Saya penasaran dengan cerpen ini karena ketika dulu teman-teman Sastra Indonesia Unair angkatan 2004 mengajak saya berdiskusi, saya belum sempat membaca cerpen ini. Saya juga berminat untuk membuat esai mengenai cerpen ini. bagaimana Saudara Indiar?
KACAMATA
cerpen Indiar Manggara
Kacamata itu masih dibiarkannya terlipat rapi. Bagio terus memandanginya dengan bermacam pertanyaan di benaknya yang tak pernah ia temukan jawabannya.
Kacamata itu berada tepat di pojok kiri, di atas meja tulisnya dan dibiarkan begitu saja terlipat rapi, hanya dialasi selembar tisu toilet. Meskipun di sekitar kacamata itu buku-buku dan peralatan tulisnya berserakan seperti rongsokan, tetapi pandangan Bagio tak pernah lepas sedetik pun dari kacamata itu. Seolah-olah kacamata itu melekat pada kedua bola matanya.
Sekali waktu ia mencoba memungut kacamata itu dan mencoba mengenakannya, tetapi buru-buru ia menarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terjulur menggapai dan segera mengurungkan niatnya. Seketika itu jantungnya berdegup kencang, aliran darahnya menderas dan keringat dingin berkucuran membasahi bulu kuduknya yang berdiri tegang.
Bagio menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya dengan berat sekali. Dengan tarikan nafas seperti itu ia merasa ketegangan yang luar biasa pada dirinya tadi sedikit mereda. Kemudian ia meraupkan tangannya membasuh keringat dingin di mukanya. Tetapi keringat dingin itu terus menderas keluar melalui pori-pori kulitnya yang agak kecoklatan, merambati rasa penasarannya, mencekam kekalutannya.
“Hampir saja,” batinnya.
Kacamata itu masih terlipat rapi di sana, tepat di pojok kiri di atas meja tulisnya, di antara serakan buku dan dialasi dengan selembar tisu toilet.
Tak ada yang aneh pada kacamata itu sebenarnya. Hanya sebuah kacamata murahan dengan frame hitam, berbentuk oval mungil dan lensa masing-masing minus empat setengah. Kacamata yang dibelinya di sebuah optik kecil tujuh tahun yang lalu. Ketika ia hanya menjadi anak ingusan yang tidak mengerti apa-apa tentang orang lain, tentang hidup, tentang dunia, tentang dirinya sekali pun.
Mata dan pikiran Bagio masih terpaku pada kacamata yang terlipat rapi di depannya. Sah-sah saja apabila ada orang lain yang menganggapnya berlebihan atau bahkan mengatainya gila karena ketakutan pada kacamatanya sendiri. Tetapi baginya kacamata itu mempunyai energi yang dahsyat dan bisa jadi sangat berbahaya.
Bagio sendiri tak tahu. apakah ia hanya sekedar penasaran terhadap sesuatu energi asing yang tersimpan pada kacamatanya itu atau ia mulai ketakutan dan mengambil jarak sejauh mungkin dengannya agar tidak terseret ke dalam arus dahsyat energi itu. Tapi yang pasti, baginya keringat dingin yang tanpa ampun berkeliaran di hamparan tubuhnya kali ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bukan sesuatu yang sehat seperti dikatakan orang-orang. Tapi bedebah pengganggu yang seolah-olah meledek kepengecutannya dan semakin merajam rasa tegangnya saat itu. Ia muak dengan keringatnya sendiri.
Perasaan Bagio pecah merantau ke arah entah dan kembali satu menumpuk dalam dirinya saling tumpang campur aduk membakar gejolaknya saat itu. Tapi matanya sedetik pun tidak dapat lepas dari kacamata itu. Ia seperti merelakan dua bola matanya direnggut. Pandangannya menyerah, sujud di kaki kacamata. Ia hanya bertahan dalam pikirannya. Memutar dengan keras, terjebak, menahan, kemudian memberontak, terjebak lagi dan berontak, seterusnya tanpa lelah.
Kacamata itu diam tapi menghadapinya dengan angkuh. Buku-buku berserakan dan dinding kamar memutar balik pandang membelakangi Bagio. Mereka lari meninggalkan Bagio dengan kecemasannya.
Bagio benar-benar merasa sendirian sekarang. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain pikiran yang ada di kepalanya saat ini. Hanya dengan itu ia harus berjuang menghadapi kacamatanya.
Di tengah perjuangannya Bagio mulai sedikit goyah. Bola matanya seperti tak ada lagi di rongga matanya. Perasaannya yang campur baur, tiba-tiba saja damai dalam sekejap dan kemudian hening, sepi seperti kota tua yang telah mati ribuan tahun. Begitu pula pikirannya yang sempat bertahan beberapa lamanya, kini bagai benteng pertahanan yang telah dikepung dan diambil alih oleh musuh.
Bagio tiba-tiba saja berubah menjadi sesosok tubuh yang tak memiliki jiwa. Dengan mata yang tanpa air kaca dan pikiran yang menyerah, tangannya kembali terjulur. Gerakannya begitu mati tanpa ruh. Ia meraih kacamata itu seperti seorang ksatria meraih tangan seorang putri yang telah menaklukan hatinya–begitu hormat dan pasrah. Bagio semakin terseret oleh energi dahsyat dalam kacamatanya. Kacamata itu telah diraihnya. Ia membuka lipatannya, dan...
Kaadaan Bagio sekarang sedikit pulih. Perasaannya kembali damai dengan gairah. Pikirannya kembali membentuk benteng-benteng pertahanan. Dengan keringat dingin yang masih membanjir di permukaan kulitnya. Hanya saja matanya tetap terpaku mengarah ke depan, menghadap kacamata yang telah dikembalikannya ke tempat semula.
Ia kembali menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan berat. Matanya masih terseret oleh kacamata itu.
“Ya. Ternyata aku memang takut,” Bagio berbisik sendiri.
“Kacamataku sendiri.”
“Tapi..”
“Nggak wajar. Aneh.”
“Bahaya!”
“Tapi…”
“Apa yang aneh? Apanya?”
Bayi, anak tetangga kost di sebelahnya kembali menangis. Bagio kemudian membayangkan betapa beruntungnya bayi yang tak tahu apa-apa itu. Seandainya ia dalam keadaan seperti bayi itu, ia akan merasa aman dan tenang. Tidak akan disisihkan dan dibuang.
Tiba-tiba ingatannya melompat jauh ke masa lalu. Dimana ketika itu ia hanya seorang yang tersisih. Bagio selalu berada pada keadaan yang tidak menyenangkan. Ia dianggap remeh, baik dalam keluarganya maupun oleh teman-temannya.
Dengan perasaannya yang terus terhina dan tertekan, ia kemudian kabur dari rumahnya dan tinggal di sebuah kost-an kecil dan kumuh. Biaya kuliah dan pokoknya ia dapatkan dengan bekerja serabutan setelah pulang kuliah. Pekerjaan itu baginya akan sedikit nyaman. Karena pekerjaan itu hanya butuh otot yang besar.
Ternyata perkiraannya salah. Ia tetap saja dianggap orang yang tidak berguna. Tapi Bagio tetap bertahan demi cita-citanya membeli sebuah kacamata. Sebab ia menyangka kalau biang dari semua itu adalah matanya.
Setelah tabungannya terkumpul, akhirnya ia mendapatkan kacamata juga. Bagio dapat melihat apa saja dengan sangat jelas. Dengan cepat ia juga dapat dengan mudah memahami apa pun yang ingin ia pahami. Bagio mengerti banyak hal. Ia merasakan mengetahui segalanya. Baginya ia bukan orang yang bisa disisihkan.
Dengan kacamatanya, Bagio merasa bukan sekedar orang yang paham tentang segalanya. Ia dapat melihat, mengamati, mengingat, memikirkannya, menerka, dan menentukan apa pun.
Keadaan Bagio sekarang berubah 180 derajat. Ia menjadi orang yang dielu-elukan dan menyisihkan orang lain.
Bagio bukan merasa menjadi nabi baru yang dianugerahi mukjizat. Tapi ia sendiri adalah tuhan. Baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Ia yang menentukan segalanya.
Setiap orang yang dulu menyisihkan Bagio kini selalu mengharapkan keberadaannya. Banyak orang yang membutuhkannya. Mulai dari masalah sex, masa depan, hingga politik kenegaraan.
Setiap hari, setiap jam, setiap detik Bagio selalu didatangi orang dan dimintai tolong. Ketergantungan mereka terhadap Bagio semakin memperkuat rasa bangganya. Bagio benar-benar seolah menjadi tuhan bagi mereka. Semuanya tunduk dan takluk pada Bagio. Semuanya sempurna. Terlalu sempurna.
Tapi seketika itu juga, ia diam. Gelisah seperti bingung memikirkan sesuatu yang gawat dan terlanjur lewat.
“Tunduk? Takluk?”
“Sempurna?”
“Kelewat.. Kelewat!! Kelewat!!”
Tapi perasaan terawasi itu semakin kuat dan semakin dekat. Bagio menyelidik lebih teliti matanya dilepaskan ke segala arah di kamar itu. Tapi tetap tak ada mata yang terpasang di sana.
Perasaan diawasi itu semakin dekat dan kuat lagi. Bahkan ia seperti sedang berhadapan dengan mata itu.
Bagio dengan spontan melemparkan pandangnya ke arah kacamata itu. Seketika darah Bagio tersingkap, keringat dinginnya menderas, jantungnya kencang dan nafasnya tersendat..
KACAMATA
cerpen Indiar Manggara
Kacamata itu masih dibiarkannya terlipat rapi. Bagio terus memandanginya dengan bermacam pertanyaan di benaknya yang tak pernah ia temukan jawabannya.
Kacamata itu berada tepat di pojok kiri, di atas meja tulisnya dan dibiarkan begitu saja terlipat rapi, hanya dialasi selembar tisu toilet. Meskipun di sekitar kacamata itu buku-buku dan peralatan tulisnya berserakan seperti rongsokan, tetapi pandangan Bagio tak pernah lepas sedetik pun dari kacamata itu. Seolah-olah kacamata itu melekat pada kedua bola matanya.
Sekali waktu ia mencoba memungut kacamata itu dan mencoba mengenakannya, tetapi buru-buru ia menarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terjulur menggapai dan segera mengurungkan niatnya. Seketika itu jantungnya berdegup kencang, aliran darahnya menderas dan keringat dingin berkucuran membasahi bulu kuduknya yang berdiri tegang.
Bagio menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya dengan berat sekali. Dengan tarikan nafas seperti itu ia merasa ketegangan yang luar biasa pada dirinya tadi sedikit mereda. Kemudian ia meraupkan tangannya membasuh keringat dingin di mukanya. Tetapi keringat dingin itu terus menderas keluar melalui pori-pori kulitnya yang agak kecoklatan, merambati rasa penasarannya, mencekam kekalutannya.
“Hampir saja,” batinnya.
Kacamata itu masih terlipat rapi di sana, tepat di pojok kiri di atas meja tulisnya, di antara serakan buku dan dialasi dengan selembar tisu toilet.
Tak ada yang aneh pada kacamata itu sebenarnya. Hanya sebuah kacamata murahan dengan frame hitam, berbentuk oval mungil dan lensa masing-masing minus empat setengah. Kacamata yang dibelinya di sebuah optik kecil tujuh tahun yang lalu. Ketika ia hanya menjadi anak ingusan yang tidak mengerti apa-apa tentang orang lain, tentang hidup, tentang dunia, tentang dirinya sekali pun.
Mata dan pikiran Bagio masih terpaku pada kacamata yang terlipat rapi di depannya. Sah-sah saja apabila ada orang lain yang menganggapnya berlebihan atau bahkan mengatainya gila karena ketakutan pada kacamatanya sendiri. Tetapi baginya kacamata itu mempunyai energi yang dahsyat dan bisa jadi sangat berbahaya.
+++
Kulit Bagio masih basah dengan keringatnya. Bagian-bagian tubuhnya yang hampir tak memiliki lekuk karena tertimbun lemak itu menempel lekat di kaus oblong merah kusamnya yang menjadi merah gelap terhisap keringatnya sendiri.Bagio sendiri tak tahu. apakah ia hanya sekedar penasaran terhadap sesuatu energi asing yang tersimpan pada kacamatanya itu atau ia mulai ketakutan dan mengambil jarak sejauh mungkin dengannya agar tidak terseret ke dalam arus dahsyat energi itu. Tapi yang pasti, baginya keringat dingin yang tanpa ampun berkeliaran di hamparan tubuhnya kali ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bukan sesuatu yang sehat seperti dikatakan orang-orang. Tapi bedebah pengganggu yang seolah-olah meledek kepengecutannya dan semakin merajam rasa tegangnya saat itu. Ia muak dengan keringatnya sendiri.
Perasaan Bagio pecah merantau ke arah entah dan kembali satu menumpuk dalam dirinya saling tumpang campur aduk membakar gejolaknya saat itu. Tapi matanya sedetik pun tidak dapat lepas dari kacamata itu. Ia seperti merelakan dua bola matanya direnggut. Pandangannya menyerah, sujud di kaki kacamata. Ia hanya bertahan dalam pikirannya. Memutar dengan keras, terjebak, menahan, kemudian memberontak, terjebak lagi dan berontak, seterusnya tanpa lelah.
Kacamata itu diam tapi menghadapinya dengan angkuh. Buku-buku berserakan dan dinding kamar memutar balik pandang membelakangi Bagio. Mereka lari meninggalkan Bagio dengan kecemasannya.
Bagio benar-benar merasa sendirian sekarang. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain pikiran yang ada di kepalanya saat ini. Hanya dengan itu ia harus berjuang menghadapi kacamatanya.
Di tengah perjuangannya Bagio mulai sedikit goyah. Bola matanya seperti tak ada lagi di rongga matanya. Perasaannya yang campur baur, tiba-tiba saja damai dalam sekejap dan kemudian hening, sepi seperti kota tua yang telah mati ribuan tahun. Begitu pula pikirannya yang sempat bertahan beberapa lamanya, kini bagai benteng pertahanan yang telah dikepung dan diambil alih oleh musuh.
Bagio tiba-tiba saja berubah menjadi sesosok tubuh yang tak memiliki jiwa. Dengan mata yang tanpa air kaca dan pikiran yang menyerah, tangannya kembali terjulur. Gerakannya begitu mati tanpa ruh. Ia meraih kacamata itu seperti seorang ksatria meraih tangan seorang putri yang telah menaklukan hatinya–begitu hormat dan pasrah. Bagio semakin terseret oleh energi dahsyat dalam kacamatanya. Kacamata itu telah diraihnya. Ia membuka lipatannya, dan...
+++
Memang tetangga kost di sebelah Bagio itu kurang memperhatikan kebutuhan bayinya. Sehingga ia seringkali terganggu dengan suara tangisannya. Tapi kini keadaan itu bagi Bagio lain. Suara tangis bayi itu merupakan sebuah penyelamatan baginya. Seandainya saja bayi itu tidak menangis, ia tidak akan bisa membayangkan lagi apa yang terjadi pada dirinya.Kaadaan Bagio sekarang sedikit pulih. Perasaannya kembali damai dengan gairah. Pikirannya kembali membentuk benteng-benteng pertahanan. Dengan keringat dingin yang masih membanjir di permukaan kulitnya. Hanya saja matanya tetap terpaku mengarah ke depan, menghadap kacamata yang telah dikembalikannya ke tempat semula.
Ia kembali menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan berat. Matanya masih terseret oleh kacamata itu.
“Ya. Ternyata aku memang takut,” Bagio berbisik sendiri.
“Kacamataku sendiri.”
“Tapi..”
“Nggak wajar. Aneh.”
“Bahaya!”
“Tapi…”
“Apa yang aneh? Apanya?”
Bayi, anak tetangga kost di sebelahnya kembali menangis. Bagio kemudian membayangkan betapa beruntungnya bayi yang tak tahu apa-apa itu. Seandainya ia dalam keadaan seperti bayi itu, ia akan merasa aman dan tenang. Tidak akan disisihkan dan dibuang.
Tiba-tiba ingatannya melompat jauh ke masa lalu. Dimana ketika itu ia hanya seorang yang tersisih. Bagio selalu berada pada keadaan yang tidak menyenangkan. Ia dianggap remeh, baik dalam keluarganya maupun oleh teman-temannya.
Dengan perasaannya yang terus terhina dan tertekan, ia kemudian kabur dari rumahnya dan tinggal di sebuah kost-an kecil dan kumuh. Biaya kuliah dan pokoknya ia dapatkan dengan bekerja serabutan setelah pulang kuliah. Pekerjaan itu baginya akan sedikit nyaman. Karena pekerjaan itu hanya butuh otot yang besar.
Ternyata perkiraannya salah. Ia tetap saja dianggap orang yang tidak berguna. Tapi Bagio tetap bertahan demi cita-citanya membeli sebuah kacamata. Sebab ia menyangka kalau biang dari semua itu adalah matanya.
Setelah tabungannya terkumpul, akhirnya ia mendapatkan kacamata juga. Bagio dapat melihat apa saja dengan sangat jelas. Dengan cepat ia juga dapat dengan mudah memahami apa pun yang ingin ia pahami. Bagio mengerti banyak hal. Ia merasakan mengetahui segalanya. Baginya ia bukan orang yang bisa disisihkan.
Dengan kacamatanya, Bagio merasa bukan sekedar orang yang paham tentang segalanya. Ia dapat melihat, mengamati, mengingat, memikirkannya, menerka, dan menentukan apa pun.
Keadaan Bagio sekarang berubah 180 derajat. Ia menjadi orang yang dielu-elukan dan menyisihkan orang lain.
Bagio bukan merasa menjadi nabi baru yang dianugerahi mukjizat. Tapi ia sendiri adalah tuhan. Baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Ia yang menentukan segalanya.
Setiap orang yang dulu menyisihkan Bagio kini selalu mengharapkan keberadaannya. Banyak orang yang membutuhkannya. Mulai dari masalah sex, masa depan, hingga politik kenegaraan.
Setiap hari, setiap jam, setiap detik Bagio selalu didatangi orang dan dimintai tolong. Ketergantungan mereka terhadap Bagio semakin memperkuat rasa bangganya. Bagio benar-benar seolah menjadi tuhan bagi mereka. Semuanya tunduk dan takluk pada Bagio. Semuanya sempurna. Terlalu sempurna.
Tapi seketika itu juga, ia diam. Gelisah seperti bingung memikirkan sesuatu yang gawat dan terlanjur lewat.
“Tunduk? Takluk?”
“Sempurna?”
“Kelewat.. Kelewat!! Kelewat!!”
+++
Bagio segera tersadar dari lamunannya. Ia merasa ada sepasang mata yang mengawasi dirinya dengan tajam. Perasaan itulah yang membuat lamunannya tergugah. Matanya menyelidik ke dinding-dinding, lemari, kolong tempat tidur, tapi ia tidak menemukan mata siapa pun.Tapi perasaan terawasi itu semakin kuat dan semakin dekat. Bagio menyelidik lebih teliti matanya dilepaskan ke segala arah di kamar itu. Tapi tetap tak ada mata yang terpasang di sana.
Perasaan diawasi itu semakin dekat dan kuat lagi. Bahkan ia seperti sedang berhadapan dengan mata itu.
Bagio dengan spontan melemparkan pandangnya ke arah kacamata itu. Seketika darah Bagio tersingkap, keringat dinginnya menderas, jantungnya kencang dan nafasnya tersendat..
April 2008
Komentar