Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Eko Darmoko

lampu mati

hitam

gelap

pekat

petang

jelaga

bukan black hole raksasa

apalagi milyaran burung gagak

yang karnaval

aku sendirian

dikurung kubus

ditemani sebintik cahaya

radio, televisi, komputer

mungkin lebih pantas meloak

hore! metaforku terbang

mendadak ingat gulita

yang manis di seberang sana

Surabaya, Desember 2007


philogynik

tak dapat tidak

mata ini terus mengekori mereka

hasil akhir selalu sama

di sama kurun waktu

selalu kagum mereka

bukan lagi mata, tapi angan

hingga perasaan ikut terbawa-bawa

terseret-seret pontang-panting

muak sudah,

karena pesakitanku sendiri

ataukah manis mereka.

sungguh rikuh menggelayut.

yang jelas,

kencing pun tak nyaman

apalagi tidur nyenyak

maka, tak dapat tidak

“cium satu segera”

teriakku dalam hati

ah, tuhan

jika boleh memilih

kutuk saja aku jadi ahasveros

biarlah membekas luka

robek di telapak kakiku

dan, tak dapat tidak

mungkinkah selesai kutukan ini.

“manisku,

kurasai bibirku berdarah

tanda aku harus berhenti

di tahi lalatmu.”

Surabaya, Oktober 2007


aku salah bulan kalah

malam di pertengahan mei

kupastikan kalau ia semanis bulan

tapi ia mengelak

kemudian, karena jengkel

aku menyuruhnya melihat langit

biar dipastikannya sendiri

kalau dirinya memang semanis bulan

ia mengirim tawa untukku

kemudian, karena penasaran

langit kulihat lagi

ternyata aku yang salah

ia jauh lebih manis ketimbang bulan

Surabaya, 2007-2008



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI