lampu mati
hitam
gelap
pekat
petang
jelaga
bukan black hole raksasa
apalagi milyaran burung gagak
yang karnaval
aku sendirian
dikurung kubus
ditemani sebintik cahaya
radio, televisi, komputer
mungkin lebih pantas meloak
hore! metaforku terbang
mendadak ingat gulita
yang manis di seberang sana
philogynik
tak dapat tidak
mata ini terus mengekori mereka
hasil akhir selalu sama
di sama kurun waktu
selalu kagum mereka
bukan lagi mata, tapi angan
hingga perasaan ikut terbawa-bawa
terseret-seret pontang-panting
muak sudah,
karena pesakitanku sendiri
ataukah manis mereka.
sungguh rikuh menggelayut.
yang jelas,
kencing pun tak nyaman
apalagi tidur nyenyak
maka, tak dapat tidak
“cium satu segera”
teriakku dalam hati
ah, tuhan
jika boleh memilih
kutuk saja aku jadi ahasveros
biarlah membekas luka
robek di telapak kakiku
dan, tak dapat tidak
mungkinkah selesai kutukan ini.
“manisku,
kurasai bibirku berdarah
tanda aku harus berhenti
di tahi lalatmu.”
Surabaya, Oktober 2007
aku salah bulan kalah
malam di pertengahan mei
kupastikan kalau ia semanis bulan
tapi ia mengelak
kemudian, karena jengkel
aku menyuruhnya melihat langit
biar dipastikannya sendiri
kalau dirinya memang semanis bulan
ia mengirim tawa untukku
kemudian, karena penasaran
langit kulihat lagi
ternyata aku yang salah
ia jauh lebih manis ketimbang bulan
Komentar