Secarik Kertas dan Kalimat Puisi
Secarik kertas dan kalimat puisi di atasnya
terbubuh di antara sekian kekacauan
dan perlintasan bunyi panjang
Sedang di luar, hujan logam menggasang
mencipta beberapa titik pertikaian,
beberapa bimbang yang mencetak jejak redam
Sementara, kalimat-kalimat mengalun,
satu dua, sisanya tanggal yang tak mampu
kuingat lagi. Seperti mimpi sebuah puisi
untuk sepenggal mlam dan padam.
Secarik kertas dan kalimat puisi di atasnya,
aku rasakan remang berenang
setelah seratus pertanyaan.
2008
Pengantin Diam
di dalam kamar, tiba-tiba kita
menjadi penari yang ingin terbang
ke kayangan
melepas persetubuhan, kenangan
juga seluruh tatap penghabisan
ada jendela, waktu berima
yang membawa kita membiarkan angin
membungkus tubuh, mimpi
dan segenap perjalanan
menuju utara
sebuah berita mengubah kita
lebih kekanakan
seperti sekian tahun terpenggal,
kita adalah penyusun kastil pasir
dan sejumput isyarat dari ombak
lalu sampan-sampan mulai menjauh
meninggalkan kita sebagai pengantin diam
2008
Kota Telah Menyusun Sendiri Penunggunya
Bukan tak ada yang kukenal dari detak
memanjang sepanjang malam. Tapi,
perasaan-perasaan gasal telah menanggalkan
warna dan huruf terpenggal, antara monumen
dan kekacauan.
Semenjak itu, apalah arti sapaan, bagi taman,
menara, sajak-sajak gemetar sendirian.
Kota telah menyusun sendiri penunggunya
dari suara bisik penunggang kuda.
Bulan dan jalan menyatukan arah
dalam satu ranting pohon kerontang.
Konon doa takkan pernah sampai ke sana.
Kota telah menyusun sendiri penunggunya
dari seutas lintas bintang kurus
hingga setiap tahun, bulan dan jam
adalah tatap nanar
bagi pejalan yang menggumam.
2008
Sepasang Pejalan Mimpi
I
Terkadang aku membayangkan
kita berdua sebagai anak-anak tersesat
membiarkan tubuh kita berubah rindu
bagi semut yang mendekat
ternyata ada segumpil sejarah
kita pungut dari kota entah
dan kau tetap berkeras
mengabarkan pada laut
“ada anak-anak tumbuh dari mimpi,
melangkah dan lupa jalan untuk kembali”
tanpa kau tahu, laut tak pernah
mengenali debur sendiri
II
Atau kita biarkan saja mendung
jadi rumah bagi sekawanan burung
suara-suara gelap murung
dan aku masih menatapmu berkabung
menjadi patung bagi sebuah masa lalu
2008
Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Bergiat di Komunitas Rabo Sore (KRS). Karyanya pernah termuat pada beberapa media, antara lain Surabaya Post, Radar Surabaya, Banjarmasin Post, Buletin Sastra Pawon ,Majalah GONG, Buletin Tera, Jurnal The Sandour.
Komentar