Tinggi, tegap, wangi. Wajahnya bersih. Senyumnya berkilau. Aku langsung teringat sebuah iklan pasta gigi, tapi kesulitan mengingat siapa dia. Mataku pasti penuh tanda tanya karena matanya kemudian dengan sabar menuntunku ke sebuah gudang di satu siang, belasan tahun yang lalu.
Di satu sudutnya, seorang anak lelaki kecil dengan celana pendek hijau berjongkok di sebelahku. ”Jangan takut,” bisiknya. Tangannya lalu menggenggam tanganku. Dengan tangan yang lain dia mengangsurkan sehelai selampai untuk menghapus air mata dan ingus. Aku masih menyimpannya hingga kini.
”Ben?” Tanyaku ragu. Dia mengangguk. Senyum pasta giginya melebar, nyaris menunjukkan geraham. Dia langsung duduk di depanku dan, seperti dulu, menggenggam tanganku. Aku tak sempat merasa jengah. Tapi ulu hatiku mendadak kram dan di perutku seekor kupu-kupu raksasa mengepak panik.
”Kamu menghilang begitu saja!” Protesnya. Aku tak yakin harus menjawab apa. Sejak gudang itu, kami memang tak pernah bertemu lagi. Baju pengantin yang kugunting hingga jadi potongan-potongan kecil tak membatalkan pernikahan ibu. Sehari sesudahnya, kami pindah kota mengikuti ayah baruku. Aku minta maaf karena tak sempat berpamitan. Aku berbohong. Sesungguhnya, aku tak berani menemuinya karena takut ia akan meminta sapu tangannya kembali. Aku ingin menyimpannya.
Ben percaya dan memaafkanku. Ia memesan secangkir kopi, lalu duduk menemaniku. Tak banyak yang bisa kukatakan. Butuh waktu untuk memilah-milah tumpukan cerita yang seketika menggunung di belakang kepala. Ben cukup bijak untuk tak bertanya apa-apa. Dia cuma menyesap kopinya pelan-pelan sambil sekali-sekali menatapku. Aku berkali-kali menelan kata-kata yang tersangkut di pangkal lidah. Ketika dia menggenggam tanganku untuk kedua kalinya, kelopak mataku memejam. Di baliknya, perempuan tua itu duduk dengan muka masam. Matanya berkilat sepekat malam.
***
Lelaki yang dicintai ibu mencintaiku juga. Ia suka membelai kepalaku dan membelikan aku berbagai jajanan: permen dan aneka keripik yang mengandung msg. Aku tahu, permen tak baik untuk gigi, dan msg tak baik untuk otak, tapi aku tak peduli. Ibu tak pernah membelikan jajanan dan tak memberikan ayah. Jadi, lelaki ini ideal. Ia akan jadi ayah yang suka membelikan jajanan.
Ia sering memintaku duduk di pangkuannya. Sambil bercerita tentang rumahnya di kota lain yang punya kolam ikan koi, tangannya akan membelai pahaku. Aku suka geli dan menyuruhnya berhenti. Tapi ia tak peduli. Ibu juga tak peduli. Ibu malah senang karena ada yang menjagaku di rumah jika ia menghabiskan waktu dan uangnya di mal.
Di hari perempuan tua itu datang, ibu meninggalkanku dengan laki-laki itu.
Dari udara yang tipis perempuan tua itu menjelmakan burung-burung hitam. Tujuh ekor banyaknya. Mereka berjajar dengan gelisah di bubungan rumahnya. Menanti. Mengancam. Lalu, dengan satu isyarat tangan, gagak-gagak itu menyerbu bola mataku, mematuk-matukinya tanpa ampun.
”Tutup matamu. Kamu tak akan merasa sakit.” Lelaki itu berbohong. Aku merasakan nyeri yang luar biasa di bawah sana. Dan tetap nyeri walau mataku telah terpejam. Aku menjerit. Lelaki itu membenturkan kepalaku ke tembok. Aku menjerit lagi. Ia membenturkan kepalaku lagi. Lagi. Lagi. Aku nyaris pingsan karena sakit yang tak tertahan. Dan rasa mual yang bergulung-gulung. Sesuatu tiba-tiba meledak dalam duburku. Cengkeraman lelaki itu seketika melemah. Ia mencampakkanku di lantai. Isi perutku tumpah saat itu juga.
Entah berapa lama aku tak sadar. Ketika mataku terbuka, burung-burung hitam telah pergi. Perempuan tua itu berdiri diam, mengamatiku berkubang dalam muntahku sendiri.
***
Di depan pintu itu, ia berdiri dengan senyum yang harum. ”Aku berharap kamu cukup lapar.” Ben menjawab bahwa dia sudah tak makan tiga hari. Aku terbahak. ”Aku bahkan bisa makan daging mentah,” lanjutnya, sambil mengerling nakal. Ia mulai genit. Meski begitu, aku merasa sedikit tersanjung. Telingaku tiba-tiba berdenging. Perempuan tua itu menggeserkan ujung tongkatnya yang tajam ke dinding kepalaku.
Ben masuk tanpa kusilahkan. Dengan santai ia melepas sepatu dan melempar tubuhnya ke sofa. Seketika ia melesak. Busa sofa tua itu memang terlalu empuk. ”Apartemenmu nyaman,” pujinya. Matanya menjelajahi studioku yang cuma 42 meter persegi. Dari tempat dia duduk, semua bisa terlihat. Tak sampai lima menit ia selesai memindai semuanya: pintu masuk, dapur kecil, ruang makan kecil, ruang kerja kecil di samping jendela, sofa bed, dan kamar mandi mungil yang cuma ditutupi korden.
Aku menawarinya minum. Ia menolak halus. Matanya tajam menatapku. Jantungku langsung berdebar gila. Agak gugup, aku kembali ke dapur. Sambil pura-pura mencuci tangan yang tak kotor, aku menenangkan diri. ”Aku membuat greek salad dan fish linguini. Kita makan?”
Di atas meja sudah kusiapkan dua piring, dua set sendok, garpu, dan pisau, dua gelas air putih, dua gelas kosong untuk anggur nanti. Semuanya tertata rapi. Ben berdiri menghampiri. Aku menarik kursi, bersiap untuk duduk. Tapi Ben menarik tanganku, menghela tubuhku mendekatinya. ”Kita langsung ke acara utama saja,” ujarnya dengan bibir yang hanya berjarak satu senti dari bibirku.
***
Ibu bilang, anak laki-laki tidak boleh cengeng. Ia tetap pergi meski aku merengek-rengek memintanya tinggal. Saat itu, aku benar-benar membencinya. Laki-laki itu bilang, aku tak boleh bercerita pada ibu, atau ia akan benar-benar menyakitiku. Di balik pintu aku berdiri kaku dengan bibir terkatup rapat dan tinju terkepal erat, lalu mulai berhitung.
Satu, dua, tiga. Laki-laki itu menggandengku ke kamar. Empat, lima, enam. Laki-laki itu melucuti celanaku. Tujuh, delapan, sembilan. Ia menelungkupkanku di tempat tidur. Tangannya mulai menggerayangi pantatku yang terbuka. Aku menutup mata erat-erat. Di hitungan kesepuluh, pintu rumah perempuan tua itu terbanting terbuka. Mukanya marah. Sebelas, dua belas. Lelaki itu menindih tubuhku. Napasnya mulai terengah.
Tiga belas. Perempuan tua itu berteriak garang. Dari mulutnya keluar kata-kata paling kotor yang pernah kudengar. Laki-laki itu terjengkang kaget. Dengan sigap perempuan tua itu meraih lampu baca di samping tempat tidur. Sepenuh tenaga, dihantamkannya kaki lampu itu ke kepala laki-laki. Besi beradu tulang. Aku mendengar suara retak. Tubuh lelaki itu terpuruk ke lantai. Darah merembes pelan dari lukanya. Sekali lagi perempuan tua menghantamnya. Lagi. Lagi. Lagi.
Empat belas, lima belas. Lelaki itu tak bangun lagi. Di dalam kepala, tawa serak perempuan tua itu menggema tak henti-henti, menelusup ke rongga-rongga kecil di tengkorakku. Aku menggigil. Rasa dingin seketika menyelimutiku.
***
Sambil berbaring di tempat tidur, kuceritakan pada Ben tentang masa kecilku yang bahagia. Ayah tiriku mati muda. Tapi ibuku segera menikah lagi. Kami pindah keluar negeri. Aku punya dua adik tiri perempuan yang manis-manis. Ibuku meninggal tahun lalu setelah tiga tahun menderita kanker rahim. Aku kembali ke sini sesudah lulus kuliah dan langsung bekerja sebagai editor mode di majalah wanita dengan oplah terbanyak di Indonesia. Hingga kini.
Ben membelai rambutku. Dia bilang, dia senang bisa bertemu kembali denganku. Sejak berpisah dulu, dia tak bisa melupakanku. Mataku berair. Ben terlihat kuatir. ”Kenapa, sayang?” Aku bahagia, sahutku cepat.
Di dalam kepalaku, perempuan tua itu menggerutu. Ember di tangannya kini kosong. Aku tak tahu, cairan apa yang tadi disiramkannya ke mataku. Rasanya perih sekali.
____
Jakarta, 26.11.10.
Komentar