Oleh Yusuf Ariel Hakim
Sebut saja ia perempuan. Entah mengapa aku suka sekali menyebutnya begitu. Satu yang pasti, aku tidak tahu persis pernah bertemu di mana. Barangkali ingatanku yang tak begitu cakap mengingat kenangan. Tapi mataku mengatakan kalau ia benar-benar perempuan, tak usah kau tanyakan yang logis kepadaku mengapa aku suka menyebutnya demikian, karena ia sendiri sangat suka sekali dipanggil demikian. Dan ia perempuan, sangat berterima kasih sekali padaku dengan sebutannya itu. Sejak saat itu ia perempuan selalu mengikuti kemana aku pergi.
Awalnya aku sangat kaku ketika ia perempuan memintaku bersedia menjadi teman bicaranya saat kita bertemu. Tentu saja, aku sangat sedikit curiga padanya, kenapa ia perempuan tiba-tiba membuat keakraban yang bagiku benar-benar sangat canggung. Ataukah ini hanya perasaanku saja yang berdebar-debar untuk mencoba respek berbicara dengannya. Dan sungguh-sungguh ternyata ia perempuan benar-benar tidak peduli dengan sikapku padanya.
Maka dari itu, aku meminta kau untuk sudi memecahkan kasusku yang sangat membuat hidupku menjadi sangat pelik. Itu pun kalau kau mau percaya pada semua ceritaku. Tapi meski kau tak percaya dengan ceritaku, aku tetap akan menceritakannya, tentu saja dengan gayaku sendiri untuk menceritakannya.
Satu yang pasti, aku pernah bertemu dengannya, ia sosok perempuan. Murni seorang dari wujud manusia yang berlekuk tubuh proporsional. Matanya yang lentik. Pipinya yang berlesung pipit. Dan dadanya yang berisi serta hidungnya yang mancung, menggambarkan seperti sosok selebritis yang pernah aku baca dalam sebuah tabloid perempuan.
Seperti sebuah kisah drama romantis atau seperti sebuah pertunjukkan teater, di mana tokoh perempuan yang selalu digambarkan klasik dengan airmatanya ketika dirundung masalah bercerita terbata-bata tanpa permisi dulu kepadaku, begini:
Setiap laki-laki selalu sama, begitu klasik dan pembual. Tak ada cerita yang tak pernah mengatakan sosok lelaki tak pernah selingkuh. Ah, mengapa aku begitu bodoh dan terpedaya olehnya, sosok lelaki.
Aku pun yang saat itu tengah berada di sampingnya, tentu saja merasa terkejut dan sedikit marah tatkala kejelekan kaumku diceritakannya, meski aku sendiri juga agak sepakat dengan kata-katanya itu, maka aku pun mencoba masuk dalam penceritaannya. Tentu saja, seperti lelaki dalam kisah-kisah romantis atau seperti sebuah pertunjukkan teater, aku pun pura-pura merasakan kesedihannya.
Setiap perempuan selalu sama, sepintar dan sepandai apapun dia, begitu mudah terpedaya dan mudah terbujuk rayuan gombal dari laki-laki. Tak ada cerita yang tak pernah mengatakan perempuan tak pernah terluka oleh laki-laki. Dan rupanya seakan-akan bagi mereka, bahwa menangis adalah sebuah senjata pamungkas bagi laki-laki. Bahkan banyak laki-laki bertekuk lutut dengan senjata mereka ini. Ah, mengapa aku begitu bodoh dan terpedaya olehnya, sosok perempuan.
Ia perempuan yang saat itu tengah berada di sampingku, tentu saja merasa terkejut dan sedikit marah, namun sedikit memberi senyum tatkala kehebatan kaumnya aku sebutkan. Dan ia pun mencoba masuk dalam penceritaanku yang sebenarnya hanya sebuah kisah pembicaraan yang tak pernah disengajakan ini, tapi merasa disengajakan oleh waktu yang sebenarnya tidak tepat ini.
Aku tahu engkau tak lebih sekedar berpura-pura dan sedikit beragumentasi untuk menyatakan bahwasanya engkau turut merasakan kesedihan diriku, bukan. Tak usah kau jawab, aku sebenarnya tidak butuh perhatianmu apalagi belas kasihanmu. Percuma, engkau berputar-putar mencari kata-kata hanya untuk menyejukkan hatiku ini, lelaki.
Gila, pikirku sosok perempuan ini. Tapi sebagai lelaki yang bolehlah disebut sejati, aku pun pura-pura menunjukkan keterkejutanku, kemarahanku. Tentu saja aku bungkus dengan embel-embel ketulusan kata-kata yang manis.
Nah itu yang kumaksud, terkadang engkau salah maksud dengan perkataanku, perempuan. Boleh kan aku panggil kau demikian? Apa untungnya aku mengasihanimu? Dan apa untungnya aku turut merasakan kesedihanmu. Serta untuk apa pula aku berputar-putar kata untuk menyakinkanmu apalagi bermanis-manis ria dengan kata-kata yang tak ada jelas maksudnya. Percuma! Engkau nangis sampai keluar matamu pun aku bahkan tak peduli. Sah-sah saja engkau menangis seharian atau kalau perlu berminggu-minggu sampai mungkin bertahun-tahun, toh aku tidak pernah ada kan dalam skenario ceritamu, bukan? Hahaha, lanjutkan kembali aja, rengekanmu itu. Aku rasa engkau suaramu benar-benar terasa merdu jika menangis. Ini bukan memuji, atau mencaci, tapi benar adanya dari pandanganku semata.
Aneh, pikirnya tentang aku ini. Gelagat penasarannya pun terbaca olehku. Dan aku mencoba menunggu jawabannya atas pernyataanku itu.
Diam.
Hening.
Sepi.
Tak ada suara.
Tak ada tangis.
Tak ada marah.
Tak ada kata-kata.
Detik.
Menit.
Jam.
Berlalu.
Gila, teriakku keras-keras memecah kesunyian. Kenapa kau tak bersua? Kenapa kau tak marah? Kenapa engkau diam? Kenapa tak menangis lagi? Kenapa? Bukan seperti patung begini. Sinting, perempuan edan, kau!
Diam.
Hanya terdengar gaung-gaung suaraku, memekakkan telingaku sendiri.
Jawablah perempuan, jawablah. Ini bukan kisah-kisah romantis atau sebuah pertunjukkan teater yang dramatis. Ini kenyataan, antara kau dan aku. Tidak ada penonton, maka bicaralah. Tidak ada siapa-siapa.
Sepi.
Hanya terdengar gaung-gaung suaraku, memekakkan telingaku sendiri.
Edan. Janganlah begini perempuan? Apa maumu dariku? Apa keinginanmu? Jawablah! Bersuaralah! Jangan bikin aku tolol dan menderita seperti ini.
Tiba-tiba aku melihat gelagat bahwasanya ia perempuan akan segera marah. Atau setidak-tidaknya membikin ucapan yang sepadan. Atau tamparan-tamparan tangan di wajah seperti dalam kisah-kisah drama romantis di beberapa televisi yang pernah aku lihat.
Ia berdiri.
Ia berdiri.
Ia berdiri.
Terima kasih, aku suka dengan gayamu. Aku suka sekali kau memanggilku perempuan. Romantis. Belum pernah aku mendengar kata-kata sebutan itu, padaku lelaki. Perempuan, ya perempuan. Mungkin itu nama yang pantas untukku, atau memang benar-benar itulah namaku yang telah aku tanggalkan beberapa tahun lalu. Perempuan, yaya perempuan, yaya perempuan tiba-tiba ia tertawa sendiri seperti tak mengacuhkan kehadiranku di sisinya.
Kakiku lemas.
Bibirku bengong.
Dan ia perempuan masih tertawa, sendiri.
Keras dan makin keras.
Biodata penulis:
Yusuf Ariel Hakim. Lahir di Surabaya, 1 April 1982. Bergiat di KRS (Komunitas Rabo Sore). Masih tercatat sebagai Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.
Komentar