Langsung ke konten utama

Sebuah Esai Semenjana : Sastra Blog Kini

saya teringat bahwa saat ini saya sedang berada di depan komputer dan sedang mengupdate blog pribadi saya yang satu bulan ini hampir tak tersentuh. maka, esai semenjana ini semoga turut meramaikan blog saya. ternyata kian hari jumlah sastrawan yang ngeblog semakin lama makin banyak. saya baru tahu jika Nirwan Dewanto juga turut ngeblog. walau blognya masihlah minim tulisan. namun inilah terobosan dari salah satu maestro sastra Indonesia.
Nirwan menyusul para sastrawan lain yang sudah ngeblog terlebih dahulu, semacam Ook Nugroho, M Aan Mansyur, Binhad Nurohmat, dll. kiranya jumlah ini masih akan terus bertambah. mengapa? karena via bloglah siapa tahu kita akan menemu kegenitan yang tidak mungkin termuat di media. beberapa waktu lalu saya sempat berdiskusi dengan salah satu penyair Surabaya Dheny Jatmiko. Dheny begitu mengkhawatirkan bahwa sastra kelak akan tercampur dengan kitsch di dalam perkembangannya. sekronik itukah? eits, sabar dulu bung! saya kira tak separah itu. bukankah setiap zaman akan menampilkan sastranya yang berbeda? coba, sebagai perbandingan, tolong beri definisi, apakah novel ayat-ayat cinta dan laskar pelangi termasuk dalam kategori sastra?
menurut sebagian kritikus sastra bolehlah dua novel itu berada di tengah-tengah, atau masih dalam tataran "semisastra". tapi bagaimana bila itu menyangkut selera masyarakat umum yang menjadi konsumen sastra saat ini? bukankah pasar juga hal yang tak dapat ditampik dalam sastra. saya tidak tahu atas ketakutan apa Mas Dheny mengatakan hal tersebut. tapi sekali lagi tak bolehkah bila saya berandai-andai bila kelak antologi puisi hanya ada dalam bentuk cyber yang harus didownload.
sesungguhnya ikhwal mengenai dunia maya dan sastra tak perlu lagi diperdebatkan. bukankah Borges sudah lama mempersepsikan hal tersebut? dan dalam perjalanan ke depan arus sastra blog tidak akan dapat lagi dibendung. sebab dua variabel ini adalah dua hal yang seiring sejalan.

Komentar

Lemari Sastraku mengatakan…
kenapa 1 bulan gak nyentuh komputer?
kalau menurut saya sich laskar pelangi dan ayat-ayat cinta tu sastra dan bukan atau semi sastra, tinggal kita melihat dari susut mana dulu.
kalo menurut aku sendiri, itu keduanya itu memang sebuah karya sastra yang berada dalam situasi sekarang, maksudnya dalam situasi dimana manusia sudah haus akan karya sastra yang dapat mengubah sebuah kehidupan sosial. sehingga saya berani menganggap keduanya itu karya sastra.
saya bersepakat bila sastra lebih ditentukan oleh sudut pandang sampai di mana kita memaknai sastra, apa definisi sastra, dan teks seperti apa yang harus dikatakan sebagai teks sastra. nah, tentu tiga hal di atas menyangkut selera yang "ndilalah" terus bergerak, berjalan berubah sesuai dengan semangat zaman.
Harkan mengatakan…
Berarti kita perlu menentukan standar bagaimana sebuah karya tulis dikatakan sastra dan tidak.

Kalau saya sendiri masih pelajar kelas 3 SMA, adakah buku yang secara substansi demikian (memuat standar sastra) dan dijadikan acuan minimal 1 komunitas sastra / civitas academica nasional di Indonesia??

Sehingg tidak ada fenomena pemaknaan ganda..
*Kebenaran (kan) selalu hanya ada satu.

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI