Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Mas Marco Kartodikromo


Sama Rasa dan Sama Rata
Sair inillah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,

Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,

Kami bersair boekan krontjongan,
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,

Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.

Ini sair nama; "Sama rasa"
"Dan Sama rata" itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.

Didalam pendjara tidak enak,
Tertjere dengan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.

Tapi dia djoega bangsa orang,
Seperti manoesia jang memegang,
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.

Ada perampoek aloer dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Dengan berlakoe jang tidak terang.

Dia itoelah sama perampoeknja,
Minta orang dengan lakoe paksa,
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.

Hal ini baik kami koentjikan,
Lain hal jang kami bitjarakan,
Perkara jang mesti difahamkan,
Dan akhirnja kita melakoekan.

Banjak orang jang mengetahoei,
Doea kali kami kena doeri,
Artikel wetboek jang menakoeti,
Djoega panasnja seperti api.

Kakik kami soeda sama loekak,
Kena doeri jang koeintjak-intjak,
Djoega palang-palang jang koedoepak,
Soedah ada sedikit terboekak.

Haraplah soedarakoe di tendang,
Semoea barang jang malang-malang,
Soepaja kita berdjalan senang,
Ketempat kita jang amat terang.

Boeat sebentar kami berhenti,
Didjalan perempat tempat kami,
Merasakan ketjapaian diri,
Sambil melihati djalan ini.

Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Seperti anak jang beloem oesia,
Dan beloem bangoen dari tidoernja.

Kami sampe didjalan perempat,
Kami berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat,
Ketinggal misih djaoeh amat.

Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen penharapan ta’ poetoes,
Kaloe perloe boleh sampe mampoes.

Djalan jang koetoedjoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas,

Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: "Sama rasa, sama rata."

Sinar Djawa Rebo 10 April 1918 no. 81


Badjak Laoet

"Ha! ini tanah bagoes sekali,
Soedah tentoelah kita diami,
Djalan mana jang kita laloei,
Boeat merampas tanah ini!"

Begitoe berkata badjak laoet,
Melihat tanah toemboeh djoewawoet,
Jang bisa membikin kenjang peroet,
Dan bisa djoega membikin gendoet.

"Baik kita orang mendekati,
Poelo jang bagoes tertampak asri,
Berkenalan dengah orang boemi,
Dia oranglah jang mempoenjai"

Begitoelah kata kepalanja,
Badjak laoet bangsa jang doeraka,
Hendak mendekati ditepinja,
tanah jang penoeh harta doenia.

Badjak laoet poerak poerak dagang,
Barang makanan ditoekar oeang,
si Badjak Laoet merasa senang,
Dan timboel tabiat binatang.

Dia orang bikin hiroe hara,
Dia melakoekan dengan paksa,
Bertabiat seperti raksasa,
Pada orang jang tidak berdosa.

Toean tanah selaloe melawan
Dengan gagah dan keberanian,
Banjak badjak jang ditawan,
Diikat tali seperti chewan

Minta dame kepalanja badjak,
Dengan berdjandji jang enak enak,
Asal temannja tidak diroesak,
Ditendang dipoekoel atau didoepak.

Toean tanah djoega menoeroeti
Permintaannja dengan berdjandji,
Tiada boleh berlakoe kedji,
kepada semoea orang boemi.

Badjak, laoet poen soedah menoeroet
Berkata "baik" dan mangoet manggoet,
Bersanggoep tidak membikin kaloet,
Semoea prentah akan menoeroet.

Toean tanah poen soedah mendengar,
Dia poenja djandji jang keloear,
Dia diberi makan sekedar,
Oleh orang boemi jang ta' besar,
Kamoe boleh berdiam disini,

"Kamoe menjadi sahabat kami"
Kata kepalanja orang boemi,
Jang dermawan lagi moerah hati,

Kepala disitoe menjiarkan,
Kepada orang jang di bawah kan,
Orang asing soedah diidinkan,
Bertempat tinggal didesa Bantan.

Semoea orang boemipoetera,
Menganggapnja seperti saudara,
Boleh berlakoe dengan merdika,
Tapi djangan membikin doeraka

"Disini banjak orang sabrang,
Mareka itoe sama berdagang,
Dia hidoep dengan kita senang,
Hidoep roekoen tidak dengan perang."

Begitoe berkata toean tanah,
Pada badjak laoet jang menjerah,
Karena dia orang soedah lemah,
Dia poen soedah mengakoe kalah.

Badjak laoet berdaja oepaja,
Bersepakatan dengan temannja,
Soepaja Djafji kepoenjaannja,
Itoe tanah jang bagoes dan kaja.

Badjak laoet mengirimkan soerat,
Kepada temannja jang mof'akat,
Jang misih ada di tanah melarat,
Minta sendjata dan obat obat!!

Pekakas perang soedah sedia,
Goena merampas tanah jang kaja,
Dan jang poenja dibikin binasa,
Soepaja tanah djadi miliknja.

Banjak orang jang sama diboenoeh,
Oleh si badjak jang djadi tegoeh,
Ditanah itoe mendjadi roesoeh,
si badjak laoet mendjadi moesoeh.

Orang boemi banjak jang melawan
Menjerang keras mati matian,
Soedah tentoe banjak keroesakan,
Banjak orang jang sama di tawan,

Kepala orang boemi jang takoet,
Lebih senang marika menoeroet,
Kehendaknja badjak badjak laoet.
Maskipoen temannja kalang kaboet.

Banjak orang boemi jang ta' soekak
Toeroet kepalanja jang mengadjak,
Berdamai dengan si badjak-badjak,
Dia ta' soekak mendjadi boedoek.

"Lebih baik kita orang mati,
Dari pada kita menoeroeti,
Kehendak badjak jang amat kedji,"
Begitoe kata orang jang berani.

Si kepalanja mentjari akal,
Soepaja temannja ta' menjangkal,
Menoeroet kehendaknja jang nakal,
Boeat menoeroet badjak jang brutaal.

Kepalanja orang boemi,
Tidak memikir dibelakang hari
Tjoema memikir diri sendiri,
Hidoep besar dan berasa moekti.

Marika itoe kena diboedjoek
Oleh temannja jang soedah maboek,
Pangkat besar, pajoeng koening, koeloek,
Itoe barang tanja dia takloek.

Dia takloek pada badjak laoet,
En toch mengakoe orang jang ketoea,
Merentah bangsanja jang menoeroet,
Sabetoelnja dia si pengetjoet.

Si badjak laoet tinggal tertawa,
Karena dia bisa memerentahnja,
Orang boemi jang djadi kepala,
Djoega di pandang seperti Radja,

Si badjak menanam pengaroehnja,
Pada orang jang di bawahkannja,
Agar dia gampang dipidjatnja,
Dan merampas harta bendanja.

Banjak orang tidak mengerti,
Tipoe moeslihat jang mengenai,
Kepada semoea orang boemi,
Sebab ta' berpikir dalam hati.

Dari itoe orang-orang boemi,
Hidoep melarat setengah mati,
Dia bekerdja seperti sapi,
Tjoema mendapat oeang setali.

Si badjak laoet mendjadi gemoek,
Oeangnja banjak bertoempoek,
Hasilnja banjak tinggal menggaroek,
Saban hari moesti main maboek.

Apa kabar orang boemi sitoe?
Banjak jang mengoeli mikoel batoe,
Badannja roesak hatinja piloe,
Pikiran bingoeng mendjadi denggoe.

Saban hari bertambah tambah,
Bangsa badjak jang datang mitenah,
Ditanah itoe jang amat moerah,
Mentjari makan ta' dengan soesah.

Djangan tanja lagi orang boemi,
Bertambah soesah mentjari nasi,
Sebab tanahnja jang keloear padi,
Banjak jang sama di djoeali.

Oentoeng sekali si badjak laoet,
Pinter menipoe bisa memikoel,
Soepaja dia bisa menoeroet,
Perentahnja jang tiada patoet.

Badjak laoet semangkin koat,
Pendjaga'annja poen soedah rapat,
Bertambah pinter pat pat goelipat,
Sampai marika itoe bersambat.

Dua sambat sambat minta makan,
Kerna dia soedah kelaperan,
Dan dihinakan seperti chewan,
Oleh bangsa orang pemaboekan.

Badjak laoet ta' memperdoelikan,
Sambatnja orang jang kelaparan,
Si badjak selaloe meneroeskan,
Mengisap marika sampai pingsan,

Maka hal ini haroes dipikir,
Akan goenanja merobah takdir,
Soepaja kita bisa mengoesir,
Manoesia bangsa orang.....

Semarang, 23-1.2-18
Sinar Hindia 23 Desember 1918. No.255

Komentar

Puisi mengatakan…
Membaca puisi lama seperti membaca sejarah :)

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI