1. tugu--malioboro, turun kereta
“duh malioboro yang tua--selepas sajak menjelma fatwa
memang, tiada cerita buat penyair penghuni celana!”
2. alun-alun utara yogyakarta, 21:58
untuk kesuyian yang tak diisyaratkan, kubangun senarai kuburan
dengan nisan berpahatkan nama manusia yogya
--tapi cahaya tetap ada
ditampung luas area alun-alun utara
sedang untuk sebait lagu lama, yang sepi
dengan melodi dan melankoli tentang setitik air di daun keladi
--malam beranjak tidur. ranjang-ranjang bumi,
dinding keagungan dan kehinaan--menutup kisah
di antara reruntuh sejarah yang ditulis orang tadi siang
namun barisan tiang serta lampunya setia membagi cahaya maya, dan entah
--berjaga untuk siapa; bagi yang berdiri, bagi yang lelap tercampak di geladak becak
tanpa selimut, bagi yang luput dipagut maut, bagi yang sengau mengigau,
mengaji alif-alif mimpi, atau sekedar memesan kopi di kedai-kedai sunyi
ah, semua kuisyaratkan: kota yang berjaga dalam tidurnya,
bulan pingsan di tilam awan, selaksa bunga renjana,
atau selembar daun yang terbaring hampa --menunggu pagi tiba
lalu disapu angin tenggara
3. kalatidha: apokalipsa bulaksumur
keadilan yang sunyi, waktu berperigi, dan manusia menggali kubur
--kuburnya sendiri, untuk waktu --waktunya sendiri
hanya cerita yang diam: udara demam yang karam,
beburung murung, matari muram--limbung di dahan asam.
cerita yang beku; dari belahan asing
engkau dan gendingmu bertalu--menanam waktu
di beludru zaman kalabendu. siang lemas
-seperti suara mengulum nafas
tapi mengapa berlalu demi cerita yang beku. bukankah,
sejarah juga milik orang kalah, milik rumput gelagah,
milik ampas atau sepah?
ah, kutulis saja puisi, sebab waktu berperigi
dan keadilan (masih) berdiri di rembang sunyi
4. bertemu peziarah di alun-alun utara yogyakarta: malam kedua
yogya, didatanginya dengan pendulum mata sarat asam cuka
lantas ia berjaga, menghela kata demi kata
--menziarahi luka-lukanya yang fana, seperti isa--menempuh tirakat panjang
sebelum hari ketiga tandas ke lengang jurang
dalam suaka tanpa nama--untuk seserpih dalih yang gigih--bertaut ia
menjaring angin dan ombak parangkusuma
seraya membujuk kantuk pelupuk yang lapuk. dan pedih mata
memilih setangkup malam di selasar yogya
“duh, tahun sial memintas-penggal
rinduku bertemu kampung asal--haluan nasib tanpa hantaman sakal.
tiada aku membual, ini demi sebuah titah sakral”
ia memandang tanah lapang, jauh
sejauh gunung ketujuh; merayakan jenuh
lalu bangkit ia, mencari teduh--seperti ada teluh yang tumbuh
di ujung subuh
5. surakarta: penginapan kedua
riuh rendah, arak-arakan orang kalah--angslup,
dihirup hawa dingin
dan keramaian yang lain
sepanjang lorong memutih dan hening kerajaan sunyi
wangi teracuni. dusta manusia di pasar-pasar
-kumuh seluruhnya
gaduh yang rusuh
menanggung memar ke dasar akar
“kami bertaruh, berebut suluh
di kerumitan dan bising jalanan, raung gelisah (coba) dipetakan
--kota tua, mengapa sendu jadi aib tak tertahan?”
6. jalan slamet riyadi, malam hari
“aku patung batu--diam sebisu perunggu
meski ditingkah gelora--melebihi haru
kuacungkan lubang peluru ke sudut langit ungu!”
maka segala abai, seakan renyai; membangun karnaval sepanjang malam,
sepanjang jalan, meski untuk suatu yang terinsyafi--slamet riyadi,
terbungkus halimun sunyi
“tak perlu kau rangkai bunga untukku. mereka ada,
seolah memilih warna; antara duka dan bahagia, seperti prosa
yang tetas--mengeras di aras ambiguitas!”
(ah, tibalah jua: menjelang pukul 9 malam hari, solo bermandi uap sepi
mengigau sendiri di tepi rel tak terlewati)
7. blues, berujung di sri tanjung
kakofon kereta mendesak ke cakrawala, sayang
dengar sekali lagi, kakofon kereta beradu
meski nanti di stasiun terakhir, kitalah pasasir yang tersingkir
sayangku yang bijaksana, dalam perjalanan kelas tiga
--kita hanya rama-rama, dengan tiket satu jurusan nan sederhana
nan pudar--meski masih berpendar merah--seolah tanpa sejarah
Komentar