Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Abimardha Kurniawan

9/10/2005, 02:43:15

jemari waktu turut mempertegas jejak bimbangmu
selain sinar bulan dan malam letih
yang ranum menggayuti ranting pohonan.
sebagaimana kau kecup senyum bintang jatuh
di antara milyaran cahaya yang mengotori langit isya
perlahan keningmu gundah menengadah
mencari-cari rongga gelisah
yang tersembunyi di balik khayalan mawar merah
sampai-sampai tangan masa kecilmu
tak lagi bermimpi tentang peri mungil lucu
penabur hening gugusan bintang
penghuni sunyi sudut-sudut bimbang meremang...

13/10/2005, 17:20:31

angin yang menyirak rumpun ilalang itu sesekali menepi
untuk dikubur kembali dalam harum jelaga dan tanah basah.
inilah saat di mana daun dan puisi telah diberkati sunyi...

13/10/2005, 20:31:59

gemetar kata-kataku memilih tinggalkan malam-malam tak berpintu.
mengajak jari-jemarimu, derai dan masa lalu,
membaca muasal rindu yang rebah berabad lalu

15/10/2005, 09:50:32

pada gerimis dan airmata segala bermula lalu mengucur
bak gairah angin beriring musim dingin dari bumi yang letih
juga kilasan badai yang berjuntai dari hening yang memutih

17/10/2005, 11:04:33

pecahan bulan di sudut matamu tiba-tiba hening
kemudian beku, lalu membatu, sebab tak ada ruang bagi langit
mencipta riuh gerimis dari puing-puing suaramu

18/10/2005, 19:07:14

bulan di tepian kolam membiarkan sinarnya
patah oleh temaram, semoga bukan oleh tanganku
yang terlalu ingin menyentuh sudut-sudut muram
demi memperjelas wajah kunang yang mati,
terbunuh atas nama rindu dan malam

26/10/2005, 15:51:31

terbit hujan merimbun di tengah persimpangan
kutemukan sinar itu, kubaringkan pelan
di antara remahan kaca dan ucapan turut berduka
sebab maut pun meneteskan luka-lukanya
mengurai bisa di udara terbuka

28/10/2005, 16:59:45

gerimis adalah tumpahan kata (yang remang) di kaca jendela
kueja awal pertempuran pada kekalahan cuaca
tanpa kubisikkan nama-nama yang berlayar, pergi
sebelum kata-kata pecah di dasar senja

25/1/2006, 18:47:02

januari menyelinap lewat gerai alismu
coba katakan, bulan segera tiba
berpupur kabut dan musim penghujan
namun gelisahku kian memutih
seakan februari lahir memilih arus yang jernih

31/1/2006, 20:07:25

burung-burung pun hijrah ke hening jazirah
merampungkan istirah dalam panjang ziarah
berabad rindunya tumpah
membaca gaung dari gerimis
yang datang mengurai warna tanah

15/2/2006, 09:20:47

dan februari pun datang memugar sunyi
saat hujan pergi, mimpi telah terkunci
namun adakah sesuatu yang membekas di pasir waktu
selain biru dan kesunyian itu?

2/3/2006, 08:59:40

angin yang bersarang di lubuk suaramu
menyapu kering ilalang seperti waktu
sebelum tumbuh hujan dan kata-kata terluruhkan
kupendam deru anginmu
dalam lipatan cerita masa lalu...


Biodata

Abimardha Kurniawan, lahir di Surabaya, 26 Maret 1986. Alumnus Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya. Aktif di Unit Kegiatan Teater Mata Angin Universitas Airlangga. Sajak-sajaknya pernah muncul di media dan beberapa antologi bersama. Salah satu sajak mendapat juara II dalam PEKSIMINAS IX tahun 2008 di Jambi. Sajak-sajak kali ini merupakan beberapa pesan singkat (SMS) yang pernah dikirim penulis ke sejumlah orang. Judul-judulnya mengambil tanggal dan waktu terkirimnya masing-masing pesan.
Alamat email: abimardhakurniawan@yahoo.com

NB : Abhi ini salah seorang penyair berbakat yang dimiliki oleh Unair. Meskipun belum sebesar para pendahulunya semacam W Haryanto, S Yoga, Indra Tjahyadi, Mashuri, F Aziz Manna, dll., Abhi tetap memiliki kelebihan estetis yang menonjol dibanding kawan-kawan sebayanya. Pascagenerasi puisi gelap, Unair masih belum melahirkan lagi penyair fenomenal sefenomenal W Haryanto dkk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI