Langsung ke konten utama

Penjaga Rumah Para Penulis


Editor : Jodhi Yudono, Oleh : Fabiola Pontoh

Hari sudah petang saat Endo Senggono, sosok yang bisa dikatakan sebagai ”katalog hidup” di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, berjalan tertatih-tatih. Sepasang kruk yang menopang tubuh lelaki itu bergerak seirama. Meski gurat lelah menghias wajahnya, Endo terus tersenyum.

”Mungkin karena faktor usia saya jadi cepat lelah. Padahal, saya belum terlalu tua ya,” ujarnya sambil menyelipkan rambut yang memutih di belakang telinga.

Petang itu para pencinta sastra mengadakan pertemuan untuk merancang aksi penyelamatan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di bawah pengelolaan Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang terancam tutup karena minimnya dana hibah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Perlahan dia berpegangan di tepi meja, lalu duduk dan menyandarkan kruknya. Endo memiliki keterikatan kuat dengan pusat dokumentasi sastra yang berada di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, itu.

Sudah 24 tahun ia turut mengelola tempat yang memiliki puluhan ribu judul buku dan terdiri dari beragam jenis dokumen tersebut. Pengagum karya Mochtar Lubis ini nyaris tak merasa jenuh meski puluhan tahun berkumpul dengan buku, dokumen, dan naskah tua beraroma lembab.

Endo mengingat awal keterlibatannya di PDS HB Jassin sesungguhnya sekadar mengisi waktu. Dia diajak almarhum HB Jassin untuk membantu di tempat itu tahun 1987.

Pusat dokumentasi tersebut menyimpan koleksi buku harian, tulisan di majalah dan surat kabar, buku tulis, surat, serta foto pribadi HB Jassin. Dokumentasi lalu berkembang dengan karya sastra almarhum yang saat itu menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya).

Sebagai orang yang baru lulus Fakultas Sastra UI, Endo belum mempunyai pekerjaan. ”Rencananya, saya membantu Pak Jassin sampai mendapat pekerjaan,” tuturnya. Selama menjadi sukarelawan, ia mendapat ganti uang transpor, tanpa upah.

Keterusan

Dari sekadar mengisi waktu, Endo menjadi keterusan karena ia memang menyukai buku. Seiring berjalannya waktu, dia terlibat lebih dalam meski PDS HB Jassin kerap terlilit kesulitan dana. ”Saya sudah telanjur senang di sini,” katanya.

Kejelasan statusnya di PDS HB Jassin ia peroleh tahun 1997 saat menjadi pegawai negeri sipil. Sebagai PNS, Endo yang kini bergolongan III/D tetap mengemban tugas ”menjaga” PDS HB Jassin, yang kerap menjadi rujukan penelitian mahasiswa seputar sejarah sastra Indonesia.

”Bukan mahasiswa saja, banyak orang mencari data di sini, termasuk wartawan, budayawan, juga sastrawan dari dalam dan luar negeri,” ujarnya.

Bukannya bosan dan dilanda kejenuhan karena bergelut dengan rutinitas, PDS HB Jassin malah menjadi bagian hidupnya. Justru karena bekerja di PDS HB Jassin pula Endo berjumpa perempuan yang lalu dinikahinya, Tita Yulia Purwanti.

Mereka yang mencari referensi sastra datang dan pergi. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, penulis, hingga praktisi film silih berganti ”menemani” Endo di PDS HB Jassin.

Mahasiswa yang saat mengerjakan skripsi kerap ke pusat dokumentasi itu biasanya menyerahkan skripsi saat lulus. ”Bagaimana mungkin saya bosan di sini kalau saya bisa mendapat banyak teman,” ujar Endo.

Dia juga punya kedekatan hubungan dengan almarhum Motinggo Busye, penulis dan penyair kelahiran Bandar Lampung yang juga hobi melukis. Berawal dari interaksi di PDS HB Jassin, kata Endo, dia bersahabat dengan Motinggo Busye.

Sejak awal

Mengelola PDS HB Jassin bukannya lancar-lancar saja. Masalah yang timbul akibat keterbatasan dana terjadi sejak awal keberadaan PDS HB Jassin. Keadaan keuangan pernah memburuk pada tahun 1998.

Krisis ekonomi pada era reformasi saat itu menyebabkan pusat dokumentasi tersebut terseok-seok melangsungkan pemeliharaan dokumen. Satu-satunya jalan keluar adalah membentuk lingkar mitra.

Penggalangan dana dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan dokumen. Setelah itu, setiap tahun subsidi dari pemerintah meningkat bertahap. Saat Sutiyoso menjadi Gubernur DKI, ada subsidi Rp 500 juta per tahun.

”Keadaan tak pernah lebih buruk dari sekarang, kalau benar dana hibahnya hanya Rp 50 juta setahun termasuk untuk upah karyawan,” katanya.

Ia kemudian beranjak tertatih menuju ruang arsip. Hawa sejuk dari pendingin ruangan masih tersisa karena AC baru dimatikan. Endo memandangi puluhan ribu dokumen dan buku di depannya.

Rasa prihatin menyergap. Semua dokumen merupakan barang yang tak ternilai. Ia belajar dari HB Jassin yang begitu menghargai bentuk karya, dari coretan kecil di kertas sampai karcis pertunjukan Teater Koma yang pentas di TIM. ”Saya sungguh mengagumi Pak Jassin,” ungkapnya.

Selama berada di PDS HB Jassin, ia melihat dan merasakan suasana dan saat berbagai dokumen kertas yang menghuni ruang arsip tersebut menjadi lapuk.

Dengan keterbatasan dana, pengurus tak bisa maksimal melakukan perawatan dan pemeliharaan. Tak heran, hampir di semua sudut ruang terdapat tumpukan dokumen, baik berupa kertas, map berbagai ukuran, maupun bermacam-macam jenis surat kabar yang menguning termakan usia.

Sosok sastrawan seperti Chairil Anwar yang dilukis menggunakan cat air digantung di dinding begitu saja. Di sisi lain berbagai sketsa sastrawan dan puisi juga digantung tak beraturan, mengacuhkan sisi estetika.

Begitu banyak dokumen tertumpuk begitu saja. Rata-rata tinggi tumpukan mencapai sepinggang orang dewasa karena rak buku yang tersedia sejak lama tak mampu menampung limpahan dokumen. Ini berarti kembali pada keterbatasan anggaran.

Endo tak tahu harus berbuat apa lagi. Dia khawatir semua dokumen akan berakhir dengan kepunahan sebelum diselamatkan. ”Padahal, dari dokumen di sini orang berkesempatan belajar sastra lebih banyak,” ujarnya sambil berharap aksi penggalangan dana yang sedang bergulir mampu memecahkan persoalan, walau sementara.

Tak hanya tertegun

Masyarakat seharusnya bisa berbuat sesuatu, tak cuma tertegun menatap nasib dokumen menuju kepunahan. Dokumen yang sekaligus menjadi saksi sejarah perjalanan sastra di Indonesia. Isi PDS HB Jassin, menurut Endo, bisa dialihkan dalam bentuk digital karena tak selamanya fisik dokumen bisa diselamatkan.

Ia bermimpi agar dokumen tua yang usianya mencapai 80 tahun itu tak dilupakan begitu saja. Apalagi banyak dokumen di PDS HB Jassin yang tak ditemukan di tempat lain, bahkan oleh penulisnya. Selain banyak pula penulis yang menyerahkan naskah aslinya di sini.

”Mereka tak sanggup merawatnya. Jadi ini seperti rumah para penulis,” katanya.

Dokumen di PDS HB Jassin mungkin seperti kertas tua menuju kepunahan. Namun, semua itu begitu berharga. Gerakan spontan #koinsastra di media sosial Twitter dan Facebook untuk menyelamatkan PDS HB Jassin menjadi tanda kepedulian masyarakat akan sebuah tempat yang berperan penting pada perkembangan sastra Indonesia.

Endo Senggono

• Lahir: Cimahi, Jawa Barat, 21 Desember 1959 • Pendidikan: S-1 Fakultas Sastra Universitas Indonesia • Pekerjaan: Staf Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin • Istri: Tita Yulia Purwanti (35) • Anak: Gayatri Sinta Nabila (10)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI