Langsung ke konten utama

Alasan Pribadi Saya Mundur dari Acara Tadarus Sastra

 
 
Selain karena saya solider dengan teman-teman, alasan saya untuk undur diri dari acara Tadarus Sastra adalah ada nama-nama yang saya nilai tidak (kurang) layak untuk mengisi acara tersebut. Dalam telepon pribadi pada saya, acara Tadarus Sastra ditujukan untuk mereka yang sudah "maestro" dalam ranah kesusastraan Jawa Timur. Tentu saja premis ini menjanjikan. Minimal sejumlah pencapaian saya selama ini mendapat pengakuan, walau saya tetap menilai bahwa diri saya tetaplah belum layak disejajarkan dengan maestro semacam Akhudiat (panitia menyebut nama ini dalam telepon pribadi pada saya). 
Akan tetapi, alangkah kecewanya saya begitu panitia mengunggah poster kegiatan tersebut. Selain Mbah Akhudiat nggak tampil, ada beberapa nama yang saya nilai kurang layak untuk tampil pada pagelaran Tadarus Sastra. Dalam asumsi saya, bila saya sendiri masih merasa kurang layak, apalagi nama-nama ini. Ada penyair yang dalam setahun ini (dalam amatan saya) tidak menampakkan karya-karyanya dalam media massa. Ada juga yang hanya menjadi tukang obong-obong dan karyanya juga tidak tampak dalam koran atau menampakkan sesuatu perkembangan yang signifikan. Ada juga nama-nama yang saya tidak kenal. Siapa mereka dan bagaimana karya mereka. Mungkin, panitia memiliki pertimbangan lain untuk mengundang mereka. Akan tetapi, bila Tadarus Sastra adalah acara yang dimaksudkan untuk mereka yang sudah "maestro", semestinya para "maestro" ini adalah mereka yang sudah memiliki nama di Jawa Timur dan telah matang dalam berkarya. Bila penyair muda ditampilkan, seharusnya yang tampil adalah penyair muda dengan pencapaian luar biasa serta dapat diakses karyanya oleh khalayak luas. Itu saja uneg-uneg dari saya. Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi