CINCIN TULANG
jangankan mencabut, memasukkannya saja belum!
tetap saja emplek di jalan Sakura
datangkan imigran hitam-putih
yang berada dalam klasemen warna
tiada lincak
hanya maskot-maskot tubuh
sajikan nikmat
dan renungkan peragawati di atas jalan
sebening aqua
menjelma umpan segar
hilangkan tengik hati
dari slogan hitam berasap putih
juga sanjung tahi
ooo... cincin tulang
masukkan diriku di sela rindu
jauhkan dari radio dengkul
atau patroli peras hati yang kisahkan hitamnya malam
ooo... cincin tulang
aku munafik
melilitkan diri pada sebatang rokok
menunggu kualat
BIRU
cuaca pagi tak kunjung membaik
tetap menetap di ujung jazirah
mengambang, mengenyam siulan fauna
klinik kumuh tetap saja membosankan
menambah rekapitulasi hitam gulita yang gelap
menyeringai memancing geram
hingga roda yang berputar berhenti sejenak
: untuk mencaci
tersebut belum final, belum semifinal
mungkin bisa untuk sekadar termangu di atas sofa
namun harus terpejam mata
menghindar dari kilauan video
atau slide show berwarna biru
yang menghancurkan vibrator di dalam jantung
masih tegak berdiri
bernaung di bawah klorofil untuk sejenak melupakan sebuah intan
BERHENTI BERHARAP, BELUM!
ibadahku kau borong dalam cinta
dzikir dan doa hanya kata
karena garong cinta masuk di lemari besi
pada satu situasi
hatiku hanya gurun
memancarkan fatamorgana elok parasmu
hanya parasmu, cantikku ...
terhuyung kumenghadapi siang-malam
terguyur jemu
mendengkur di lapak lapik tidur
setelah menjalani longmars;
demonstrasi hati, bukan untuk skripsi
tanpa darah dan nanah
sekadar najam yang terhalang mega
yang mengajarkan sabar untuk gembira
“T’lah perawan dirimu
tapi tak sudi jika pestapora bukan untukmu dan ku”, aku
setanganmu mungkin untuk air matamu
tapi yakin, bukanku
merdu dari seruling
tanakkan curahan rasa siap saji
dengan tembang bergenre iris hati
tingkatkan ubudiah buka jalan
tetap saja gerhana
dan bukan cum laude
tetap pula merana
“Tolong, cairkan suasana!”
AJI-AJI SEMU
kadar hemoglobin mulai beku
seiring cello yang lantunkan malam
kepada tiap bintang yang mulai balig
violis mendendang harapan pagi
bangunkan benua cinta yang mulai tenggelam
kilapkan daun dengan ungu
membakar cadar di sela ozon
di ujung timur
citra matahari kuyu
dzikirkan asma Allah dengan tasbih
dahaga yang menjerit tak terlawan
taburkan kosong dalam cinta
hingga edan
lalu lahirkan spesies buta
gada mulai condong kepala
tanpa sempat ceritakan sidratulmuntaha
menggelembungkan jutaan riang maya
satukan laras senapan pada satu titik
untuk harakiri
di atas bara sekam
yang mulai diredam hujan renyai
dosa-dosa bersalto
iringi langkah mantap
gunakan rasa respek
untuk berjibaku di antara dunia
psikotropika protes
bunyikan kelompen tiap napas
menggugat jantung yang peroi
sesekali berdetak kizib
tawakan peci di atas televisi
kuas-kuas alirkan drama
opor ayam kejutkan mata
bebek goreng temani lalap
dan nur yang agung tetap natural
keceriaan meletus
bangunkan monumen para sesepuh
tangiskan majikan dengan melodi disko
lalu memakan masjid
lupa minum martabak
jangankan mencabut, memasukkannya saja belum!
tetap saja emplek di jalan Sakura
datangkan imigran hitam-putih
yang berada dalam klasemen warna
tiada lincak
hanya maskot-maskot tubuh
sajikan nikmat
dan renungkan peragawati di atas jalan
sebening aqua
menjelma umpan segar
hilangkan tengik hati
dari slogan hitam berasap putih
juga sanjung tahi
ooo... cincin tulang
masukkan diriku di sela rindu
jauhkan dari radio dengkul
atau patroli peras hati yang kisahkan hitamnya malam
ooo... cincin tulang
aku munafik
melilitkan diri pada sebatang rokok
menunggu kualat
BIRU
cuaca pagi tak kunjung membaik
tetap menetap di ujung jazirah
mengambang, mengenyam siulan fauna
klinik kumuh tetap saja membosankan
menambah rekapitulasi hitam gulita yang gelap
menyeringai memancing geram
hingga roda yang berputar berhenti sejenak
: untuk mencaci
tersebut belum final, belum semifinal
mungkin bisa untuk sekadar termangu di atas sofa
namun harus terpejam mata
menghindar dari kilauan video
atau slide show berwarna biru
yang menghancurkan vibrator di dalam jantung
masih tegak berdiri
bernaung di bawah klorofil untuk sejenak melupakan sebuah intan
BERHENTI BERHARAP, BELUM!
ibadahku kau borong dalam cinta
dzikir dan doa hanya kata
karena garong cinta masuk di lemari besi
pada satu situasi
hatiku hanya gurun
memancarkan fatamorgana elok parasmu
hanya parasmu, cantikku ...
terhuyung kumenghadapi siang-malam
terguyur jemu
mendengkur di lapak lapik tidur
setelah menjalani longmars;
demonstrasi hati, bukan untuk skripsi
tanpa darah dan nanah
sekadar najam yang terhalang mega
yang mengajarkan sabar untuk gembira
“T’lah perawan dirimu
tapi tak sudi jika pestapora bukan untukmu dan ku”, aku
setanganmu mungkin untuk air matamu
tapi yakin, bukanku
merdu dari seruling
tanakkan curahan rasa siap saji
dengan tembang bergenre iris hati
tingkatkan ubudiah buka jalan
tetap saja gerhana
dan bukan cum laude
tetap pula merana
“Tolong, cairkan suasana!”
AJI-AJI SEMU
kadar hemoglobin mulai beku
seiring cello yang lantunkan malam
kepada tiap bintang yang mulai balig
violis mendendang harapan pagi
bangunkan benua cinta yang mulai tenggelam
kilapkan daun dengan ungu
membakar cadar di sela ozon
di ujung timur
citra matahari kuyu
dzikirkan asma Allah dengan tasbih
dahaga yang menjerit tak terlawan
taburkan kosong dalam cinta
hingga edan
lalu lahirkan spesies buta
gada mulai condong kepala
tanpa sempat ceritakan sidratulmuntaha
menggelembungkan jutaan riang maya
satukan laras senapan pada satu titik
untuk harakiri
di atas bara sekam
yang mulai diredam hujan renyai
dosa-dosa bersalto
iringi langkah mantap
gunakan rasa respek
untuk berjibaku di antara dunia
psikotropika protes
bunyikan kelompen tiap napas
menggugat jantung yang peroi
sesekali berdetak kizib
tawakan peci di atas televisi
kuas-kuas alirkan drama
opor ayam kejutkan mata
bebek goreng temani lalap
dan nur yang agung tetap natural
keceriaan meletus
bangunkan monumen para sesepuh
tangiskan majikan dengan melodi disko
lalu memakan masjid
lupa minum martabak
Komentar