Tahun sudah memasuki paruhnya yang kedua dan aku tetap saja terbang dengan sebilah sayap. Terbang menuju matahari, barangkali. Ketika kadang-kadang kurasa terbangku kian laju, aku meraba-raba punggungku: memang seperti ada setengah sayap sedang tumbuh, tapi aku tak percaya. Itu hanya bayangan tulang belikat belaka, yang hendak meringankan bebanku. Aku harus menemukan sayapku yang satu entah di mana—mungkin di Ubud, Bandiagara atau Cava dei Tirreni. Ada yang bilang aku terbang menuju masa depan. Tapi kian lama aku terbang, yang kulihat di bawah sana adalah apa-apa yang kian berwarna sepia. Kota-kota, pakaian dan gaun, gedung-gedung, jalan-jalan, rambut perempuan, wajah anak-anak, sekolah-sekolah bagi orang asing, barisan yang mengacungkan panji-panji raksasa—semua kian mirip dengan pemandangan yang dilihat ibu-bapaku, kakek-nenekku, dan penulis tarikh dari masa dulu. Pemandangan yang makin ke sana hanya berwarna hitam-putih belaka. Kalau pun aku terbang menuju matahari, tu...
sastra ialah sesuatu yang tumbuh dari segala keterasingan, kesunyian serius yang tercipta ketika manusia dalam keadaan terdesak! namun sastra (harus) serius? tidak juga!