Langsung ke konten utama

Tiga Puisi Vicente Huidobro



NB : Vicente Huidobro ( 1893-1948) adalah salah satu penyair terbesar Cile selain Pablo Neruda. Dia juga termasuk penggagas gerakan "Kreasionisme", sebuah gerakan puisi tahun 27-an yang juga berdiri bersama-sama dengan Ultraismonya Borges dan Modernismonya Ruben Dario. Tiga puisi ini saya sarikan dari Artic Poems dengan penerjemahan dari Google Terjemahan kemudian saya perhalus tata bahasanya. Silahkan dinikmati.


Malam

Kau mendengar malam meluncur di salju

Lagu jatuh dari pohon
Dan melalui kabut terdengar suara-suara

Aku menyalakan cerutu sekilas

Setiap kali saya membuka bibirku
Aku banjir kekosongan dengan a
sap

                                     Di pelabuhan
Tiang-tiang penuh sarang.

Dan angin
                       
mengerang dalam sayap burung '

      GELOMBANG
KARANG KAPAL KARAM

Bersiul di pantai
ku
           Lihatlah bintang yang bersinar antara j
emariku

Jam

Sebuah kota kecil
Sebuah kereta berhenti di dataran

B
ebintang Tuli tidur
                               di
setiap genangan air
Dan air gemetar
Tirai untuk angin

                    Malam
terjatuh di hutan kecil

Sebuah gerimis hidup
Dari menara bunga
yang tertutup
                           Berdarah bintang-bintang

          Sekarang dan kemudian
          jam
matang

                   
Jatuh pada kehidupan

Eclogue

                                    
Mentari akan mati

Mobil rusak

Dan bau musim semi
Tetap
tersapu sebagai udara oleh

                                             suatu tempat
                                                                  lagu

                    
DI MANAKAH KAMU

Di suatu sore seperti ini
                                                    Aku mencarimu dengan sia-sia

Dalam kabut yang menutupi jalan
Aku terus mencari diriku

Dan dalam asap cerutu
Seekor burung hilang

Tak ada yang menjawab

                                  Para pendeta terakhir tenggelam

Dan domba-domba tersesat
M
emakan bunga dan tidak memberikan madu

Angin yang berlalu
Menumpuk wol mereka

                                                 Antara awan
                                                 Me
megang air mataku

Mengapa menangis lagi
                                    tentang apa yang sudah
aku tangisi

Dan karena domba
memakan bunga
Tanda bahwa
kamu telah berlalu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi