Langsung ke konten utama

Pelukis Gelombang Laut

                                                                 
Cerpen Dody Kristianto*


Perempuan itu terbangun dari tidurnya. Tubuhnya perlahan bangkit dari lautan yang selama ini menyelubunginya. Ia nampak elok nan gemulai. Benar-benar menunjukkan sebuah arsiran dan detil rinci air lautan yang membentuknya. Cahaya bulan terang memberi warna kuning langsat pada kulitnya yang semula bening. Ia nampak rupawan. Rambutnya tergerai panjang. Setiap lekuknya berasal dari percikan gelombang. Gelombang nyalang, ketika malam sangat hening dan tak ada suara lain terdengar selain deru gelombang yang panjang.
Dan perempuan itu mulai melangkah gemulai. Matanya menatap bulan yang nampak bulat sempurna. Dari wujud kesempurnaan bulan, mata perempuan terbentuk, sangat terang dan meneduhkan bagi siapa pun yang beradu pandang. Ia merentangkan tangan. Lalu satu demi satu tetes air terbang membalut tubuhnya. Lantas buliran air itu berubah menjadi gaun putih nan anggun. Berpadu padan dengan wajahnya yang seterang cahaya bulan.
Lalu perempuan itu berjalan. Sangat pelan. Ia meninggalkan gelombang yang selama ini membungkusnya. Keanggunannya bagai seorang putri kerajaan. Kerajaan yang hanya ada dalam khayalan. Kerajaan bagi mereka yang percaya impian. Perempuan itu ibarat kupu-kupu terlahir dari butir kepompong. Butir kepompong gelombang yang tak henti menerjang daratan. Lalu perempuan itu berjalan pelan. Ia menatap jauh. Memandang ke arahku…
***
Perempuan yang tercipta dari gelombang itu adalah imajiku yang tertuang dalam wujud lukisan. Lukisan yang kuhibahkan kepada kantor dan kini terpajang di tengah ruang kantor. Lokasi yang kukira sangat strategis. Orang-orang yang berlalu-lalang bisa menikmati lukisanku. Bahkan bosku pun mengakui hasil goresan kuasku. Ia mengatakan kalau aku sepatutnya menjadi seorang seniman, bukan kasir pada pekerjaanku saat ini. Aku hanya tersenyum kecut mendengar pujian dari bosku. Juga rekan-rekanku yang lain. Namun mereka tidak tahu yang kurasakan selama ini. Mereka tak mengerti sesuatu yang membayangi diriku.
Yang selama ini terjadi adalah gejolak jiwaku. Gejolak jiwa yang menderu ketika menyaksikan gelombang menerjang. Gelombang yang mengasah dan membentuk diriku hingga aku tabah menghadapi kerasnya kota besar. Gelombang yang senantiasa membayangiku ke manapun. Di mana aku berada, aku selalu terngiang mendengar bisikan gelombang. Sampai pada inti atom terdalam, aku kerap terhanyut oleh partikel-partikel gelombang.
Aku dibesarkan di sebuah desa nelayan. Desa tepi pantai, yang hidup sehari-harinya takkan dapat terlepas dari gelombang. Karena dari situlah para penduduk memperoleh nafkah. Termasuk juga ayahku. Sebenarnya ketika masih berusia 6 tahun, aku adalah anak yang paling enggan diajak melaut. Aku lebih memilih bermain di hamparan pasir pantai, mencari tempat yang agak jauh dari bibir pantai. Terkadang aku bersembunyi di tempat penjemuran ikan, saat ayah maupun saudara-saudaraku yang lain mengajakku melaut. Aku berlari sekencang mungkin, menghindari kejaran mereka.
Gerak gelombang yang selalu menerjang membuatku sangat takut kala itu. Aku tak pernah bisa membayangkan, mengapa pergerakan sekumpulan tetes air yang bersatu dengan tetes lainnya dapat menghasilkan tenaga yang begitu besar. Bahkan aku kerap berandai-andai seumpama gelombang yang menerjang itu sebesar rumah. Bahkan lebih besar dari rumah. Tentu gelombang itu akan menelan tubuh kecilku. Menggilingnya dalam satu gilasan raksasa yang membuat diriku hancur berkeping-keping. Sebuah fantasi yang kubayangkan setiap detik dapat terjadi pada diriku.
Apalagi, aku pernah mendengar cerita dari orang-orang tua di desa, bahwa gelombang besar pernah melanda desaku, menewaskan beberapa orang, termasuk kakek dan nenekku. Cerita yang membuatku bergidik. Pun yang bercerita adalah paman dan bibiku. Mereka adalah orang yang selalu mengatakan padaku, bahwa merekalah yang mendidik ayah menjadi seorang nelayan tangguh, setelah orang tua ayah meninggal. Lantas mereka menyuruh aku agar tidak bermain-main dekat pantai karena pantai dijaga oleh dedemit yang setiap saat akan mencari tumbal anak kecil seusiaku.
Namun berbeda dengan ayahku. Ia selalu berpikir bahwa gelombang adalah kawan bagi nelayan. Tidak akan ada gelombang yang menelan nelayan. Gelombang akan mengantar nelayan menuju sumber penghidupan. Tak ada yang harus ditakutkan. Hal ini selalu ditanamkan ayah pada teman-temannya, termasuk pada anak-anaknya, tak terkecuali diriku. Memang ayah dikenal sebagai penyemangat di kalangan nelayan lainnya. Bila nelayan-nelayan lain berputus asa menghadapi sedikitnya hasil tangkapan, maka ayah akan membakar semangat mereka. Ia meminta para nelayan melaut lebih jauh lagi hingga didapat hasil tangkapan yang memuaskan.
Tapi aku tak tahu mengapa, setiap kali ayah dan saudaraku yang lain mengajakku melaut, aku selalu enggan. Sudah berkali-kali kukatakan pada ayah dan saudara-saudaraku bila aku takut akan gelombang yang setiap saat menelanku. Lantas, ayah marah bila aku selalu mengatakan hal yang sama. Terkadang ia sampai memukul pantatku hingga aku menangis sekerasnya. “Tidak ada gelombang besar. Kamu tidak boleh jadi penakut. Kamu itu lelaki yang tumbuh di lautan”, tandas ayah di tengah tangisanku. Namun biasanya ibu akan mendekatiku dan menenangkanku. “Cup cah bagus, ayahmu hanya ingin kamu berani melaut. Kamu harus berani nak. Gelombang itu tidak menakutkan!”, tukas ibu sembari menggendongku. Setelah itu segalanya akan berlangsung seperti biasa. Aku bersembunyi menghindar tiap kali ayah mengajakku melaut.
Suatu ketika, aku bernasib sial. Saudaraku tertuaku memergokiku sedang bermain di tempat penjemuran ikan. Ia mendekapku dengan erat. Aku meronta semampuku. Akan tetapi sia-sia. Tubuh kakakku terlalu kuat untuk kugoyahkan. Aku hanya bisa menangis sekeras mungkin. Sedang tubuh kecilku ini sudah pasti akan dibawa ke kapal, melaut bersama ayah dan nelayan lainnya.
Hawa pengap dan amis ikan segera menyergapku. Begitu juga dengan ayunan gelombang yang menghentak kapal. Seketika itu aku merasa pusing. Aku tak berani menatap sekitar. Tubuhku meringkuk di sudut kapal sembari menangis sekuatku. Nelayan yang lain hanya tertawa melihat tingkahku. Tapi tidak dengan ayah. Ia langsung menentengku, membawaku ke bagian depan kapal. “Lihat ke depan. Tidak ada yang harus kamu takutkan”, seru ayah.
Aku terus menangis sambil melihat ke depan. Tampak hanya ada hamparan gelombang laut dan garis khayal pertemuan antara langit dan lautan. Aku lantas terdiam memandang apa yang tergelar di depanku. Sungguh indah. Lebih indah disbanding pemandangan serupa yang kusaksikan di daratan. Mengetahui tangisku mulai lerai, ayah langsung mengelus rambutku. “Bagaimana Nak? Tak ada yang harus kamu takuti kan?”, kata ayah sambil mengecup ubun-ubunku.
Ayah pun melepas gendongannya pada tubuhku. Perlahan ia meninggalkan aku. Sementara aku masih termangu di pinggir kapal, membiarkan gelombang menggoyang tubuhku. Aku masih terpana oleh pemandangan yang baru saja kusaksikan. Lalu aku menengok ke bawah, berkaca pada gelombang yang masih menderu. Aku menyaksikan bayanganku terpantul kabur, bersahutan dengan gelombang laut yang terus saja bergerak. Gerakan lamat-lamat yang bisa kupandang. Bahkan kunikmati bersama air mataku yang mulai mengering.
Hari-hari selanjutnya, aku berani ikut rombongan ayah melaut. Aku mersakan goyangan gelombang sebagai suatu buaian. Bagaimana sinar matahari yang memantul di lautan membuat imajinasiku melayang. Terkadang aku memikirkan gelombang itu tiba-tiba menjelma sekawanan kupu-kupu. Melayang dengan lincah di atas lautan. Lalu, tiba-tiba seekor ikan berukuran lumayan besar melesat, menenggak kawanan kupu-kupu itu. Tidak hanya sebatas ikut melaut, kala fajar belum menyingsing aku telah berdiri di bibir pantai. Merasakan bagaimana gelombang laut memerciki kakiku.
Gelombang laut makin lama makin menjadi-jadi di depanku. Ia seolah memainkan sebuah pertunjukan besar. Aku kerap menyaksikan sebuah kapal rakssa menyembul dari balik gelombang. Kapal yang berukuran lebih besar dari kapal yang biasa digunakan ayahku melaut. Kadang juga wujud satria berkuda yang berderap di atas laut. Ia berlari menuju arahku yang diam termangu di bibir pantai. Lantas ketika akan menerjangku, satria berkuda itu pecah, menjelma kembali gelombang yang menabrak tubuhku. Aku tersadar bahwasanya tubuhku baru saja diguyur oleh sepercik gelombang. Gelombang yang selalu kupermainkan dan mengajakku bermain-main.
Aku belajar untuk menggambar wujud-wujud yang dibentuk oleh permainan gelombang. Aku menorehkan coretan di atas pasir. Coretan beraneka ragam. Ada kalanya sesosok satria, kemudian sepasang pengantin yang berjalan di atas lautan, atau pun seekor elang yang melesat tiba-tiba dari balik gelombang. Coretan yang selanjutnya mewarnai pesisir pantai dan membuat para nelayan terheran-heran dengan tingkah polaku.
Seiring berlalunya waktu, gelombang masih terus berderap di dalam otakku. Ketika aku telah bersekolah kebiasaanku menggambar gelombang masih terus berlanjut. Intensitasnya bahkan semakin menggila. Sepulang aku bersekolah sampai menjelang malam aku masih duduk di bibir pantai, sembari menunggu gelombang membentuk dirinya jadi bermacam wujud. Termasuk wujud seorang putri rupawan. Lalu putrid itu berjalan perlahan menghampiriku. Terus aku mulai menggambarnya di atas buku gambar, memberinya gaun beraneka ragam yang terbuat dari butiran gelombang pula. Aku melakukan hal ini ketikahampir malam dan bulan purnama menjelang. Namun seperti sebelumnya terjadi, gelombang itu tak pernah membentuk dirinya menjadi seorang putri. Aku pun tetap termangu di bibir pantai.
Bahkan aku lebih sering terduduk sendirian ketika malam. Menanti putri rupawan melangkah pelan ke arahku. Menjulurkan tangannya dan ia mengajakku berdansa. Seolah aku adalah seorang pangeran yang telah lama dinantinya. Lalu kami berdua pun berdansa, beriring musik gelombang yang terus bergulung tanpa henti. Tanpa pernah mengenal waktu. Tak hanya di atas gelombang. Aku berdansa dengan sang putri di atas kertas putih yang telah kupersiapkan. Kertas yang akan tergores dengan sapuan gerakan lembut kami berdua.
Ternyatalah, putri rupawan hanya gejolak dalam hatiku yang tak mampu kuredam. Gejolak yang muncul dari kegilaanku terhadap gelombang. Gelombang yang semula kutakuti ternyata jadi bagian tak terpisahkan dalam hidupku. Aku merasa tubuhku turut tercipta dari tetesan gelombang dan sedang menunggu suatu penyatuan dengan gulungan gelombang.
***
Kini aku hidup di kota besar dan bekerja sebagai seorang kasir. Sudah 14 tahun aku meninggalkan desa, meninggalkan terjangan gelombang yang telah menempa dan membentuk diriku. Kali terakhir aku melihat gelombang di desa 7 tahun lalu, ketika menghadiri pemakaman ayah. Seorang lelaki tua yang begitu bangga pada gelombang hingga nafas terakhirnya. Ia tetap gagah meski dibalut tubuh renta. Berada di tengah gelombang untuk mencari sebanyak mungkin ikan. Menurut saudara-saudaraku, ayah memang sempat melaut sebelum ia mangkat.
Aku menyaksikan telah banyak yang berubah di desaku. Tempat aku biasa berdiri menatap gelombang telah digerus oleh gelombang. Maka pemerintah setempat membangun pemecah gelombang agar gerusan itu tidak sampai pada rumah penduduk. Kukira gelombang merangsek memakan pantai karena kerinduan mereka pada diriku. Kerinduan yang sangat terlalu hingga mereka berderap kencang mencari diriku. Aku tak pernah ragu akan hal itu.
Di kota aku sangat tersiksa. Tak ada gelombang yang dapat aku abadikan. Setiap aku berjalan-jalan di tengah kota, yang kulihat hanyalah gelombang yang telah terpecah pada aliran sungai-sungai kecil yang kotor. Dan di sungai yang kian keruh itu, aku mendengar mereka merintih merasakan perilaku manusia kota yang tak pernah benar-benar memahami mereka. Rasa sakit mereka sampai ke telingaku, mengiris-iris hatiku. Membuat darahku memanas dan menderu kencang. Aku sudah tidak kuasa mendengar rintihan mereka.
Di tepian pantai kota yang juga kotor, aku mencoba menggambar gelombang sebagai mayat-mayat yang bangkit. Dan dalam kesenyapan malam, mayat-mayat itu melangkah dan mengepung kota yang tengah terlelap. Wajah mereka teramat mengerikan. Tangan mereka yang penuh darah memanjang, mencari tubuh manusia. Lalu mayat-mayat itu masuk dalam mimpi manusia, menghantui mereka, lantas menenggelamkan mereka dalam satu terjangan gelombang besar. Manusia tak berdaya. Mereka kelam dalam keganasan gelombang. Termasuk diriku.

*) mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI